Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah Biru yang Terluka ( 91 )

12 Juli 2015   17:13 Diperbarui: 12 Juli 2015   17:23 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber Gambar: sasterakuduniaku.blogspot.com"][/caption]

Bagian ke Sembilan Puluh Satu : SI INDIGO YANG NYINYIR

 

Baru tiga hari Ria dan Made kembali ke Bandung, rasanya aku sudah kangen dengan si Indigo sahabatku, sang peramal cerewet itu, heran juga.
Karena kadang aku kebisingan atas celotehannya yang kurasa ngawur ngalor-ngidul gak jelas.
Tapi aku sering terbahak dengan segala ocehannya yang ceplas-ceplos, tapi bisa  tebak amat tepat.

“Made itu sayang banget sama Ria, kemana-mana yang diingat selalu Ria – Ria dan Ria. Pilih apa-apa, pasti iya ini Ria pasti suka.” Kata Achsan sambil senyum.

Kupandang kolam ikan didepan kita, cantik dan indah – ikan-ikannya renang gemulai dengan aneka warna yang apik.
Kolamnya tertata rapi, resik, asri dengan hiasan ala air terjun alami diperbukitan.

“Mereka ingin mengundang kita kelereng Tangkupan Perahu kalau liburan depan. Engkau bisa San ?” tanyaku.
“Jika bersama engkau, kemanapun aku mau.” jawabnya, aku tersenyum..

 “Ini kalau ada Ria, pasti kita diledek, kayak main filem Bollywood, pakai kutche-kutche hota hae segala.” Achsan tertawa.

Hape Achsan bergetar, dilihat dari Made.

“Ada apa De ?” tanya Achsan, kudengar dia berguman, dan mengangguk-angguk terus tertawa

“Iya, ini Puteri ada dideketku. Kita lagi duduk dihalaman depan, gazebo, ngomongin kamu dan Ria.”
Telpon cepat diserahkan padaku, langsung terdengar suara tawa.

“Kamu pasti lagi ngomongin aku sama Achsan ya ?” terdengar renyah suaranya, aku mengangguk, tertawa.

“Lagi ngapain kamu ?” tanyaku
“Lha ini lagi nilpun kamu, …” terdengar lagi tawanya
“Kita tadi jalan, terus berhenti cari makan. Aku ingat kamu, pasti kamu lagi kangen aku ya ?” aku ngakak

“Iya, kangen dengar cerwetmu dan nyinyirmu.” lagi-lagi dia tertawa

“Put, besok Made mau ke Lembah Dewa. Mau menata barang-barang yang dibeli sama Achsan kemarin di Surabaya. Nanti pasti keadaannya makin nyaman, kita bisa tambah kerasan disana.”

 “Asyik dong, … oh iya kata Achsan, dia juga pengin kesana, lihat istana kalian dilereng Tangkupan Perahu.”

“Iya pastilah dia mau klo sama kamu, .. aku juga dah kangen dengan engkau Put, jangan sampai gak datang ya, kita nanti bercanda disana, … mmm, kamu dah ditunggu pangeran tampan dari angkasa lho.” Aku tertawa, kumat lagi jiwa nenek sihirnya.

“Iya, .. sampaikan salamku ya, aku pasti datang.” Kataku menggodanya.

“Put, ini Made mau ngomong sama Achsan….” Kuserahkan hapenya pada
Achsan. Mereka berbincang, seperti agak panjang serius.

Ketika sudah selesai, aku tanya “ Ada apa kok kayaknya serius ?”

“Enggak, … Made itu kadang jengkel juga dengan Ria, kalau mau pergi ke Lembah Dewa, selalu diperingatkan, hati-hati nanti kepleset, ini itu licin kan ujan. .. dan lain-lain.”

“Kan bagus diingatkan, itu tandanya dia sayang Made.”

 

 “Iya juga, tapi Made jadinya juga agak was-was jika Ria lagi nyinyir gitu. Dulu pernah diingatkan dan dia tetap pergi juga , … eh, ternyata dia ya kepleset beneran, jatuh, untung gak parah.”

“Kan waktu kita masih SMA dulu, dia sering meramal teman-teman, dia memang indigo kok – ngomongnya celometan tapi kadang ada benernya .”

"Ibunya cerita sejak kecil dia punya six sence, tapi karena orang periang - kesannnya gak seius, cengengesan, jadi banyak yang acuh."

Kita saling pandang, .. iya dulu kita berdua juga pernah diramal sama si nyinyir itu, sambil ngakak Ria berkata – kalian pancen jodoh kok nantinya, meskipun banyak aralnya.

“Kayaknya saben orang bisa ngomong seperti itu.” kataku kurang yakin.
“Aku sih mengharapkan ramalan Ria yang itu benar terjadi nanti ” Katanya sambil senyum.

Karena hampir mahgrib , Achsan pamit pulang.
“Hati-hati Puteri, kalau ada apa-apa, langsung miskol, aku pasti segera datang.” Katanya mantap, aku mengangguk.

“Iya pasti, kamu juga hari-hati ya ?” pesanku padanya sambil berbisik.

 Masuk kekamar rasanya sepi, serasa ada yang hilang, setelah beberapa hari ditemani Ria yang cerah dan ramai penuh canda.

Makan malam juga sendiri, mbak Murni tetap tidak mau aku ajak makan bersama, hanya bersedia menemani sambil meladeni aku, ngambil ini itu.

Padahal tante Kami pergi bersama Cantik
“Pergi kemana mbak, tante Kamti dan Cantik, sama oom Darko ya ?”
“Kerumah bu Kasti, ..iya sama pak Darko.”

Sesudah selesai, mbak Murni menanyakan aku butuh apa lagi, aku menggeleng
“Enggak mbak, makasih, … silahkan istirahat saja.” Kataku.

Aku segera masuk kamar, hapeku bergetar, dari Achsan
“Put, barangkali kamu mau keluar, jalan sebentar, … beli bakso yuk ?”
“Enggak deh San, aku kepingin istirahat aja dirumah.”

“Iya deh, … mmm, klo butuh apa-apa, kamu SMS ya, aku keluar sebentar kemuka beli bakwan.”

“Iya, hati-hati, jangan dibegal cewek.” Kataku menggoda, terdengar dia tertawa.

 Kok aku tidak bisa cepat tidur ya, ada rasa gelisah , meskipun tidak tahu apa yang merisaukan hati ini.
Tiba-tiba hape bergetar, dari Ria

“Kamu lagi ngapain ?” tanyanya setelah menyapa selamat malam
“Mau tidur, … ini terbangun lagi dengar suaramu. Ada apa ?”

“Selekasnya kamu keluar dari situ ya Puteri cantik, kita semua sayang kamu lho. Barusan kata Made ditilpun Achsan, dia rasanya gelisah memikirkan kamu. Dia itu sayang kamu banget , tapi kan Achsan itu orangnya pendiam.”

“Dia tadi kesini, terus keluar bentar beli bakso di perempatan itu, sekarang dah balik di pondokannya. Kan dia deket dengan aku, RI -- hanya dua rumah dari sini.” Kudengar Ria menarik nafas panjang.

“Kamu hati-hati saja, aku ingin kita berempat nanti bisa bersantai nyaman dilereng Tangkupan Perahu yang elok.”

“Terima kasih ya, doakan aku tetap sehat selamat sejahtera, ….” Aku tertawa.

“Pasti, meskipun ada bahaya, kuharap ada keajaiban yang menolongmu. … nite, sweet dreams, … luv U Puteri.” Kupandangi hape itu, aku berfikir.

 Tiba-tiba aku merinding, keajaiban yang akan  menolongmu ? – apa maksudnya.

Ah, sudahlah, apa yang bakal terjadi nanti , terjadilah
Terima kasih sahabatku, dia selalu mengkhawatirkan aku, luv U too Ria.

Saat terlelap, kaget , sejenak merasa ada yang membangunkan aku, tergagap, kulihat jam satu malam.

Aku mendengar pintu pagar depan dibuka, aku cepat melompat mengintip dari jendela, perlahan korden kusingkap hati-hati.

Diluar rupanya tante Kamti datang dengan oom Darko, kuperhatikan isi mobil, seperti ada beberapa orang lagi didalamnya, … siapa ya malam-malam begini.

Aku cepat menyiapkan pisau dan hape untuk segera miskol Achsan, tapi kutunggu, semua sepi kembali.
Kutunggu sampai lama, terdengar pintu pavilyun dibuka dan ditutup lagi dengan pelan, terdengar batuk oom Darko tapi seperti ditahan .

Tidak terdengar apa-apa lagi, sepi dan hening saja.

Aku kembali ketempat tidur, menata bantal dan guling, kemudian menyusupkan kepalaku kebantal yang empuk.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun