Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Darah Biru yang Terluka ( 55 )

3 Februari 2015   22:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:53 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: mutiarasukma.net

[caption id="" align="aligncenter" width="390" caption="Sumber Gambar: mutiarasukma.net"][/caption] Bagian ke Lima Puluh Lima :   JANJI  BUYUT  HARUNA Pemandangannya bukan main indahnya, paduan aneka warna ini membuatku selalu terpesona saking memukaunya. Aku berkuda disamping senapati Warsih “Kenapa kok di sebut Sela Mangleng senapati ?” tanyaku “Didaerah itu ada goa yang lumayan luas Puteri, dan didekat goa itu ada sebuah batu yang amat besar dan indah, warna-warni. Batu itu miring, tapi di tumpu oleh batu besar yang lain,.” “Oh begitu, aku ingin melihatnya, pasti indah ya ?’ “Iya Puteri , batu itu berwarna warni aneka rupa berkilauan.” “Masih jauh letaknya, dimana dusunmu Warsih ?” “Dusun saya di sebelah sana Puteri, ini saya mencari jalan memotong agar cepat sampau di Sela Mangleng.” Kita memacu lebih cepat, dan terasa jalan mulai naik, pemandangannya makin indah, karena banyak bunga yang bermekaran di sepanjang jalan. Kurasakan hawa mulai dingin, jalan terus naik, aku memandang kebelakang. Aku menghentikan kudaku, kulihat Nyai Gandhes kelihatan kecapekan. Senapati Warsih juga menghentikan kudanya dan ikut turun dari kudanya menunggu rombongan Nyai Gandhes, Nini Sedah, putri Kuning dan pangeran Biru serta para pengawal mereka. “Masih jauh Warsih ?” tanya Nyai Gandhes sambil melihat jalan yang terus menanjak. “Sebaiknya Nyai dan keluarga istana berhenti disini saja dahulu, biar saya dengan beberapa panglima dan senapati yang naik keatas.” Kataku Puteri Kuning dan pangeran Biru memaksa ikut, tapi kularang dan Nyai Gandhes juga menyetujui. Puteri Kuning dan pangeran Biru masih ada luka yang belum sembuh benar, sehingga perlu perawatan. Nini Sedah yang akan merawat mereka semua, sementara rombonganku bersiap akan naik keatas Beberapa ponggawa mulai menyiapkan peralatan untuk sekedar berhenti bagi keluarga keraton. Ada tenda besar didirikan dengan beberapa perlengkapannya. Aku cepat pamit dan memacu kudaku di susul senapati Warsih dan yang lain. Senapati Warsih mendahului aku, jalan terus menanjak dan hawa makin dingin. Kemudian kita berbelok kekanan, dan ada sebuah dataran yang luas terbentang didepan kita. “Itu Puteri goa Sela Mangleng, …”dia menunjuk sebuah goa yang besar dan ada sebuah batu amat besar yang indah dan berdiri doyong dan miring ditumpu oleh batu besar yang lain. Seperti sebuah gapura alam yang indah sekali. Kita lewati gapura Sela Mangleng itu dan dihadapan kita ada goa besar yang tampak sepi. Panglima Maruta dan panglima Wulung turun dan segera mengintai di sekitarnya. Beberapa senapati panah menyebar mengelilingi gua itu di sertai pasukannya masing-masing. Aku mengawasi keadaan sekeliling, kelihatannya sepi saja, aku turun dari kudaku. Kulepas lilitan cambukku, senapati Warsih dan dua panglima itu berjalan di depanku mendekati mulut goa yang kelihatan tetap sepi. Kita menunggu sebentar, pasukan panah lebih mendekat kearah goa, bersiaga. “Kalian bersiap,…” aku melihat keatas goa dan sekitarnya sekali lagi. “Biar saya yang maju Puteri.” Kata panglima Wulung dan paman Maruta hampir bersamaan. “Jangan, … biar aku saja. Panglima siaga disini.” Aku mengendap dan mulai melangkah “Aki Sedah dan kakang Narpati, dimana kalian ?” teriakku, suaraku lantang menggema. Keadaan tetap sepi, kemudian aku lebih mendekat kearah goa itu Sekali lagi memandang sekeliling dengan waspada, berteriak memanggil nama Aki Sedah dan kakang Narpati. Dan kulecutkan cambukku dengan keras, suaranya cetar mengumandang. . Dan dari goa keluar dua orang pria, kelihatan lusuh dan berjenggot yang lumayan tebal. Satu sudah agak tua dan yang lain masih tampak muda. Aku segera tahu itu Aki Sedah dan kakang Narpati, meskipun lusuh masih kelihatan kulitnya yang merah muda. Mereka memandangku dan kemudian melihat cambuk yang kubawa “Puteri Puspita ?” hampir bersamaan mereka berkata. Panglima Maruta dan panglima Wulung segera mengenali kedua orang itu dan mereka segera bersembah pada dua panglima itu. Mereka juga bersembah padaku, akupun menyalami mereka dengan hormat “Senang berkenalan dengan calon permaisuri pangeran Biru.” Kata mereka, aku tersenyum “Tidak ada orang Kemayang disini ?.” Tanya panglima Maruta “Tidak panglima, Buyut Haruna mempergunakan ajian Halimun-nya hingga tidak ada yang tahu.” “Ayo kita segera turun, semua sudah menanti di bawah, mereka nanti pasti kaget. Terlebih Nini Sedah dan puteri Kuning.” Kataku, aku pandangi kedua orang itu. Ada perasaan senang dan puas yang tak terhingga dihati ini kurasakan. Kita cepat turun, rupanya buyut Haruna juga sudah menyediakan dua ekor kuda bagi mereka. Aku memacu kudaku dengan cepat dan sampai didekat perkemahan tadi.. Pangeran Biru tampak gelisah selalu memandang ke tanjakan lereng bukit ini. Dan dia terperangah memandang dua orang pria brewok yang datang bersama kita. Keduanya bersalam hormat pada pangeran Biru kemudian mereka saling berangkulan. “Dimana Kuning dan Nini Sedah ?” aku tanya “Didalam kemah, tidur.” Aku lari memasuki kemah, kulihat Nyai Gandhes sudah menyongsong di depan. Dan aku lihat puteri Kuning dan Nini Sedah bergandengan tangan sambil memandang siapa yang datang. Mereka seperti tidak percaya dengan pemandangan di depannya. Mereka langsung menubruk kedua orang itu dan saling berpelukan erat, banyak air mata yang runtuh di situ, tangisan juga menyusul. Pangeran Biru segera memeluk aku, juga Nyai Gandhes memelukku. Tiba-tiba Kuning melepaskan pelukan kakang Narpati, berlari kearahku dan memelukku amat erat “Terima kasih Puteri Puspita, yang cantik, ayundaku, sahabatku.” Dipeluknya juga pangeran Biru. Nini Sedah juga berterima kasih padaku, kita semua saling berpelukan dan saling menangis gembira dan bahagia. Setelah berbenah, kita langsung memacu kuda dengan cepat menuju ke istana, aku memandang wajah Kuning yang kelihatan berbinar bahagian, demikian juga nini Sedah. Diumumkan ada pertemuan nanti malam di ruang daharan untuk menyambut Aki Sedah dan kakang Narpati. Masuk kamar, sekali lagi Puteri Kuning memelukku dan berterima kasih padaku. “Benar Puteri katamu kemarin, kakang Narpati ternyata bisa kembali ke Galuga, Nini Sedah juga tidak mengira itu. Kita semua berhutang budi kepadamu.” “Buyut Haruna yang melepaskan mereka dan membawa ke gua Sela Mangleng, orang Kemayang  tidak ada yang tahu karena Buyut menggunakan ajian Halimun yang ampuh.” “Engkau mengerti hal itu sejak kita berangkat ke Sela Mangleng sesudah kaukalahkan Buyut Haruna ?” aku mengangguk “Aku tidak berani mengatakan hal itu dahulu padamu dan nini Sedah, aku kawatir kita cuma dijebak oleh Buyut Haruna di Sela Mangleng tadi.” “Tadi aku melapor pada Nyai Gandhes, beliau percaya kalau buyut Haruna tidak bohong tapi kita tetap harus waspada dan siap. Jadi kita tetap membawa banyak pasukan dengan panglima dan senapatinya.” “Waktu engkau dengan nyai Gandhes bicara berdua tadi, nini Sedah, aku dan pangeran Biru juga berpikiran ada apa, kita bertiga tidak diajak ikut bincang. Dan dalam perjalanan engkau selalu menjauh dari kita bertiga, malah selalu bersama senapati Warsih” Aku tertawa “Engkau tahu, aku tidak bisa berbohong padamu, puteri Kuning yang cantik. Aku kurang percaya dengan orang Kemayang, jangan-jangan ternyata kita nanti di jebak di Sela Mangleng tadi.” “Aku tidak ingin mengecewakan engkau Kuning.” Kataku, dia memandangku. “Tetapi entah kenapa, aku merasa masih ada yang engkau sembunyikan dari aku Puteri, aku tidak mengerti apa tetapi aku bisa merasakannya.” “Sudahlah, tidak ada yang aku sembunyikan darimu, engkau bahagia tadi bisa bertemu dengan kakang Narpati ?” aku alihkan perbincangan kita. Dia mengangguk “Kasihan dia jadi kurus dan lusuh sekali, demikian juga Aki Sedah, sudah kelihatan tua.” “Nanti kalau wajahnya sudah di bersihkan, pasti tampak lain. Bajunya juga diganti yang lebih pantas.” Kuning kulihat mengangguk. “Kemana sekarang kakang Narpati, pulang kerumahnya ?” tanyaku “Iya ibundanya sudah kangen sekali, demikian juga dengan ayahanda dan adiknya.” “Kita nanti ketemu semua di ruang daharan. …Oh iya Puteri nanti engkau pakai baju yang mana ?” Dia membuka almari bajunya. “Yang mana saja yang pantas untuk menyambut kedatangan orang yang paling di cintai oleh Nini Sedah dan engkau Kuning. Dua orang yang dahulu pernah menyelamatkan hidupku.” Aku tersenyum Puteri mengeluarkan sebuah baju yang amat bagus dengan pinggiran emas yang mewah, baju khas keraton puteri Galuga. “Mudah-mudahan tidak ada yang iri padaku lagi sekarang.” “Tidak, lagipula Puteri Intan rupanya sekarang sudah makin dekat dengan pangeran dari Kemayang itu.” Aku tertawa. “Kita istirahat dahulu, ini masih siang, kita tadi belum makan.” “Ini di meja sudah ada makanan dan minuman yang tersedia. Kita makan Puteri” “Kok masih banyak yang dikirim kesini ?” aku tanya “Mereka rupanya sudah membiasakan diri untuk mengirim calon permaisuri Galuga dengan makanan yang enak dan banyak.” Kata Kuning sabil tertawa “Sebentar saja aku bisa gembrot kalau di biasakan makan seperti ini.” kataku Kuning hanya tertawa dan kita mulai makan bersama Ada ketukan di pintu, pangeran Biru masuk dan terbelalak melihat makanan yang begitu banyak dimeja “Makan disini saja pangeran bersama kita.” Dia senyum dan mengambil nampan. Sesudah makan kita mencari padanan antara baju yang akan kukenakan dengan baju yang nanti bakal dikenakan pangeran Biru. “Kuning, besok kalau kita jadi pengantinnya bersama saja, sesudah perang ini usai. Kan kakakng Narpati sudah datang.” Kata pangeran Biru. “Iya pangeran, sebaiknya menunggu kakang Narpati agak bersih dan gemuk sedikit. Aku tadi pangling dengan kakang Narpati, jadi lain.” kata Kuning Kita tertawa geli, lucu puteri Kuning ini, kemarin di rindu setengah mati, setelah ketemu malah bingung dan pangling. “Nanti selelah bersih dan berganti baju pasti engkau terkagum lagi padanya.” Kata pangeran Biru. Pangeran Biru memelukku “Engkau bersedia menikah denganku puteri catik ?” tanyanya lembut Aku tidak menjawab, hanya menyusupkan kepalaku kedadanya dan mengeratkan pelukanku saja padanya.. Sayatan lembut itu terasa kian menggores lagi didada ini, pedih kurasakan. :“Nanti aku dan kakang Narpati akan menjemput kesini ya ?” kata pangeran Biru Aku dan Kuning mengangguk bersamaan, … ah, senyum itu dan perhatian itu, ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun