Pavilun Rumah Sakit Pemerintah itu hanya punya enam kamar
Saat ini hanya tiga kamar yang terisi, disebelah kanan ada seorang bapak yang terkena stroke – dari seorang direktur yang insinyur menjadi tidak bisa menulis satu hurufpun, lali lupa segalanya, serta tidak mengenal apa dan siapapun.
Dikamarnya disamping isteri, ada beberapa orang yang ikut menjaga.
Kemudian dikamar depan, ada seorang ibu sepuh yang hanya ditunggui oleh pembantunya yang juga sudah tidak muda lagi. Konon putra/putri ibu itu jauh dari Surabaya, satu ada di Jepang, satu ada di Ambon dan puteri bungsu ada di Banyuwangi.
Kemudian dikamar tengah, suami yang terkena hipertensi karena kesalahan pola makan . Yang mendampingi aku sendiri, ibu mertua, seorang adik mertua – tante Murni dan juga anak sesudah pulang dari sekolah. Kita sudah tiga hari di Rumah Sakit itu, dan karena keadaan suami sudah membaik, akupun ngantor seperti biasa.
Siang itu sepulang dari kantor, aku memasuki area pavilyun dan berjalan menuju kamar suami. Dicegat oleh pembantu tua ibu sepuh dan mengatakan jika ibu ingin bertemu denganku. Aku masuki kamar ibu, kulihat beliau tersenyum memandangku. Tanganku dipegang, akupun mengelus tangan beliau perlahan, beliau sudah tidak bisa berbicara., sejak diangkat kerumah sakit ini lima hari lalu.
Kemudian tanganku ditaruh didada beliau, digenggam, tersenyum, kuelus-elus tangan beliau dengan lembut dan secara perlahan kulihat beliau terlelap, nafasnya teratur.
“Kalau ibu terbangun, saya ada dikamar depan ya mbok,..” kataku pada pembantu beliau.
Dikamar, kulihat suami sedang makan buah ditemani oleh anak, mertua dan tante Murni, rupanya keadaan suami tambah membaik.
“Ma, tadi dicari sama pembantu kamar depan,..” kata anakku, aku mengangguk.
Kuceriterakan, aku tadi sudah mampir kesana dan sepertinya beliau sekarang sedang tidur.