Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Darah Biru yang Terluka (27)

16 November 2014   15:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:41 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: elangsenja26.blogspot.com

[caption id="" align="aligncenter" width="207" caption="Sumber Gambar: elangsenja26.blogspot.com"][/caption] Bagian ke Dua Puluh Tujuh :  PESONA  ASMARA  SANG  PERMAISURI Keempat penunggang kuda itu di hadang oleh senapati dari Galuga, mereka berbincang sebentar dan senapati itu masuk ke istana. Disayap kiri istana berdiam permaisuri beserta kedua putrinya, Tunjung Merah dan Tunjung Hijau. Kelihatan mereka di perkenankan masuk, yang menyambut Tunjung Merah dan Tunjung Hijau Kedua tamu dari Kemayang itu wanita, yang seorang membawa kotak besar. Sebelum masuk mereka melihat kiri kanan dahulu, curiga dan waspada, aku terus memperhatikan. Cukup lama juga mereka didalam, itu baru keluar dan cepat memacu kudanya kearah kapal yang bersadar di dermaga Galuga Pura. Kotaknya tidak dibawa serta, tetapi ditinggal.rupanya. Siapa ya mereka ? Mungkin yang muda itu putri Rara Tirto, adik Tirto Danu. Yang seorang wanita lebih tua, juga memakai tanda hiasan emas di kepala. Pasti mereka keluarga dekat istana Kemayang. Nanti aku tanyakan pada Nini Sedah. Apa maksudnya mereka diam-diam menyelinap ke tempat kediaman permaisuri dengan membawa kotak. Seperti kotak permata ? Sesudah itu keadaan sepi-sepi saja, kuawasi kesegala penjuru, bahkan sampai ke udara, juga tidak ada kegiatan. Aku turun sebentar, kekamar mandi, pengin bersih badan, jadi mandi sebentar. Badan terasa bugar, memakan beberapa kue jajanan dan minum yang masih tertata rapi di meja. Aku cepat keatas lagi membawa beberapa jajanan dan minuman. Rupanya pertemuan didalam istana berlangsung cukup lama juga. Dan ketika rombongan itu pulang, rasanya ada gejala kurang baik. Tirto Bawono seolah tergesa diiringi oleh kedua putra dan buyut Haruna. Ada kemarahan besar tersirat dalam gaya segala langkahnya. Mereka cepat masuk kereta dan rombongan itu bergerak keluar kota raja menuju kekapal yang bersandar. Puteri Kuning langsung memeluk aku, Nini Sedah, pangeran Biru dan Putri Intan juga masuk kekamar. “Puteri mereka hanya memberi kita waktu dua terbit matahari, jika kita tetap menolak, mereka menyatakan perang”, Pintu di ketuk dari luar, ternyata ayahanda baginda masuk. Diluar ada keempat catur manggala dan beberapa senapati sudah menunggu. Kemudian mereka keluar lagi disertai pangeran Biru dan Nini Sedah. Mereka hendak mengadakan pertemuan, mungkin membicarakan segala persiapan untuk mengatur jika terjadi peperangan. Puteri Intan juga pamit akan beristirahat dan tinggal kita berdua, aku dan Kuning. “Puteri, tadi ada petir, itu pasti kamu ya ?” dia senyum, aku mengangguk “Aku mau bicara Kuning.” aku mengambil minum, kupandangi dia “Ada apa Putri ?”, dia mengernyitkan alis dan keningnya. “Penting sekali rupanya, … aku merasa khawarir Puteri.” aku menarik nafas, memperhatikan Kuning Kuceriterakan segala tadi yang kulihat, bahwa ada tamu dari Kemayang ke kediaman permaisuri. Yang menerima Tunjung Merah dan Tunjung Hijau “Kita harus mengatakan pada Nini Sedah dan pangeran Biru.” Putri Kuning langsung keluar kamar setengah lari. Ketika kembali sudah bersama pangeran Biru dan Nini Sedah, dan aku ceriterakan semua apa yang kulihat tadi. Nini Sedah dan pangeran Biru memperhatikan semua yang aku ceriterakan. “Jadi mereka rupanya telik sandi Kemayang, pantas Kemayang seolah mengerti keadaan kita semua. Kita harus memberitahukan baginda.” Baginda cepat tanggap bahkan mengajak semua pembesar yang hadir ikut. Bersama semua kemudian menuju ketempat kediaman permaisuri. Pintu di gedor keras oleh baginda, terdengar ada kesibukan dan keributan didalam. Permaisuri dan Tanjung Merah dan Tanjung Hijau kaget melihat kita semua. Ketika ditanya, pertama mereka tidak mau mengakui segala perbuatannya. Tetapi beberapa perhiasan yang sedang mereka pakai juga kotak tempat perhiasan itu masih ada di kamar permaisuri. Tampak juga beberapa permata masih berserakan di meja dan tempat tidur permaisuri dan tempat tidur kedua Tunjung. “Darimana kamu mendapatkan itu semua? … dari Kemayang ? …ternyata kamu yang selama ini menjadi mata-mata dari Kemayang di dalam istanaku ?” suara baginda meninggi dan keras, berteriak, berapi-api. Permaisuri tidak berkutik , tetapi kemudian tertawa, dia membalas dengan sengit. “Istanamu t-u-a-n-k-u yang M-u-l-i-a ? … hahaha, … istana ini, kerajaan ini semua milik putri Setyawati, ibunda pangeran Biru dan putri Kuning. Yang bakal jadi raja nanti Pangeran Biru, bukan tuanku Yang Mulya.”, dia tersenyum sinis dan mendengus, memandang semua dengan angkuh. “Kamu cuma pembantu, sudah l-u-p-a siapa kamu Narendra, siapa kamu sebenarnya. Anak Manggala kecil yang besar kepala karena di minati putri mahkota ?“, terdengar tertawanya lagi. Baginda beranjak kearah permaisuri, tapi dicegah di pegang oleh Nini Sedah. Tiba-tiba permaisuri menuding tajam kebelakang “Senapati sialan, kamu yang melapor pada Narendra ya, …supaya dapat pahala dan jabatan, kasihan kamu “ tertawa lagi, Kuning memandangku kurang mengerti. Kita semua sama-sama memandang Senapati Wiguna yang ditunjuk permaisuri. Secepat kilat permaisuri mencabut pisau dan hendak menyerang senapati Wiguna. Tetapi secepat itu pula dia sudah terhempas di tempat tidurnya lagi, dan di depannya berdiri Nini Sedah. Pisaunya sudah ada ditangan Nini Sedah “Gayatri, sebetulnya waktu Setyawati meninggal, harusnya kamu sudah harus mati di tanganku.Tapi waktu itu aku masih kasihan padamu karena kamu sedang hamil. Sekarang ada lagi peristiwa, apa yang terjadi, cerita apa saja yang sudah kau sebarkan ke Kemayang ?” Kulihat dia melirik Nini Sedah, kemudian baginda, pangeran Biru, beberapa senapati yang menjaga di sekitar. “Kalian sebentar lagi bakal mampus semua jika Kemayang menyerang Galuga, Yogi Puteri tidak ada disini. Tidak ada yang bisa menandingi Buyut Haruna, juga kakang Samudra Laksa “ kemudian memandang Nini Sedah “Dan engkau, nenek tua, sahabatmu si Rumping itu bersedia menumpas mulutmu yang pongah.” Pangeran Biru cepat mencabut pedangnya, tapi di cegah oleh Nini Sedah. “Kakang Samudra Laksa, … tahu sekali kamu dengan jawara Kemayang itu ?” Nini Sedah memandang permaisuri dengan senyum “Iya pasti, kakang Samudra Laksa nanti yang akan berkuasa di Galuga. Dan aku yang akan menjadi satu-satunya permaisuri Galuga dari kakang Samudra Laksa.” Putri Kuning meremas tanganku dan memandang aku “Pasukan Kemayang pasti akan segera masuk ke Galuga jika tahu aku kalian tangkap.Dan kamu senapati Wiguna yang akan menerima hukuman pertama.” Aku berpikir sejenak, aku menarik putri Kuning keluar “Ada apa Putri ?” Mereka pasti punya alat untuk saling berhubungan, aku ingat akan elang itu. Dengan cepat aku ceriterakan pada Kuning, pasti antara permaisuri dan fihak Kemayang punya alat untuk selalu berhubungan, dan itu pasti lewat udara, lewat burung elang itu. Jalan darat sudah di tutup lama, sejak ada kisruh antara kedua negara itu, jadi yang masih bebas lewat udara. Dia memanggil senapati Ardyana, berbicara dan senapati cepat mengerti dan berlari keluar istana, kita juga mengikuti. Tiga orang jawara pemanah dari Galuga mendekati sebuah pohon besar yang lebat “Jangan sampai terbunuh, kita masih bisa gunakan dia” Suara kaokan terdengar dan seekor elang rajawali yang besar meluncur tersungkur jatuh, cepat di ringkus dan diikat oleh para senapati itu. Kuning cepat menyusul Nini Sedah dan mereka datang tergopoh, elang itu berontak berusaha melepaskan diri. Kemudian Nini Sedah mengusap kepala elang itu dan langsung elang rajawali itu jatuh terkulai, lemas seperti tidak bertenaga. Permaisuri terkejut ketika melihat elang rajawali itu, merebut pedang salah satu pengawal dan menyerang Nini Sedah. Tetapi hanya dengan satu sentakan yang keras hingga membuat permaisuri itu jatuh tersungkur di lantai. “Jangan membuat aku kehilangan kesabaranku, Gayatri.” Dari balik bajunya Nini Sedah mengeluarkan sebuah pisau yang panjang dan berkilat. Aku dan putri Kuning saling berpandangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun