[caption id="" align="aligncenter" width="386" caption="Sumber Gambar: www.tubasmedia.com"][/caption] Siti Swandari , No.O5 Kita semua berdiri didepan pintu rumah dinas ayah yang baru, menunggu eyang Aku lihat eyang berdiri sejenak dan kemudian memecahkan sebutir telur yang tadi aku bawa persis didepan pintu masuk dan di serakkan disitu Kata eyang itu tanda kula – nuwun/ijin masuk kita semua Kemudian kita masuk, eyang putri, ayah ibu, aku menyusul 3 pembantu yaitu mbok Yah, Sumi dan Pardi, ada 2 sopir dari kantor dan seorang pegawai yang menjemput kami di airport. Pegawai itu menunjukkan ruangan yang ada didalam dirumah Rumah dinas yang amat luas, halamannya 3 hektar, dikelilingi tembok tinggi, luas bangunannya sekitar 1000 m2 Aku dan eyang memilih kamar paling depan, ada jendela besar, tempat tidurnya juga besar sekali, cukup untuk empat orang Ada lemari besar bergandeng dengan kaca besar, ada sofa besar berukir yang kelihatan kuno, semuanya serba besar di rumah ini, dan tiba2 ada perasaan kurang nyaman, serem juga. Aku masuk dalam tempat tidur yang sudah di sprei bersih, samar tercium bau kembang melati, aku lihat eyang membuka lemari, rupanya lemari untuk menyimpan sprei bantal dan guling, di lihat lihat kemudian ditutup kembali. :”Yuk lihat kebelakang yuk” eyang mengajak aku Kita keluar dan ikut nimbrung ayah dan ibu dengan diantar pegawai untuk melihat keadaan rumah itu semua. Halamannya luas ada berbagai pohon buah di situ, aku lihat ada beberapa pohon mangga, blimbing, jambu, kates dan pohon kedondong besar yang tidak terpelihara Dahannya sampai mmenjuntai sana sini dan kelihatan buahnya cukup banyak, dibawahnya ada kolam ikan yang lumayan besar. Dibelakang ada tanaman pohon kelapa yang tinggi dan banyak buahnya. Keadaannya suram dan hening, serta halamannya kurang tertata dan kelihatan jarang dibersihkan. “Itu apa kok ada bekas rumah ?” eyang bertanya pada pegawai yang mengantar kita “Itu bekas base camp tempat pekerja merenovasi rumah ini “ Kami masuk kedalam, sambil jalan aku lihat eyang memperhatikan pohon kedondong itu, seperti ada sesuatu di sana yang di perhatikan. Akupun ikut melihat, tidak tampak ada apa2 hanya dahan2- pohon itu yang memang terkesan menyeramkan. “Kok eyang tadi melihat ke pohon kedondong ada apa yang ?” aku tanya “Oh iya to ? . gak ada apa2 tuh, itu dahannya kok sampai kemana-mana” beliau tersenyum, aku perhatikan ada yang disembunyikan dari aku. Malam itu kedua pembantu gedor pintu minta tidur bersama kita dikamar, juga Pardi ikut masuk, mereka ketakutan Katanya mereka melihat ada orang yang sedang bakar2 sampah di belakang, yang tampak bayangan orangnya tinggi dan besar, dia keluar dari rumah belas base camp yang rusak itu. Paginya kita lihat kebelakang, tidak ada bekas bakaran samasekali, padahal mereka melihat api itu menyala dan ada bayangan seseorang mondar-mandir. Menurut eyang yang mbahureksa/penunggu di tempat itu orangnya rajin suka bersih2, jadi dia suka bakar2 sampah Entah kenapa eyang suka saja duduk di kursi goyang di teras belakang, kadang ada yang seperti di perhatikan, seperti mengikuti gerakan sesuatu yang tidak kelihatan Eyangku ini memang pribadinya amat tenang, sabar dan konon intuisinya amat tajam, malah ada yang bilang beliau bisa melihat mahluk halus yang tidak bisa kita tangkap dengan indera kita, beliau bisa melihatnya. Senja itu beliau menunjuk kebelakang melihat sesuatu :”Lho itu anaknya sapa gundul - gundul masuk di dapur ? “ Karuan saja pembantu yang ada di dapur pada berlarian semburat dengan ketakutan. Memang di sekitar daerah situ katanya memang ada orang yang memelihara tuyul yang suka berkeliaran memasuki rumah penduduk. Ibu juga pernah suatu malam seperti mendengar derap kuda yang rasanya dekat sampai membangunkan ayah dan semua juga jadi terbangun Ayah juga pernah kaget setengah mati, waktu mau mandi mengambil handuk, saat disingkap dibalik handuk itu ada kepala berantakan yang sedang merenges Lama lama kita merasa terganggu, tetapi entah mengapa aku tidak pernah merasa diganggu oleh “mereka” “Kita panggil saja Guntur, dia pasti bisa mengusir semua” eyang berkata, dan kita semua langsung setuju dengan gagasan eyang, Pakde Guntur Lelana adalah kakak ibu, putra eyang yang pertama. Ibuku mempunyai dua saudara, semua laki-laki, yang seorang pakde Guntur dan yang seorang pakde Satrio Waskito. Kedua kakak ibu itu seperti pinang dibelah kapak, tidak ada mirip antar mereka Pakde Satrio orangnya kecil 165 cm, langsing, putih dan penakut luar biasa, sedangkan pakde Guntur orangnya perkasa, tinggi tegap dan pemberani serta mempunyai six sence yang menurun dari eyang bahkan digosip melebihi ibunya. Katanya dikehidupannya nyata keseharian beliau banyak juga di mintai tolong oleh warga yang ada dan berhubungan dengan mahluk halus. “Eyang jadi memanggil pakde Guntur “ aku tanya sambil menyodorkan hape pada beliau Beliau tersenyum mengangguk, kemudian melihat kesana sini, ada seekor kupu2 yang terbang mendekat. Eyang mengulurkan tangannya dan kupu2 itupun hinggap ditangan eyang, pelan kupu itu ditiup perlahan, terbang dan hilang tak berbekas begitu saja “Kok bisa hilang yang ?” aku celingukan melihat dan mencari kemana gerangan kupu2 itu tadi “Itu dia terbang, kamu saja gak melihatnya” eyang berkata sambil tersenyum membelai kepalaku. Anehnya, pada sore ternyata pakde Guntur datang, aku senang sekali karena pakde juga amat sayang padaku, beliau selalu berkata “Kamu ini yang paling berbakat diantara keluarga kita”ditunjukkan kedua jempolnya, aku cuma tertawa, heran juga, aku tidak bisa melihat mahluk halus satupun bahkan jika ada peristiwa yang aneh mereka tidak pernah menampakkan diri bahkan menyapa aku “Aku tidak pernah melihat yang aneh2 tuh pakde” beliau tertawa, beliau melihat sekeliling dan seolah berhenti terpaku, melihat kearah lain dan terus begitu “Kamu pengin lihat ya, ada tuh dirumah ini, banyak bahkan”aku mengangguk “Gak usah ritual macam2 kan pakde, malas saya klo pakai puasalah ini itu yang aneh2” Pakde ngakak beliau menggeleng “Kamu gak usah pakek gituan, nantii aku yang ngajarin, kamu ini jempol kok, tinggal di pulas dikit saja,... benar nanti malam ya, jangan ngorok dulu” pesan pakde Malam itu aku duduk dengan pakDe dan eyang di teras belakang, keadaan sunyi sepi, hening :”Pokoknya jangan kaget, tenang, biasa saja, nanti mereka yang malah takut” perlahan pakde dan eyang bersamaan mengusap mukaku Dan ketika mata kubuka, waduh, didepanku ada kepala tanpa badan berantakan yang merenges padaku, tanganku langsung di pegang pakde, dan eyang, aku hampir meloncat saking kaget Aku harus tenang, aku tata degup jantung ini Kemudian kita berjalan kebelakang, ada sesuatu yang sedang menyapu dan membakar sampah dengan kobaran api yang besar, pakde mendatangi dan seperti bincang, eyang tetap memegangi tanganku Tiba2 ada empat anak kecil kepala gundul yang lari2 mengitari aku dan eyang, kuperhatikan ternyata mulutnya menghadap keatas, hidungnya kecil dan matanya besar, suaranya seperti tikus yang mencicit. Pakde mendatangi aku lagi dan kita kemudian berjalan kearah pohon kedondong yang tadi sempat diperhatikan oleh eyang, ada sesuatu di atas pohon, pakde seolah memberi salam dan tiba2 dia melompat turun persis didepanku Tubuhnya tinggi besar, seperti bule, bajunya sobek sana sini, carut marut, ada bercak darah, tetapi kepalanya lepas dan di tenteng dengan tangannya disamping Tiba2 ada kuda tanpa kepala mendatangi, suara derapnya kencang dan si bule langsung meloncat dan kuda itu naik keatas pohon kedondong dengan sigapnya, aku terkesiap Aku dan pakde serta eyang duduk kembali di teras, rasanya tidak percaya dengan semua yang kualami “Bule itu dahulu penghuni rumah ini, dia bunuh diri, dia mempunyai kuda kesayangan” :”Pakde mau mengusir mereka semua ?” aku tanya :”Eyang mengharapkan begitu, tapi kasihan juga, terus mereka mau ditaruh dimana ?, ini kan rumahnya sejak lama” aku termenung, aku lihat eyang juga tercenung “Pakde minta saja pada mereka agar tidak mengganggu penghuni rumah ini, kan kitanya jadi kaget dan takut semua“ “Saban hari orang terus lari sana sini, karena kaget dan takut, rasanya tidak aman, tidak nyaman” Pakde seolah berfikir, tangan eyang makin menggenggamku “Coba nanti aku mau berunding dengan mereka” pakde berjanji. “Terima kasih pakde”aku dan eyang beranjak masuk dan aku lihat pakde berjalan kearah belakang , rupanya mau membuat perjanjian perdamaian dengan mereka. Aku dan eyang berpandangan, genggamannya kian erat kemudian saling tersenyum Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H