Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Darah Biru yang Terluka (47)

9 Januari 2015   18:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:29 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="318" caption="Sumber Gambar: www.vemale.com"][/caption] Bagian ke Empat Puluh Tujuh :  RAMALAN  NYAI  GANDHES Nyai Gandhes memberi keterangan pada semua panglima, senapati dan juga kita tentang ajian Suryo Baskoro, ajiannya Buyut Haruna yang dahsyat. Diharapkan semua pasukan harus cepat berlindung jika Buyut Haruna mengeluarkan ajiannya. Ajian itu berupa sinar yang keluar dari tangannya, sinar itu jika mengenai seseorang terasa seperti kena panah api yang menyengat dan luka dalam. Tetapi untuk bisa mengeluarkan ajian itu di butuhkan tenaga dalam yang kuat juga. Sedangkan Buyut Haruna sudah amat tua dan baru menderita sakit yang cukup parah. Pasti dia kesulitan jika akan mengeluarkan ajiannya itu. “Aku juga bisa memberi perlindungan pasukan dengan perisai alus-ku, tetapi jika begitu banyak yang harus di lindungi, aku pasti kewalahan juga. Tenagaku sekarang tidak sekuat waktu muda dahulu.” “Sebaiknya pasukan tidak usah terlalu banyak yang maju, tetapi bersiap saja di daerah sekitar.” “Para panglima juga jangan terlalu berani mencoba melawan dia, karena amat berbahaya. Panglima Kemayang yang lain juga masih banyak untuk lawan kalian.” Aku memandang Nyai Gandhes dengan kagum, meskipun usianya sudah cukup tua, masih begitu tegas dan jernih cara berpikirnya. Kulihat beliau mengatur dan membuat siasat dengan semua yang hadir. Para panglima dan senapati juga memberi sumbang saran dan masukan yang kemudian mereka bincangkan dan rundingkan bersama. Rasanya kurang percaya kalau beliau dahulu hanya puteri keraton yang kemudian menjadi seorang penyembuh belaka. Pantasnya beliau seorang panglima perang yang mumpuni. “Oh iya Puteri dan Kuning, tolong kalian ke taman istana, mungkin Gagak Lodra dan Sriti sudah menunggu.” Aku dan Puteri Kuning pamit kemudian keluar ruangan menuju ke Taman Istana. Tetap begitu indah, tertata, adem dan asri. Gagak Lodra dan Sriti menyambut kami dengan sukaria, sayapnya di kembang tutupkan dan meloncat dari pohon langsung ke sandaran tempat duduk panjang dekat kolam., tempat aku dan Kuning duduk. Aku belai Gagak Lodea dari kepala terus ke badannya, bulunya yang beraneka warna itu terasa lembut sekali. Puteri Kuning membelai-belai Sriti dengan penuh kasih sayang pula. Kita bercanda sambil memberi mereka makan, lucu sekali tingkah mereka jika kita menyembunyikan makanannya. Mereka memeriksa meneliti badan kita dengan paruhnya yang lengkung menakutkan, tapi dilakukan dengan amat lembut dan manja. Aku dan Kuning sampai tertawa gelak-gelak, karena lucu dan menggelikan. Aku lihat Nyai Gandhes memasuki taman, Gagak Lodra dan Sriti terbang menyambutnya, aku dan Kuning segera berdiri. Sesudah bercanda sebentar dengan Gagak Lodra dan Sriti, kedua burung itu terbang ke pohon besar di seberang kolam, ada sarang mereka disana. Nyai Gandhes memeluk kami berdua dan duduk di bangku besar di depan kolam. Aku dan Kuning mengapit Nyai Gandhes, yang tampak agak lelah. “Aku mengharapkan kalian berdua maju jika Buyut Haruna tampil.” Kuning memandangku, aku perhatikan Nyai Gandhes. “Bawa senjata Yogi Puteri, baik yang untuk Puteri Kuning ataupun dua yang untuk Puteri Puspita, Ketiga senjata itu harus di persatukan, menjadi semacam cambuk. Itulah Guntur Geni yang sebenarnya.” Memandangku, kemudian Nyai Gandhes memandang ikan-ikan di kolam, ada bayang awan merah muda disana. “Senjata itu amat dahsyat, dan harus engkau yang memegangnya Puteri.” Nyai Gandhes memandangku. “Iya Nyai, saya bersedia.” Aku jawab dengan tegas, Nyai Gandhes mengangguk Keadaan sunyi sunyi sepi, hening, Gagak Lodra juga kulihat tenang, Sriti bahkan mendekam di sarangnya. “Kuning, coba engkau melihat keadaan pangeran Biru. Tadi Nini Sedah akan mengganti bebat di lukanya pangeran, kalau ada sesuatu, engkau cepat kesini.” Kuning cepat berdiri memandangku, aku memandang Nyai Gandhes “Biar Puteri Puspita menemani Nyai di sini dahulu.” Kata Nyai Gandhes. Kuning cepat pamit dan keluar dari taman istana itu. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan engkau Puteri.” “Saya akan menyimak dan mendengarkan Nyai.” Aku berkata perlahan. Hati ini agak berdebar, pasti sesuatu yang amat rahasia, sehingga Puteri Kuning juga tidak boleh mendengarkan. “Kita semua tahu bahwa Puteri bukan orang asli di sini. Dan Nyai tahu, engkau masih merindukan negara masa lalumu, dimana keluargamu berada.” Beliau memandangku, aku menghela nafas dan menunduk, mengangguk. “Sebetulnya aku dan semua mengharapkan Puteri tetap di sini dan bisa mendampingi pangeran Biru yang akan memerintah Galuga.” Nyai Gandhes memandang Gagak Lodra, menjentikkan jarinya, dan rajawali cantik itu terbang dengan perlahan dan hinggap di sandaran bangku tempat kita duduk. Di belainya Gagak Lodra yang juga jadi diam dan seolah ingin juga mendengar pembicaraan kita. “Tapi sepertinya semua tidak mungkin, engkau harus pergi dari sini jika tugasmu telah selesai.” Nyai Gandhes memandangku, di peluknya aku. “Semua akan kehilangan engkau, terutama pangeran Biru, Kuning dan Nini Sedah, juga aku.” Aku lihat mata Nyai Gandhes berkaca-kaca. “Tapi itu sudah merupakan perjalanan hidupmu, Banyak yang akan kehilangan engkau, seperti juga waktu di Majapahit dahulu. Banyak juga hati yang terluka disana.” Kupandangi Nyai Gandhes, beliau mengerti semua rupanya. “Nyai mengerti rupanya, …bisa meramal masa depan ? “ aku tanya perlahan “Meramal ? … tidak Puteri, aku hanya bisa melihat pandangan kedepan, itu kelebihan dari orangtua yang sudah pernah berjalan jauh.” “Aku bisa merasakannya Puteri.” Awan merah muda seolah berhenti sejenak “Pasti berat sekali keadaan seperti itu semua untukmu, tetapi itulah perjalanan hidupmu Puteri.” Nyai Gandhes menyebarkan makanan di kolam, dan ikan-ikan yang molek itu berebutan kesana-sini. “Yang paling berat terluka nanti pangeran Biru, dia amat mencintai engkau, seperti juga pangeran dari Majapahit itu.” Nyai Gandhes memandangku “Siapa nama pangeran dari Majapahit itu Puteri ?” tanya Nyai “Kakang Dahana Daru Nyai.” Aku tertunduk “Tetapi jodohmu bukan pada mereka, jodohmu ada di negerimu sendiri, engkau nanti akan tahu siapa dia, pribadinya juga baik dan amat mencintai engkau” “Apa saya sudah mengenalnya Nyai ?” tiba-tiba terlontar pertanyaan itu. Nyai Gandhes tersenyum, beliau mengangguk “Sudah sejak lama kalian kenal, dia tetap menunggu engkau di sana sampai sekarang.” “Tetapi aku tidak mengerti bagaimana caramu untuk kembali, rasanya pasti  engkau akan kembali kesana. Bisa kurasakan itu.” Ditepuknya bahuku “Kuning dan Nini Sedah juga akan kehilangan, tetapi mereka segera mendapat penggantimu, karena orang yang mereka sayang dan cintai selama ini, akan segera kembali.” Beliau memandang ke langit, awan merah muda tepat ada diatas taman istana ini “Hanya pangeran Biru yang akan lama terluka dan kehilangan. Tetapi dia seorang pribadi yang baik dan juga tampan. Banyak puteri disini yang akan bersedia mencintainya dengan tulus.” Kupandangi Nyai, menarik nafas “Engkau jangan menceriterakan ini pada siapapun, karena aku tahu mereka akan sangat bersedih hati. Terutama pangeran Biru dan puteri Kuning yang amat menyayangimu.. Aku berceritera ini padamu, agar engkau bisa menata hati dan perasaanmu. Mengatur langkahmu lebih bijak, supaya engkau jangan terlalu terluka setiapnya. Mungkin ada tugas lain yang sedang menantimu, Puteri.” Nyai Gandhes memandangku, kemudian memandang Gagak Lodra dan tersenyum, di belainya burung itu dengan kasih sayang “Lihat, dia juga ikut mendengarkan pembicaraan kita, … ssst, jangan kau ceriterakan pada siapa saja ya ? … j-a-n-j-i … ?! “ aku tertawa. Akupun membelai burung rajawali yang perkasa itu, diapun seolah pasrah kubelai seperti itu “Dia juga akan kehilangan engkau Puteri, meskipun dia dahulu pernah kau kejutkan.” Tiba-tiba rajawali itu bersuara dengan keras dan memandangku. Aku dan Nyai Gandhes sama-sama tertawa dan memeluknya. Ketika keluar dari taman, Nyai Gandhes menuju kekamarnya, aku juga berjalan kekamarku sambil tertunduk. Ditengah keraton, Kuning menjemputku dengan pangeran Biru dan Nini Sedah. Mereka semua memandangku, aku ceriterakan bahwa kita harus berhati-hati jika menghadapi Buyut Haruna, dia amat berbahaya. Aku ceriterakan bahwa sudah waktunya senjata Yogi Putri kugunakan melawan Buyut Haruna. Nyai Gandhes mengharap hanya Nyai dan aku saja yang boleh berhadapan dengan Buyut Haruna, yang lain sebaiknya menyingkir dahulu. Aku tidak berceritera tentang apa-apa yang di larang oleh Nyai padaku. “Puteri sebaiknya beristirahat saja sekarang.” Nini Sedah memegang tanganku. Pangeran Biru memandangku.”Selamat beristirahat Puteri Cantik.” , di ciumnya tanganku, aku tersenyum, mencium juga cincin pemberiannya yang ada dijariku. Rasanya ada yang mulai terluka dihati ini, aku kepingin menangis. Aku dan Kuning juga langsung masuk kamar, entah kenapa aku merasa Kuning tidak begitu saja percaya dengan apa yang kubicarakan tadi. “Ini jamu untukmu Puteri, dibikinkan Nini Sedah untuk kita berdua.” Aku teguk jamu segar itu, Kuning juga meneguk jamu di tempat satunya, memandang aku. “Engkau tidak percaya dengan yang tadi kukatakan ?” kutanya dia “Aku percaya Puteri, tapi aku merasa ada yang engkau sembunyikan dari kita bertiga –Pangeran Biru, Nini Sedah dan aku – hatiku mengatakan itu.” Dia memandangku, kupandangi Puteri Kuning, aku menggeleng. Kupeluk dia, sahabatku yang lembut hati ini, kututup mata ini, kutahan aku takut ada derai air mata yang jatuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun