Simbiosis Mutualisme itu Bernama PR
Oleh Siti Sulamah
"Belajar apa tadi di sekolah, Nak!
"Ada PR-mu, Sayang? "
"Sebelum tidur, selesaikan  PR-nya dan  pastikan peralatan untuk sekolah besok sudah disiapkan semua,Ya."
Itulah pertanyaan-pertnyaan  "wajib" dari  oleh orang tua yang mempunyai anak usia sekolah.
Menurut penulis, pemberian tugas atau PR merupakan jembatan penghubung antara sekolah dan orangtua. Adalah kewajiban orang tua untuk mengetahui aktifitas anaknya di sekolah. Orang tua yang masih punya waktu dan masih sempat bertanya tentang tugas atau PR dari sekolah adalah orang tua yang bertanggung jawab.Â
Pertanyaan itu muncul karena  kepedulian  tua tua akan  masa depan anaknya. Dengan menanyakan pelajaran, catatan tugas,  atau PR dari sekolah, orang  tua ingin memastikan bahwa anaknya bener-benar sekolah. Anaknya benar-benar belajar. Orang ingin melihat 'bekas' belajar anaknya. Orang tua selayaknya tahu sampai di mana perkembangan sekolah  anaknya.
Selainkeingintahuan atas  perkembangan pendidikan anaknya, bisa jadi  orang tua juga ingin 'ngepoin' guru-guru yang 'diamanahi'  untuk mendidik anaknya.  Dari catatan, tugas-tugas, ataupun PR yang yang dibawa pulang oleh anaknya, orang tua bisa mengetahui seperti apa  guru-guru itu  mengajar anak mereka.
Orang tua yang bersikap masa bodoh, dia tidak peduli akan pendidikan anaknya. Jangankan menanyakan catatan atau PR, bahkan dia tidak tahu kalau  anaknya tidak punya buku.  Atau kadang punya satu buku untuk beberapa macama pelajaran. Jika orang tua sudah tidak mau tahu urusan sekolah anaknya. Maka sudah hampir pasti, keberhasilan pendidikan anaknya akan bermasalah.
Wacana untuk meniadakan PR bagi anak sekolah yang terdengar  akhir-akhir ini, menurut penulis sungguh 'kelewatan'. Mungkin mereka berargumen, bahwa anak tidak boleh terlau capek terlalu banyak beban. Mengikuti les matematika, les bahasa Inggris, les piano dan sebagainya.Â