[caption caption="Sumber Gambar: ameliarizqi.blogspot.com"][/caption]
• Tantangan FC – nulis novel * 100 hari 50.000 kata *
• Siti Swandari no. 16
VI. Terus Diganggu
Sudah menjadi kebiasaanku sejak muda, jika jelang tidur, aku selalu membaca buku ditempat tidur, kadang sampai jauh larut malam.
Ditempat tidurkku selalu tersedia lampu baca, dan pasti ada beberapa buku, majalah atau koran yang belum sempat kubaca.
Jika sedang asyik, kadang sampai lupa waktu, hingga jelang subuh
Setelah menikah, kebiasaan itu tidak juga hilang, dan selalu tersedia lampu baca ditempat tidurku, juga beberapa buku dan majalah dan juga koran dirak dan lemari tempat tidurku.
Dan malam inipun aku sedang membaca, kebetulan tadi ada majalah dan koran langganan yang datang, aku belum sempat membacanya tadi siang.
Kulirik jam hampir setengah satu, suamiku sudah tidur, aku menguap, mataku mulai terasa berat, mengantuk.
Aku bangkit, sepi sekali terasa keadaan sekeliling.
Aku kekamar anakku, semua sudah terlelap, aku jalan kekamar makan, membuka kulkas, tapi kututup lagi, kekamar mandi dan kembali kekamar.
Sesudah minum air putih yang selalu tersedia di meja dekat tempat tidurku, aku matikan lampu baca, aku menata bantal dan mulai tidur.
Keadaannya sunyi sepi, hening , aku mulai akan lelap
Rasanya baru sebentar tertidur, aku sayup mendengar teriakan … ibu … ibuu, .. ibuu …langsung mata ini terbuka, aku terjaga.
Aku cepat bangkit, menajamkan telinga, terdengar lagi,…suara Warsih ?
Kunyalakan lampu, aku mendengar panggilan itu lagi, .. iya suara Warsih.
Aku membangunkan suamiku, “ Pa,..pa, … paa,.. “ dia kaget, aku memberi tanda dengan jariku, dia juga segera mendengarkan teriakan itu dengan setengan ngantuk tapi segera bangkit.
Cepat mengambil pentungan, minum air putih beberapa teguk dan langsung keluar.
Aku juga mengambil pentungan dan ikut lari keluar, aku berteriak keras, … Warsih,… Warsih,… Waarsiiih !!!
“… Ibuuu ada orang, …Ibuu..” suaranya terdengar ketakutan
"Pardi ,…Pardi,.." terdengar suamiku memanggil pak Pardi, kudengar dia membuka pintu dapur.
Warsih langsung masuk dan menghambur berlari kedalam, eyang dan pembantu juga anakku sudah terbangun, kita semua kebingungan, mungkin belum sadar benar.
“Ada apa Sih ?” tanyaku, dia kelihatan takut sekali, menggosok-gosok matanya, pembantuku memberinya minum air putih, dia meminumnya gesa.
Kulihat suamiku dan pak Pardi juga masuk, sesudah menentramkan diri, ... mereka cerita.
Jadi tengah malam, jendelanya digedor dari luar, dimintai duit atau perhiasan,.
Pak Pardi tidak mau memberi, dan mereka mulai mengancam, kalau tidak jendelanya mau di pecah, mereka membawa kapak, mau didobrak diobrak-abrik.
“Jendelamu pakai tralis ya ?’ aku tanya, pak Pardi dan Warsih mengangguk
“Saya yang takut bu, gemetaran - jendela itu digedor – gedor pakai kapak, keras sekali , kayunya didobrak, dicecel-cecel, mau di pecah,..” Warsih agak tersengal berceritera.
“Orangnya pada lari setelah mendengar suara bapak tadi.” Kata pak Pardi.
“Sudah, kamu sekarang ngambil barangmu semua dan tidur didalam saja malam ini.” kata suami.
Sekali lagi suami dan pak Pardi memeriksa kamar itu, suami ikut menyoroti halaman belakang , kemudian menutup – mengunci pintunya dari luar .
Dan mereka ngumpul semua dikamar anakku dan eyang, tapi sepertinya sampai pagi tidak ada yang bisa tidur.
Paginya kita berbondong keluar untuk melihat jendela yang sudah terpecah-pecah, dikawal oleh suami dengan membawa senjata yang sudah dikokang, siap tembak.
Suasananya betul-betul menegangkan, aku melihat sekeliling dan melihat beberapa jejak kaki dibawah jendela – banyak sekali jejak-jejak ada disitu.
Jejak-jejak itu bercampur dengan serpihan kayu jendela yang berderai di gedor-gedor tadi malam.
Sewaktu suami kekantor, pak Pardi tetap dirumah, nanti akan dikirim orang untuk membantu pak Pardi membetulkan jendelanya.
Beberapa orang dari BRI juga pada berdatangan dan melihat kerusakan jendela itu, mereka makin khawatir saja, rupanya maling itu sudah mulai nekad.
“Oh iya,berapa orang kamu dengar suaranya malam itu Sih ?’ aku tanya
“Sepertinya ada dua orang bu,..” jawab Warsih
Pak Dullah dan pak Burhan, tetangga itu juga datang membantu, sebentar kemudian ada dua orang dari kantor yang ikut serta juga membantu.memperbaiki jendela itu.
Ada tukang las yang dibawa serta, untuk memperkuat tralis-tralis di jendela,, dan dipintu belakang dipasang lagi beberapa catok tambahan untuk memasang gembok.
Pada siang hari, jendela itu tampaknya sudah rapat dan kuat, juga tralisnya dipasang lagi mur tambahan dan tralisnya ditambah silang, agar lebih rapat.
Waktu suami datang, dia membawa beberapa gembok besar, yang akan dipasangkan pada pintu belakang.
Aku sebetulnya pengin tertawa, jadi kamarnya Warsih dan pak Pardi pesis seperti kamar narapidana kelas berat, semua tertutup rapat.
*******
Kemudian, selama beberapa hari, keadaan aman-aman saja, warga BRI juga sepertinya tenang.
Aku sengaja sering duduk di serambi depan, sambil membawa bacaan dan minum, lihat sana-sini menghadang mereka, barangkali ada ceritera yang perlu aku simak..
Ada satu dua yang lewat, tapi semua mengatakan aman-aman saja.
Terasa nyaman juga, tidak ada yang membuat hati berdebar dan bergetar.
Malam itu dua pembantuku dibantu Warsih sedang mempersiapkan makan malam, terdengar mereka bergurau dan tertawa didapur.
Aku sedang tiduran dengan suami, dia sering berceritera tentang kesibukannya dikantor seharian itu.
“Tadi KPN ( Kepala Pengadilan Negeri ) Lampung datang ,..”
“Mmm, .. ngapain ?” aku tanya
“Ya biasa lapor ini itu,… eh, ma – katanya didaerah Lampung sana banyak sekali lho tempat yang enak untuk mancing,..” kulirik, kulihat ada binar dimatanya, aku tersenyum
“Emangnya mau mancing kesana, … aku gak mau ninggalin rumah kalau keadaannya masih seperti ini.” kataku
“Katanya banyak lobsternya disana, dia senang sekali kalau kita mau kesana -- aku bilang ibu itu suka banget mancing lho,..” aku tertawa
“Kok aku, yang paling getol mancing kan kamu, kok bisa aku ?” dia tertawa, garuk kepala, dia diam sejenak
“Oh iya, gimana ya kabarnya pak Po ? “ Pak Po itu sahabat mancing kita di Surabaya, dahulu juga rekan sesama Arek Suroboyo.
“Dahulu janjinya mau kesini ya – daerah Palembang kan banyak sungainya, anakan sungai Musi kayaknya juga asyik untuk mancing,…” katanya , aku mengangguk.
“Ah, sekarang mending mancing di pasar Cinde saja, gampang,..” kataku tersenyum (* pasar Cinde itu pasar besar di Palembang )
Dia kemudian berceritera bahwa menurut beberapa rekannya, sebaiknya kami pindah saja dari rumah dinas Lorok Pak Jo ini.
Takutnya nanti ada yang sampai celaka. Kan ada eyang dan anakku, juga para pembantu.
Aku mengangguk-angguk “Iya aku pikirkan saja nanti, … mmm, bukankah itu berarti kita menghindar, bukan menyelesaikan masalah ?”
“Apa kita tidak bisa minta tolong polisi, daerah sini rawan lho – BKKBN kemalingan, belum warga BRI belakang situ. Terus warga desa bawah sana, mereka sering di takut-takuti dan diancam oleh pemuda berandalan itu, … iya itu sih cuma masalah kecil-kecilan, makanan, mie instan, ayam, kambing, duit , cincin tapi kalau dibiarkan lama-lama bisa ngelunjak lho mereka, dikiranya kita takut ,.. . ?”
“Iya juga sih,…” kata suami, dia menarik nafas panjang
Tiba-tiba Yah, Mi dan Warsih lari terbirit-birit masuk kedalam.
Ketakutan, dan teriak-teriak ,” K-a-k-i, …k-a-k-i… kaki nggantung di jendela” langsung berlarian kekamar depan, aku kaget.
Kutanya mereka, ada apa ?
:”Ada kaki bu, nggantung di jendela,… “ mereka menutupi mukanya dengan bantal, ketakutan
Aku langsung berlari ke dapur.
Segera melihat kaca di jendela atas, tidak ada apa-apa. Aku buka pintu dapur, dan memanggil pak Pardi.
Rupanya dia sudah diluar membawa pentungan dan kemudian ikut mendongak melihat keatas .
Suami datang membawa senter besar dan kita menyoroti genting diatas dapur, sepertinya tidak tampak ada sesuatupun
Aku baru ingat kalau hari ini kamis malam, berarti malam Jum’at. Aku melihat ke pohon besar di belakang rumah yang tambah menyeramkan terkena gelapnya malam di saat seperti ini.
Kita semua saling berpandangan, ketika amat lembut tercium bau asap kemenyan entah dari mana.
Kedua pembantuku dan Warsih langsung lari mencari eyang di kamar depan yang sedang bersama dengan anakku.
Kemudian semua sudah diteliti oleh suami dan pak Pardi, dan ternyata tidak ada apa-apa.
Aku memanggil pembantuku lagi dan mereka datang bersama eyang dan anakku.
Di malam itu kamipun semua mengawal mereka, kedua pembantu cepat menyiapkan makan malam dibantu Warsih dengan tergesa dan rasa takut.
Pak Pardi mengawal dengan pentung, juga suami yang menyorot kesana sini diatas genting.
Aku pinjam senter suami dan menyoroti pohon dibelakang, tampaknya tidak ada apa-apa, hanya tampak rimbun saja.
Malam itu terasa suasananya agak serem, ada kaki tampak di kaca jendela dapur -- malam Jum'at lagi, dan ada bau kemenyan.
Paginya aku melihat lagi posisi jendela dengan pinggiran plafon luar.
Kupikir jadi ada orang duduk di pinggiran lys plank luar dan kakinya di gantung, apa bisa tampak kakinya dari dapur ya ?
Sepertinya pas, tapi siapa malam-malam yang duduk di situ ? Pas malam Jum’at lagi, aku garuk kepala dan makin penasaran.
Paginya aku jalan lagi mengelilingi rumah dengan membawa parang, aku lihat pasir yang aku taburkan di bawah jendela, berantakan. Dan ada puntung rokok baru lagi dibawah jendela kamar belakang.
Terus kemuka, kulihat beberapa buah pepayanya sudah lebih matang, aku petik sebuah yang paling besar dan lebih kuning dari yang lain.
Masih mengkal, tapi pasti enak untuk rujak manis nanti siang dengan nenas, bengkoang dan jeruk bali yang aku beli kemarin.
Eyang paling suedap kalau bikin rujak legi, segar sekali
Perasaan kemarin ada yang lebih matang, garis kuningnya lebih nyata, kok sekarang hilang ya – kulihat ada gagangnya terlihat bekas dipetik.
Aku melihat ke hutan belakang, mungkin kera-kera liar dihutan itu mulai mencium ada makanan, buah segar.
Aku tersenyum – ah biarkan saja, pohon kates ini banyak sekali, berderet kita tanam dan semuanya saat ini berbuat lebat, sudah mulai tua juga.
Kasihan jika kera-kera itu jika sampai kelaparan dihutan sana.
Aku juga melarang mengganggu jika ada yang tahu ada kera mengambil pepaya, biarkan saja, toh masih banyak buah pepaya lain yang bergantungan.
Terlebih Warsih bilang kalau ada seekor kera yang masih punya anak kecil, kemarin dia melihat sedang ada dipohon pepaya itu.
“Iya biarkan saja kera-kera itu mengambil pepaya kita, toh masih banyak yang lain,”
Warsih mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui.
“Beok minggu biar Pardi dan Karso mencangkul tanah itu kebelakang, kita tanami pepaya lagi, bijinya kita sebar disitu, biar ada kebun pepaya di halaman ini --- kasihan kera-kera itu,.…” kataku
“Ibu, kacangnya itu juga sudah hampir tua, waktunya panen.” Kata Warsih lagi
Kita kemudian berjalan kesamping, ke “kebun kacang “ kita.
Kelihatannya subur sekali, daunnya hijau segar.
:”Gitu itu sudah waktunya panen ya Sih ?” aku lihat banyak sekali tanaman kacangnya
“Iya Ibu, nanti kalau terlalu lama, terlalu tua, juga diambili sama kera-kera itu.”
“Ah, biar saja mereka mengambil, itu kan masih banyak, satu tanaman kan kacangnya banyak.” Kataku, dia hanya mengangguk.
“Pepayanya juga sudah mulai tua, matang, kera-kera itu pasti lebih suka pepaya, tempatnya dibelakang dekat hutan,…”
Kita terus berjalan kedepan rumah, aku melihat pasir-pasir dibawah jendela, sepertinya banyak tapak kaki disitu.
Aku dan Warsih memperhatikan dengan saksama, geleng-geleng kepala.
“Tidak kapok-kapok juga, ya “ kita meneruskan langkah kedepan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!