Kampung Pelangi sedang dilanda kekeringan panjang. Tanah sawah yang dulu subur kini merekah seperti kulit ular. Sumur-sumur warga kering, dan wajah mereka dipenuhi rasa putus asa.
Bintang, seorang anak kecil berusia 12 tahun, menatap langit yang biru tanpa awan dari jendela rumahnya. Sejak kecil, Bintang percaya bahwa langit mendengar semua doanya.
“Langit, tolong bantu kami. Aku ingin desa ini bahagia lagi,” bisiknya pelan.
Di sawah, Pak Raji, ayahnya, duduk termenung. Hasil panen tahun ini gagal total, dan uang simpanan keluarga sudah hampir habis. Melihat ayahnya, hati Bintang tergerak.
“Pak, kenapa kita tidak mencoba membuat sumur sendiri di dekat sawah?” tanyanya penuh semangat.
Pak Raji tersenyum lelah. “Membuat sumur itu berat, Nak. Dan siapa yang akan membantu?”
“Kita bisa minta bantuan warga. Kalau kita bersama-sama, pasti bisa!” seru Bintang.
Pak Raji awalnya ragu, tetapi optimisme Bintang membangkitkan harapannya. Keesokan harinya, mereka mulai menggali. Dengan cangkul sederhana, Bintang dan ayahnya bekerja dari pagi hingga sore. Awalnya, hanya mereka berdua. Namun, lama-kelamaan, para tetangga mulai ikut membantu.
Hari-hari berlalu penuh perjuangan. Tangan kecil Bintang penuh kapalan, tapi semangatnya tak pernah surut. “Kita pasti bisa,” ucapnya setiap hari.
Hingga suatu sore, suara gemuruh kecil terdengar dari dalam tanah. Air mulai memancar dari sumur sederhana itu. Warga bersorak gembira. Bintang melompat kegirangan, memeluk ayahnya erat.
“Pak, kita berhasil!” teriaknya.