Boleh jadi argumen itu memang benar. Tapi adakah data yang valid. Dari seluruh anak Indonesia berapa prosen yang ikut mengikuti les ini dan itu. Dan berapa prosen sisanya.Â
Sampai saat ini, khususnya di Indonesia, Â Lembaga Sekolah masih menjadi satu-satunya lembaga formal yang masih dipercaya dan tetap dipilih oleh sebagian besar orang tua menitipkan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan.Â
Kebanyakan orang tua hanya menyerahkan urusan pendidikan anaknya  kepada  pihak sekolah. Orang tua berharap agar anaknya pintar, dan berhasil mewujudkan cita-citanya. Â
Dengan tetap memberikan tugas atau PR selama Proses Pembelajaran akan  terjadi 'chemistry' antara guru dan orang tua siswa. Guru dan orang tua saling melengkapi demi tercapainya hasil belajar seperti yang diinginkan. Hubungan antara guru dan orang tua adalah simbiosis mutualisme.Â
Hubungan yang saling menguntungkan. Orang tua ikut mengawasi, mengontrol, dan mengingatkan anaknya untuk menyelesaikan tugas yang menjadi kewajiban seorang murid.Â
Sedangkan bagi guru, adanya PR membantu untuk menuntaskan apa yang tidak terselesaikan di sekolah. Banyaknya mata pelajaran yang diajarkan dengan cakupan materi yang sangat luas, tidak memungkinkan untuk menyelesaikan semua tugasnya di sekolah.
Penulis berpendapat dengan tidak memberikan PR kepada siswa, maka anak-anak  akan menggunakan waktu luangnya  untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.Â
Dengan hilangnya PR, akan menyebabkan anak kehilangan karakter : gigih, terus berusaha, senang berpikir, selalu mencoba, Â rasa ingin tahu, dan bermental baja. Dengan hilangnya karakter tersebut anak akan mudah menyerah, mudah puas, malas berusaha, malas mencoba, dan akhirnya jadilah dia generasi yang 'loyo' tanpa daya.
Apa yang bisa kita harapkan dari generasi seperti itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H