[caption id="" align="aligncenter" width="259" caption="Sumber Gambar: lianaputrii.blogspot.com"][/caption] Siti Swandari , No.O5 Mereka berdua mencari rempah dan daun yang berkhasiat untuk ramuan jamu di hutan balantara yang lumayan lebat itu “Sudah banyak bu, kita pulang yuk” Sunthi mengajak ibunya sambil memandang ibunya yang masih asyik mengumpulkan rempah yang sudah di carinya seharian ini Seperti biasa, sebelum pulang mereka mencuci dahulu rempah di sungai dalam hutan itu Kemudian mereka membersihkan kunir, jahe, meniran, temu lawak, lengkuas, dedep srep juga beberapa daun yang berkhasiat untuk jamu di tepian sungai itu Sesudah di anginkan, dimasukkan kembali kedalam keranjang untuk dibawa pulang. Merekapun makan nasi beserta lauk sederhana yang tadi dibawa dari rumah, di bawah sebuah pohon yang rindang ditemani dan bercanda dengan aneka satwa sahabat mereka :”Kemana ya si Manis kok belum kelihatan ?” Sunthi dan ibunya mencari-cari di sungai , di jentikkan tangannnya pada air sungai memanggil si Manis :”Itu ibu si Manis, apa yang dibawanya ?” Si Manis itu seekor ikan yang amat cantik dengan warna yang indah, sahabat mereka yang setia, mereka selalu memberi si Manis nasi yang selalu disisakan khusus. Si Manis datang membawa sesuatu, bulu seekor burung yang kelihatan lusuh dan terberai “Ini aku tadi menemukan diatas, kelihatannya bagus meskipun agak rusak” kata si Manis :”Makanlah dulu Manis, tadi kita cemas kamu tidak tampak seperti biasanya” :”Aku tadi berenang agak keatas dan menemukan ini” dia menggeret bulu itu dengan moncongnya, kelihatannya berat dan Sunthi serta ibunya mengangkat dan melihatnya. Ternyata bukan bulu burung biasa, tetapi seperti dari emas yang gemerlap meskipun masih agak lusuh terkena kotoran di sungai Mereka memperhatikan bulu itu, indah sekali, seperti diukir amat teliti dan cantik “Ambil saja Sunthi, tapi jangan kau jual, simpan saja, mungkin masih ada yang lain” Kemudian Sunthi bermain-main dengan Manis, Sunthi amat pandai berenang, mereka saling berkejar-kejaran di sungai yang jernih itu dan bercanda dengan banyak sahabat ikan yang lain. Ketika sore menjelang, mereka berpisah, Manis kembali ke sarangnya, Sunthi dan ibunya kembali kerumahnya, sebuah gubuk sederhana dari kayu dengan atap rumbia Mereka berdua hidup dari berjualan jamu kekota yang agak jauh dari hutan belantara itu. Ibu Sunthi seorang janda, ayah Sunthi sudah lama meninggal karena gugur dalam pertempuran ketika kota raja di serang oleh musuh dari negara tetangga. Kemudian kekuasaan di ambil alih oleh kerajaan musuh yang memerintah dengan kejam Dan keluarga kerajaan di masukkan dalam penjara yang dijaga ketat oleh pengawal raja yang kejam itu. Banyak penduduknya melarikan diri keluar dari kerajaan atau tersebar mencari penghidupan di hutan-hutan yang masih rawan dan lebat. Ibunya Sunthi juga melarikan diri kehutan dengan membawa anaknya yang masih bayi, dan anak itu kemudian diberinya nama Perawan Sunthi, yang berarti gadis yang cantik Bu Sunthi hanya kadang saja kekota raja untuk berjualan jamu dan membeli keperluan untuk kehidupannya yang jauh di tengah hutan itu. “Coba lihat Sunthi apa yang diberi oleh Manis, kelihatan bagus sekali ya” mereka pun melihat bulu burung emas itu dengan lebih teliti. Demikian setiap mereka bertemu dengan Manis pasti diberi sehelai bulu burung indah itu, sehingga terkumpul menjadi 5 buah. Dan hari itu mereka juga mencari lagi rempah dan daun yang di perlukan, setelah terkumpul dan di cuci bersihkan di sungai, ternyata si Manis tidak kunjung datang “Ibu disini saja sambil menunggu ubi yang kita godok, aku mau jalan keatas, barangkali ketemu si Manis”, mereka merebus ubi yang tadi mereka temukan di hutan “Hati-hati ya Sunrhi , ibu istirahat di sini” bu Sunthi menggelar tikar dan ditemani beberapa binatang hutan yang menjadi sahabatnya. Sunthi menyusuri sungai, sekali kali memanggil Manis, tetapi si Manis seperti raib. Ada beberapa ikan yang ditanya keberadaan si Manis tetapi tidak ada yang tahu, dia berjalan terus Di sebuah belokan sungai Sunthi melihat sesuatu, seekor burung yang kelihatan terkapar, ada bercak darah di sekitar sayapnya, Cepat diambilnya burung itu, diambilnya selendangnya dan di letakkan burung itu dengan hati-hati, kemudian dia turun kembali ketempat ibunya tadi berada. Mereka berdua kemudian membersihkan bulu-bulu burung itu dengan air sungai dan di berinya minum burung itu, tiba-tiba si Manis muncul dan berkata “Burung itu sahabatku, ada kucing garang yang akan memangsanya, tolonglah dia, sembunyikan dia, jangan sampai di ketahui oleh kucing jahat itu” Setelah mengemasi segalanya, ibu dan anak itu langsung pulang kegubuknya. Dibuatkanlah sebuak kurungan yang kuat agar si burung aman di dalamnya dan mereka merawatnya dengan teliti dan hati-hati penuh kasih sayang. Karena bu Sunthi ahli dalam jamu dan pengobatan kelihatan sekali si burung cepat sembuh setelah diberi beberapa ramuan dan lukanya di pupuh dengan daun2 sirih dan ada kunyit yang ditumbuk Dia bisa mulai bertengger di kurungannya dan mengepal-epakkan bulunya. “Selamat pagi bu Sunthi dan Perawan Sunthi”, selalu menyapa dengan suara yang santun “Selamat pagi Satia, bagaimana keadaanmu, sudah cukup sehat-kah ?’ “Betul, aku sudah sehat, hanya sayapku masih sakit karena kucing garang itu sempat merobeknya dan hilang” “Kalau engkau sudah sembuh pasti akan tumbuh lagi sayapmu dan kamu bisa terbang kembali” hibur bu Sunthi “Iya bu Sunthi, terima kasih” sahut Satia si burung itu dengan gembira Hari itu karena persediaan rempah dan daun berkhasiat sudah habis, Sunthi dan ibunya pergi ke hutan mencari bahan yang di perlukan itu. Bertemu dengan Manis dan merekapun menceriterakan segalanya tentang Satia yang sudah mulai sehat dan tampak bergembira. Manis juga gembira dan bertanya tentang luka yang di alami oleh Satia, apakah sudah mulai sembuh ? Mereka berceritera jika luka si Satia di sayapnya sudah mulai sembuh, dan mudah2-an cepat tumbuh lagi sayap yang baru, supaya dia bisa terbang dan bebas lagi. “Kalian ingat dengan sayap2 yang pernah aku berikan bukan ?”mereka mengangguk “Itu sebetulnya sayap Satia yang tercabik waktu diburu oleh kucing garang itu, berikan itu padanya pasti dia senang” Merekapun cepat pulang kerumah dan terkejut mendapati kurungan Satia sudah kosong, mereka mencari kemana-mana tetapi setiap binatang hutan yang ditanya tidak tahu kemana Satia pergi, mereka sedih kehilangan Satia. Malam hari ada seekor burung hantu yang mendatangi rumah mereka dan menceriterakan sempat melihat Satia dibawa oleh seorang peri hitam yang jahat kesebuah gua yang jauh di tempat tinggal sang peri. Peri hitam itu sangat jahat dan dia adalah sebetulnya penyihir yang bisa menguasai kerajaan tempat Sunthi dan ibunya berada. Jika hari sudah siang, ada matahari dia bisa berubah menjadi manusia biasa, tetapi jika malam dia bisa berubah menjadi peri jahat penyihir yang menakutkan. “Lalu apa yang harus kami lakukan untuk menolong Satia ?” “Satia itu sesunggahnya putra raja dahulu yang ditaklukkan oleh penyihir jahat itu, berikan kelima bulu yang kau simpan yang diberikan si Manis padanya. Ditangan Satia bulu itu bisa berubah menjadi senjata cakra yang bisa membunuh peri jahat itu” Sunthi dan ibunya dengan cepat mengambil kelima bulu indah yang diberikan oleh Manis dan dengan petunjuk jalan si burung hantu mereka menuju kegua tempat sarang si peri jahat. Malam gelap gulita, tetapi kemudian segerombolan kunang2 datang dan memberikan penerangan jalan bagi kedua ibu dan anak, juga ada dua banteng yang mau menggendong keduanya agar cepat sampai menuju gua si penyihir jahat itu. Si penyihir sedang mempersiapkan sebuah golok tajam untuk memenggal kepala si burung yang ternyata adalah seorang pangeran , putra mahkota kerajaan itu. Mereka kesulitan masuk kerumah si penyihir karena dijaga oleh beberapa pengawalnya, ada guna-guna sihir yang menghadanya. dan ternyata. Satia sudah dilarikan ke istana. Paginya pertunjukan akbar sudah di siapkan, rakyat di paksa datang menyaksikan hukuman pancung untuk pangeran Satia yang tampan itu. Ketika seorang algojo sudah siap dengan pedangnya dileher pangeran, Sunthi dengan beraninya naik ke mimbar dan memberikan kelima bulu burung itu pada si pangeran. Langsung diterima dengan mantap, cepat diacungkan keatas dan diangkasa tiba2 ada petir menyambar dahsyat dan kelima bulu burung itu berubah menjadi senjata cakra yang gemerlapan. Penyihir itu kaget, dengan cepat berubah menjadi kucing yang besar serta amat garang yang akan menyerang sang pangeran, tetapi kemudian dikepung oleh seluruh rakyat dengan senjata seadanya, terus dikejar kemana saja dia lari Karena terjepit diapun membaca manterra dan tiba2 terbang serta berubah menjadi seekor rajawali merah besar yang ganas, dan berkaok-kaok dengan suaranya yang menggetarkan Dia bersiap menyerang pangeran dengan kuku cakarnya yang tajam, tetapi senjata cakra itu cepat dilemparkan dan tepat menghujam mengenai dadanya. Ada sinar terang dan terdengar ledakan yang dahsyat, rajawali itu hancur ber-keping2 Dengan matinya si peri penyihir jahat itu, keadaan negara menjadi aman kembali, raja dan permaisuri dikeluarkan dari penjara dan memerintah kembali lagi Sunthi dan ibunya pun di boyong ke istana, diangkat menjadi tabib istana dan Prawan Sunthi di sunting oleh pangeran Satia untuk mendampingi menjadi permaisurinya. Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakan link akun Fiksiana Community) Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H