Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Darah Biru yang Terluka (67 )

21 Maret 2015   10:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:20 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="220" caption="Sumber Gambar: kebunm.blogspot.com"][/caption] Bagian ke Enam Puluh Tujuh :  ADA  TAMU  DARI  JAUH    ? Upacara penganugerahan penghargaan juga berjalan dengan meriah. Banyak juga pundi-pundi  diberikan untuk membangun kesejahteraan dusun itu beserta  semua masyarakatnya. Warsih dan Teja mendekati aku “ Puteri, kita selalu harus was-was jika Baginda Kelana datang  menyerang dusun kami.” Pangeran Biru juga mendengarkan “Dia pastinya akan membalas dendam ?” “Tidak tahu pangeran, tetapi sejak tadi malam kita semua sudah berjaga juga bersiap-siap.” Aku lihat pangeran Biru segera menjumpai Nyai Gandhes dan aku lihat Nyai Gandjes mengangguk-angguk mendengar penjelasan pangeran Biru. Diakhir acara, diharapkan para panglima, senapati juga tetua dusun Minggiran tetap tinggal di istana, untuk memgatur segala siasat jika baginda Kelana menyerang. Ternyata Nyai Gandhes sudah mempersiapkan tempat bagi penduduk Minggiran dibukit  belakang istana untuk mereka. Jika baginda Kelana dan pasukannya menyerang Minggiran, mereka bisa berlinduung disana untuk mengungsi. Ketika acara selesai, mereka segera diantar pulang dan di kawal oleh pasukan Galuga dengan beberapa senapati serta panglima Dargo. Panglima Dargo beserta pasukannya akan terus berjaga melindungi dusun itu. Atau jika pasukan Kemayang menyerang dusun-dusun di sekitar waduk Prapat, warga dusun diharapkan mengungsi untuk berlindung dbelakang istana, di tempat yang sudah di sediakan dan dijaga oleh kerajaan. Aku juga  Kuning hanya mendengarkan saja semua siasat dan cara-cara perang. yang bakal di terapkan. Ketika semua sudah usai, pangeran Biru menemui aku “Aku pamit Puteri,…” dipeluknya aku “Kita semua akan menjaga istana ini dengan saksama. Paman Prasanca diganti oleh panglima Lasmi mendampingi aku dengan paman Panji.” “Puteri hati-hati, karena baginda Kelana pasti mencarimu dan siapa saja yang mendatangi istana air Parapat.” “Pangeran juga hati-hati, karena Puteri Kencana masih mencarimu.” Kataku bernada cemburu, dia tersenyum “Pangeran ini hanya untukmu Puteri, tidak ada yang lain.” Katanya mantab. “Pangeran nanti ada dimana ?” tanyaku “Di wilayah kedua di depan istana ini. Kita harus bersiap-siap.” Kupeluk lagi pangeran Biru “Hati-hati pangeran, aku mencintaimu.” Dipandangnya aku” Aku amat mencintai engkau Puteri, hati-hati juga.” Diapun memeluk Kuning dan juga kakang Narpati. Dia menaiki kudanya dan segera bibi Lasmi dan paman Panji mengawalnya. Beberapa panglima aku lihat juga segera mengawal pangeran, panglima Andaga dan bibi Wulung juga. Kuning memeluk aku, pangeran Biru tersenyum dan segera memacu kudanya. Kita kemudian diajak oleh Nyai Gandhes memeriksa tempat yang di sediakan bagi penduduk Minggiran, jika sewaktu-waktu Kemayang menyerang dusun mereka. Lahan dibelakang istana amat luas, agak berbukit, masih penuh dengan pohon hutan dan buah-buahan yang lebat, Ada sungai yang lumayan deras alirannya nya dengan air yang jernih mengalir ditengah kawasan itu. Sebuah lapangan yang luas sudah terbentuk, beberapa tenda didirikan di antara pohon besar. Mereka juga cepat mendirikan beberapa bangunan dari batang kayu pohon yang di tebang untuk membuat dangau tempat berteduh, sekaligus untuk tempat pertemuan antar mereka dan istana. Disetiap pojokan kawasan di sediakan juga bangunan untuk dapur umum untuk rangsum , juga  tempat untuk perawatan jika ada yang sakit. Banyak  pos-pos penjagaan sedang di bangun untuk pasukan yang akan mengawasi serta  menjaga daerah itu. Nyai Gandhes memeriksa semua, kakang Narpati dan paman Maruta juga mengawasi pekerjaan itu semua. Paman Rahasta aku lihat  memberi beberapa saran dan perintah untuk kebaikan semuanya. Kita mengelilingi daerah itu, tempatnya indah diketinggian bukit yang masih perawan, kulihat masih banyak pohon buah-buahan yang sedang sarat berbuah. Pohon buah-buahan juga  perdu semak belukar  yang berguna untuk kesejahteraan obat-obatan dan kesehatan dilarang di tebang, karena masih bisa berguna. Kita segera kembali ke istana, begitu menjelang sore. Ternyata pangeran Biru sudah ada di istana, sedang berbincang dengan para panglima. Mereka segera melaporkan segala pantauannya selama memeriksa daerah pesisir perbatasan pantai. Aku lihat Nyai Gandhes memandang ke angkasa, agak lama beliau memandangnya. “Kita harus lebih waspada, baginda Kelana pasti marah sekali melihat istana air Parapatnya terbakar.” Kata Nyai. Aku juga melihat ke angkasa, awan merah muda berarak lembut, angin semilir terasa membelai . Aku memandang Nyai Gandhes, apa ya yang di pandangnya di angkasa itu. “Mudah-mudahan baginda Kelana tidak mengajak gurunya kesini.” gumun Nyai. “Kita akan kesulitan Nyai ?” aku tanya, Nyai Gandhes tersenyum, menggeleng. “Tidak, tapi engkau tetap harus waspada. Musuh banyak yang mengincar engkau Puteri. Sekarang kalian istirahat dahulu.” Karena hari sudah menjelang petang, aku dan Kuning langsung masuk kamar. “Apa mereka masih bincang lagi di ruang pertemuan ?” “Sepertinya tidak, tadi Nyai memerintahkan semua untuk segera beristirahat. Beliau juga mau segera beristirahat, mungkin beliau masih belum begitu sehat.” Sesudah makan malam, kita memalang pintu , aku melihat-lihat senjata Yogi Puteri. “Rasanya ada sinar yang keluar dari senjata ini, Kuning.” Puteri Kuning langsung meloncat turun dan melihat senjata Yogi Puteri itu. Diapun membuka kotak senjatanya, ada sinar di situ, temaram, kita saling berpandangan. “Apa kita tidak melapor pada Nyai Gandhes atau Nini Sedah ?” tanyaku Kita bincang dan menimbang, kemudian saling mengangguk dan kita segera keluar kamar. Keadaan sepi, senapati Mayang langsung menyongsong kita, ponggawa yang lain juga segera bersiap melihat kita. “Apa kira-kira Nyai Gadhes sedang tidur, senapati ?” tanyaku. Senapati Mayang segera kedekat kamar Nyai Gandhes, memperhatikan di pintunya. Kemudian dia menempelkan telinganya di daun pintu. Tiba-tiba pintu terbuka dan Nyai Gandhes memperhatikan senapati Mayang , Kuning dan aku. Kita bertiga kaget bukan main. Kemudian aku dan Kuning diajaknya masuk kekamar beliau dan kita mulai berbincang. Kuning mengatakan tentang sinar yang ada pada pusaka Yogi Puteri “Iya, Yogi Puteri mengingatkan kita untuk selalu waspada pada musuh.” Kemudian beliau mengambil sesuatu dari lemarinya dan di berikan pada aku dan Kuning, masing sebuah gelang. “Pakai saja, itu untuk penolak sirep.” Kata Nyai, dan kita pakai gelang itu. Seperti gelang kaki, gelang tangan ini juga pas dengan tangan kita. Kemudian kita keluar dari kamar, kita kedepan istana, ternyata para panglima masih ada disana. Juga para sesepuh dan jawara ada semua. Mereka saling lesehan dipermadani yang digelar dibawah. Melihat Nyai Gandhes mereka semua bersembah pada beliau, Nyai membalasnya dengan ramah dan santun, beliau memandang ke angkasa. “Sepertinya Baginda Kelana sudah datang dari bepergiannya, kita harus lebih hati-hati.” Aku sebetulnya ingin bertanya, apakah baginda Kelana mengajak gurunya kesini juga, tetapi tidak jadi, aku berbisik pada Kuning. “Apa kira-kira Buyut Segaran datang kesini ya ?” Kuning hanya menggeleng. Aku lihat Nini Sedah dan Aki Sedah juga datang, kemudian Pangeran Biru dan kakang Narpati. Pangeran Biru segera mendekati aku, juga kakang Narpati beringsut kedekat Puteri Kuning. Kita semua duduk di permadani tanpa berbicara sepatahpun, keadaan hening. Aku lihat Nyai Gandhes kerap memandang ke langit yang berawan tipis. Beberapa panglima di panggil Nyai Gandhes, juga pangeran Biru. Mereka berunding dengan suara yang pelan, entah kenapa kurasakan angin malam bertiup dengan lembut tapi mengerikan.. Juga kurasakan bulu kudukku berdiri, ada hawa dingin yang seolah meniup di dekat telingaku, suatu sirep atau santet-kah ? Kulihat Kuning juga seperti bergidik, dia memegang tanganku, kita saling pandang, rasanya merinding Ada pengendara kuda yang datang, cepat sekali berderap, tiga orang penunggangnya segera meloncat turun. Paman Dargo dengan dua senapati, menyembah pada Nyai Gandhes. Kemudian paman Dargo memberi laporan pada Nyai dengan suara yang pelan, aku lihat Nyai hanya mengangguk-angguk saja, tiap sebentar memandang ke angkasa. “Puteri Mutiara ? …dari segara Wetan ? Dia mau kesini ?” tiba-tiba Nyai Gandhes bertanya. Paman Dargo hanya menunduk dan membenarkan. Tangan Kuning meremas, kita saling berpandangan dengan penuh tanya. “Puteri M-u-t-i-a-r-a , siapa ya dia ?” aku berbisik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun