[caption caption="Sumber Gambar: miyha86.blogspot.com"][/caption]
* Tantangan FC – nulis novel * 100 hari 50.000 kata *
* Siti Swandari no. 16
Bab X. Mistis : Tumbal Pesugihan
Se[erti biasa, sudah makan malam, terlihat pintu sekat mulai digeser, para pembantu segera menyapu dan kemudian di pel dengan giat kedua ruangan itu, bersih dan baunya semerbak.
Mereka juga mengangkat kursi dan meja untuk dipinggirkan. dibantu Warsih dan pak Pardi
Kelihatannya mereka penasaran dengan lanjutan cerita kemarin malam, cukup merinding meskipun ada gelak tawa, bergidik tetapi geli.
Pakde Gito memang piawai berceritera, pribadi beliau memang kocak.
Segera tikar digelar dan kasur gulung dibeberkan diatasnya.
Sprei juga segera dipasang, kemudian mereka berlarian dan jalan cepat untuk mengambil bantal yang ditaruh dikamar belakang, ada rasa masih takut-takut jika kekamar belakang.
Didapur bude, bu Po, ibu, kakak suami sedang membikin kudapan dibantu Warsih, aroma perkedel goreng , pisang goreng, singkong rebus mempur, pisang rebus, kacang rebus , menjadi campur aduk jadi satu menggelitik hidung.
Dan kmudian, satu-satu nampan yang berisi kudapan itu dibawa masuk, ditaruh di meja makan yang sudah dipinggirkan.
Yang laki-laki kebagian mencicipi cemilan lezat itu, pulang balik sambil mulutnya tak henti mengunyah.
Aku tetap menyediakan duku Palembang yang lezat , kegemaran ibu, kugelar saja di tampah yang lebar.
Kemudian bau kopi menyeruak masuk dalam ruang tengah, menggelitik hidung.
Semua ditata rapi di meja makan, juga beberapa air mineral digelas plastik, yang sebagian sudah dimasukkan di kulkas.
Semua bisa mengambil jika perut nanti kelaparan, karena merinding ngeri takut atau tertawa terkekeh.
Bapak-bapak melihat tivi sebentar, melihat berita yang disiarkan.
Aku lihat para pembantu, anakku, ibu, bude, kakak, bu Po sudah lesehan diruang tengah yang nyaman dan bersih, sambil ngobrol dan mencicip serta ngemil hidangan yang tadi dibuat bersama.
“Pintu belakang sudah ditutup semua ya, sudah digembok ?” aku tanya.
“Sudah bu, komplit.” – tapi kulihat pak Pardi bangkit “Tapi saya lihatnya lagi bu, mungkin garasi masih belum dikunci.” Dia segera kebelakang.
Sebentar dia sudah balik dan mengatakan kalau semua sudah rapi terkunci, aku mengangguk.
Akupun langsung ikut lesehan dan tiduran sambil menggoda dan memeluk anakku dan ibu.
“Ini mbak, tak bikinkan perkedel goreng kesukaan mbak, kemremes lho,…” kata bu Po menunjukkan nampan perkedel mini yang digoreng kering, kesukaanku.
Aku segera mengambilnya dua biji dan memakannya, enak sekali, gurih dan agak renyah.
Aku paling suka perkedel yang digoreng agak garing dan bentuknya sedikit lebih kecil dari perkedel untuk lauk makan.
Jadinya seperti snack, cemilan, nikmat sekali dinikmati kala sore hari dengan kopi yang bening.
Kuambil lagi beberapa, dan sebagian kuberikan pada anakku, dia juga memakannya, kayaknya terasa enak, dia langsung mengambil sendiri satu genggam.
Kemudian para suami pada datang dan ikut bergabung dengan kita, sebelumnya mereka memilih dan mengambil kudapan dan minum kopi dahulu, sambil duduk disitu.
Setelah semua kebagian ngambil kue dan kopi, pakde Gito mulai membuka acara :” Enake ceritane sing lucu apa sing medeni ya ?”
(“ Enaknya cerita yang lucu atau menakutkan ya ?” ) , kita semua tertawa.
Beliau kemudian berceritera bahwa eyang itu – ibunda beliau punya kemampuan untuk bisa melihat mahluk dari dimensi lain.
“Kamu ingat enggak , waktu ibu sore-sore duduk di serambi belakang itu ?” ibuku mengangguk, sambil senyum
Sore-sore itu eyang sedang duduk di serambi belakang, dan didapur – para pembantu 2 orang, tukang kebun dan penjaga malam sedang didapur, minum kopi dan makan cemilan sore.
“Lho itu anaknya siapa ya, kok gundul-gundul pada masuk kedapur ?” mendengar kata-kata eyang itu, langsung saja mereka yang didalam dapur kabur lari keluar ketakutan, eyang sampai tertawa, melihat mereka berlarian keluar dapur.
“Iya itu, tiga orang, kecil gundul-gundul, .. heh siapa kamu, ..lho kok malah lari,..” kata eyang sambil seperti bicara dengan seseorang.
Waktu itu pakde Gito dan ibu sampai keluar ruang tengah, menengok kebelakang “Ada apa bu ?”
“Itu anaknya siapa kok gundul-gundul masuk dapur, … mau minta bagian juga ya ?” kata eyang.
Kadang eyang lupa, kalau orang lain pandangannya tidak setajam beliau, jadi sering salah bicara..
Tapi benar juga menurut ibu, didaerah belakang rumag dinas itu, ada rumah warga yang lumayan kaya.
Konon mereka itu memelihara tuyul yang didapat dari mengambil pesugihan disuatu tempat.
Orang sekitar juga katanya sering merasa kehilangan duit saban hari.
Pernah ada yang berusaha mengejar dan katanya mereka larinya kearah rumah itu.
“Apa ngambil pesugihan itu ada betul pakde ?” aku tanya
“Iya ada betul,. Itu lho dulu waktu kita di Lamongan,.... “ kata bude
Pakde mengangguk “ Iya betul itu ada – waktu itu aku tugas di Lamongan,..”
Pakde berceritera waktu beliau ditugaskan di Lamongan, didepan rumah dinasnya ada rumah orang kaya.
Anehnya, keluarga itu seperti mengasingkan diri dari warga sekitar.
Anaknya 4 orang, dua laki dan dua perempuan.
Tiba-tiba anaknya yang paling besar meninggal, seorang anak laki-laki berumur sekitar 15 tahun. Mereka bilang kalau anaknya sakit.
Selang satu tahun, anak kedua meninggal, seorang gadis umur 13 tahunan, padahal paginya gadis cantik itu masih sekolah. Katanya juga sakit.
Kebetulan dokter disitu kenal dengan pakde dan bude, karena beliau dan anak-anak beliau, jika sakit pasti berobat ke dokter itu.
Dokter itu malah tidak mengerti jika kedua anak yang meninggal itu karena sakit, jadi ternyata tidak dibawa kedokter.
Selang satu tahunan lagi, anak yang ketiga juga tiba-tiba meninggal, katanya juga sakit.
Sampai pakde dan bude menganjurkan mereka untuk berobat ke dokter jika ada yang sakit.
Kemudian banyak yang bisik-bisik, mereka itu mengambil pesugihan yang ampuh dari suatu daerah di-Jawa Tengah.
“Dia itu tambah kaya lho pak, coba perhatikan rumahnya,…” pakde dan bude mulai memperhatikan keadaan keluarga itu.
Betul juga, keadaan keluarga itu makin kaya dibanding sewaktu pakde dan bude baru pindah kesitu.
Perhiasan yang dipakai keluarga itu- terlebih isterinya, juga mentakjubkan. Mereka sering keluar dengan perhiasan layak toko emas berjalan.
“Mungkin punya usaha pakde,..” aku menyela, pakde menggeleng.
Suatu sore, si isteri mau keluar rumah, sewaktu dia menuruni undakan dirumah, terpeleset, jatuh dan tiba-tiba meninggal.
Suaminya histeris, berteriak-teriak, warga pada berdatangan, pakde dan bude berlarian menolong dan si-isteri diangkat keatas, tetapi tidak bisa tertolong, meninggal.
Dan didalam rumahnya yang mewah, pakde melihat si-bapak seperti orang kesurupan, ngomel ngalor-ngidul.
“Bukan dia yang dibawa, bukan dia, aku sudah janji akan cari gantinya,…”
Dan banyak lagi kata-kata yang seolah dia menyumpahi “sesuatu” .
Pakde dan bude kebingungan dan mencari orang pinter didaerah itu.
Tetapi rupanya dia terus menangis, tertawa dan ngomel tiada henti, sehingga harus dibawa ke dokter untuk diberi obat penenang dan menjalani perawatan secara medis.
Pakde sempat bincang dengan beberapa keluarga orang itu dan orang dekat keluarganya , dari situ terungkap cerita yang mengerikan.
Jadi bapak dan ibu itu, karena sudah terbelit hutang, merasa putus asa, mereka menempuh dan mencari jalan pintas yang mistis, mencari upaya pesugihan.
Syaratnya, mereka bisa kaya raya, tapi minta tebusannya, minta tumbal , nyawa orang dekat.
Mereka katanya bersedia, sudah hilang pikiran akal sehat, dan mereka menunjuk ketiga anaknya untuk dikorbankan, jadi tumbal.
Mungkin karena serakah, sudah takabur, hilang kedali diri, sesudah berhasil menjadi begitu kaya raya, mereka lupa, bahwa korban/tumbal harus terus ada dan disediakan..
Dan yang kena adalah si-ibu, yang tiba-tiba meninggal.
Kita semua terdiam, rasanya tidak masuk akal, tetapi itu konon benar terjadi, karena waktu itu kebetulan rumah dinas pakde ada didepan rumah orang yang bersangkutan.
Dan entah bagaimana, akhirnya rumah itu terbakar, si anak bungsu bisa diselamatkan, tetapi si bapak terlanjur menjadi gila.
“Kalau didesa kalian, ada enggak cerita orang cari pesugihan seperti itu ?” aku tanya pada Warsih dan pak Pardi.
“Ada bu, banyak – tuyul, keblek, minta tumbal dan babi ngepet,…” kata Warsih.
Warsih dan pak Pardi ganti berceritera, konon didesa mereka ada orang cari pesugihan dengan babi ngepet.
Jadi jika malam hari, pada hari-hari tertentu, sisuami mengadakan ritual dikamar berdua dengan isterinya.
Dikamar itu hanya ada lampu teplok, dengan sumbu api yang menyala.
Sisuami berubah jadi babi hutan dan mencari rumah orang kaya – katanya jika badannya digosokkan pada dinding rumah orang itu, ada hartanya yang nyangkut pada si babi hutan itu.
Kalau sudah dapat banyak, suami pulang, dan begitu badannya digoyangkan, berjatuhanlah duit yang tadi nyangku dibadan suami.
Aku tertawa “ Lha terus orangnya jadi kaya ?” aku tanya
Mereka berdua mengangguk “ Iya bu, untuk orang desa sana, dia paling kaya.”
“Jangan-jangan kalau pergi malam, dia jadi maling bukan jadi babi,..” kataku
“Enggak itu bu, orang-orang kampung sudah curiga. Pernah ketahuan dan diuber ramai-ramai, sempat terdesak dan terpukul kepalanya. Tapi babi itu terus melawan, menyeruduk orang didepannya dan dia berhasil lolos.”
“Trus ? … “ aku tanya
“Katanya ada yang bilang, paginya lihat kepala bapak itu dibebat dengan perban.”
“Lha terus piye ?” tanyaku lagi.
Katanya orang-orang desa pada selalu nyindir – jika ketemu isterinya dipasar atau ketemu suaminya diwarung, selalu membicarakan babi ngepet itu.
Mereka semua punya rencana, jika tahu ada babi itu berkeliaran lagi, mereka bukan mau memukul dan mengusirnya saja, tapi sudah disediain parang dan linggis untuk memburunya.
Mungkin karena takut dengan sas-sus ancaman warga disitu, kok babi-ngepetnya gak pernah muncul lagi.
Tapi lama-lama, keluarga itu pindah dari desa .
“Lha terus kalau keblek gimana ceritanya ?” ibuku bertanya
“Ya sama seperti babi ngepet, tapi keblek ini katanya rupanya seperti burung – bunyinya blek-blek-blek, sering malam-malam di pekarangan rumah orang.”
“Apa gak banyak yang memburu, jika berupa burung, pernah kepergok dan ketangkep enggak ?” tanyaku.
“Sulit bu, karena kalau ketahuan orang katanya bisa menghilang,…”
“Weh, sakti banget tuh dukunnya,… “ kataku, … meskipun aku tidak percaya.
“Wis – wis, ngisi bensin sik,… “ kata pak de dan mencari kudapan dan minum kopi lagi.
Aku mencari perkedel bu Po tadi, dan kuambil beberapa dan minum es teh, kemudian perkedelnya kuedarkan pada semua.
Banyak sekali bu Po membikinnya tadi, masih tersisa banyak di nampan, tiba giliranku, aku segera mengambil lagi .
Kulihat anakku sudah tidur, kucium dia, menggeliat sebentar dan kemudian tidur lagi.
“Lha terus ceritanya pakde Sukur gimana pakde ?” tanyaku pada pakde Gito.
“Bapakmu kuwi sing ngerti ceritane jelas, sing ndampingi mas Sukur yo bapakmu kuwi. “ *) pakde menunjuk ayahku.
(“ * Ayahmu itu yang mengerti dengan jelas., yang mendampingi mas Sukur ya ayahmu itu.” ) Kata pakde Gito, ayahku hanya tersenyum.
Waktu itu ditunggu sampai lama pakde Sukur belum juga datang, padahal menurut eyang hari ini bakal darang.
Sampai makan malam, ternyata pakde juga belum datang.
Semua sudah menunggu, hanya eyang yang tetap tenang, ibu juga sudah gelisah
“Kok mas Sukur belum juga datang ya ?” kata ibuku
“Nanti sebentar lagi datang,…” jawab eyang dengan sabar,
Tiba-tiba saja kemudian, pakde Sukur sudah datang diantar oleh penjaga malam kita.
Langsung beliau menghampiri eyang, dan berdatang sembah pada eyang, eyang mengangguk-angguk dan mengelus rambut pakde.
Pakde memeluk semua keluarga tanpa berkata sepatah katapun.
Kemudian beliau melihat kebelakang halaman rumah, waktu itu sudah malam, hanya sorot lampu dari dalam rumah yang temaram menyinari halaman itu.
Tanpa berkata beliau langsung berjalan kehalaman belakang, didekat pohon kedondong yang besar disana, beliau berhenti.
Agak lama beliau disana, terlihat pakde Sukur seperti bercakap dengan seseorang yang tidak tampak.
Kemudian beliau berjalan lagi kebelakang, kearah bekas bengkel dan disana beliau juga berhenti dan seolah menyapa dan berbincang dengan seseorang yang juga tidak tampak.
Beliau berjalan kebelakang lagi, disana ada bangunan yang rusak, dinaungi pohon besar juga, bunga kantil yang semerbak wangi, tetapi beliau sudah tidak tampak, karena tempatnya gelap sekali.
Pakde Gito, pakde Jati , bude , bapakku dan ibu menunggu diruang tengah.
Sementara eyang duduk diserambi belakang, menunggu seorang diri.
Agak lama pak de Sukur “menyapa” yang katanya penunggu rumah ini.
Ketika kembali, beliau langsung menghampiri eyang diserambi belakang dan mereka berbincang agak lama.
Apa yang dibincangkan tidak ada yang tahu, sesudah itu pak de dan eyang masuk, dan seperti tidak ada apa-apa, mereka biasa saja.
Sesudah minum kopi dan makan malam, mereka keruang tengah untuk ngobrol santai.
Beliau tertawa terbahak-bahak waktu diberitahu kalau pakde Jati sampai jungkir balik jatuh dari undakan balkon/panggung itu.
“Padahak saiki endase ono nang mburi panjenengan lho mas, iku ngiwi-iwi “ *
*( Padahak sekarang kepalanya itu ada dibelakangmu lho mas, itu mengejek-ejek.*) kata pakde Sukur geli.
Pakde Jati ketakutan, menoleh kebelakang dan cepat merapat pada bude, berpegangan erat.
Untung bude seorang pemberani, malah tertawa, dipeluk oleh pakde.
“Mengko bengi, panjenegar di enteni nang undak-undakan maneh, direwangi nyebul akike*,..” kata pak de Sukur
( Nanti malam, mas ditunggu di undakan, mau dibantu meniup akiknya lagi,..*), pakde Sukur tertawa lagi, mereka semua juga tergelak.
“Coba kamu lihat, ini akiknya berkhasiat ya ?” tanya pakde Jati menunjukkan akiknya pada pakde Sukur.
Akik itu dipegang, kelihatan bibir pakde Sukur gerak-gerak seperti membaca rapalan ajian, dan ditiupnya akik itu, hilang lenyap dari tangan beliau.
Kemudian beliau meminum kopi, ternyat akik itu sudah ada didalan cangkir beliau., diambil dibersihkan dan dikembalikan pada pada pakde Jati.
“Iki lehe mundut pira mas ?” ( Ini belinya berapa mas ? ) tanya pakde Sukur.
Untuk waktu itu harganya lumayan mahal, pakde Sukur hanya tersenyum.
“Iya, berkhasiat, … tapi kok ana endas glundunge ya,…”
( “Iya berkhasiat,… tapi kok ada kepala ngglundungnya ya ?” ) – terpaksa yang menerima akik itu bude, karena pakde Jati tidak berani menyentuh akik itu.
Eyang hanya tersenyum saja melihat semua itu.
“Oh iya mas, apa tadi yang dilihat dibelakang ?” tanya ibu.
“Iya agak angker, tapi nanti akan aku bicarakan lagi dengan mereka. Aku tadi sudah bilang, ini sekarang yang menempati adikku, jangan sampai diganggu,…”
“Loh kok mereka, … jadi ada banyak ya mereka bertempat disini ?” tanya ibu.
“Sudah kamu tenang saja, nanti aku urus dengan dibantu restu ibu,…” kata pakde Sukur.
Eyang hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum.
“Aku harus sedia apa mas Sukur kalau waktunya ?”
“Enggak usah sedia apa-apa, kamu kira aku dukun apa ?” kata pakde tertawa.
Pakde Sukur itu sebetulnya orangnya pendiam, tetapi suka usil jika sudah bertemu dengan pakde Jati.
“Wong lanang kok jerihe eram, .. untung mbakyu kendel.” ( * Orang laki-laki kok begitu penakutnya, untung mbakyu pemberani. ) sering pakde Sukur ngedumel seperti itu.
“Kapan mas mereka mau di suruh pergi ?” pakde Sukur menggeleng.
“Gak disuruh pergi, tapi supaya mereka gak usil menggoda orang rumah saja.” Kata pakde, ibu memandang eyang dan eyang juga tersenyum saja.
“Wis ora apa-apa, …kadang-kadang nggoda sithik yo rapopo to ?” ( * Sudah gak apa-apa, … kadang-kadang menggoda sedikit, tidak apa-apa kan ? ) kata eyang.
“ Mereka itu rumahnya disini sudah lama, kadang-kadang ada yang usil – ya itu seperti kangmasmu “ kata eyang sambil menunjuk pakde Gito, semua tertawa.
Ibu itu merupakan puteri eyang yang paling bungsu, puteri kesayangan dari eyang, dan pastinya merupakan kesayangan juga dari seluruh keluarga.
Jadi jika ada sesuatu, semua kakak-kakaknya harus siap sedia membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!