Pelaksanaan Pemilu 2024 tinggal menghitung hari. Ini merupakan pemilu serentak kedua kalinya yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu 2019. Pelaksanaan pemilu serentak terwujud setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan oleh Effendi Gazali pada 10 Januari 2013 terkait Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 terhadap UUD 1945.Â
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 membawa perubahan bagi sistem pemilu yang sebelumnya dilakukan secara bertahap, menjadi serentak. Hal ini membawa dampak yang signifikan, baik sebelum, selama, maupun setelah pelaksanaan pemilu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pada tanggal 17 April 2019, Indonesia menggelar pemilihan umum secara serentak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Pasca Pemilu Serentak 2019
Penyelenggaraan pemilu secara serentak pertama kali di Indonesia pada Pemilu 2019 berhasil mengefisiensikan waktu dan tenaga, serta meningkatkan partisipasi masyarakat. Di sisi lain, kombinasi pemilihan umum serentak dan sistem proporsional terbuka menghadirkan tantangan baru. Pelaksanaan pemilihan serentak dengan menggunakan lima kotak suara menimbulkan kesulitan bagi penyelenggara pemilu, khususnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk bekerja lebih cermat.Â
Penambahan beban kerja dengan waktu pengerjaan yang singkat dalam proses pemungutan dan penghitungan suara semakin memperlihatkan kompleksitas permasalahan yang timbul. Proses kerja yang melelahkan dimulai sejak sebelum pemungutan suara (termasuk dalam waktu menunggu penerimaan logistik) hingga setelah penghitungan suara. Â Hal ini mengakibatkan petugas bekerja lebih dari 8 jam per hari, mengurangi daya tahan tubuh, dan memicu kelelahan. Sebagai contoh, pemantauan Komnas HAM RI di Jawa Timur menunjukkan bahwa 9 petugas KPPS meninggal karena kelelahan. Tugas yang lebih banyak dalam batas waktu yang singkat meningkatkan kesulitan manajemen waktu bagi petugas KPPS. Pasca Pemilu 2019 dilaksanakan, sebanyak 5.175 petugas KPPS mengalami sakit dan 894 lainnya meninggal dunia. Perayaan pesta demokrasi lima tahunan yang seharusnya membawa tawa, justru membuat ribuan keluarga berbelasungkawa.
Antisipasi Jelang Pemilu Serentak 2024
Pelaksanaan Pemilu 2019 telah berlangsung dengan aman, tertib, dan sesuai dengan jadwal maupun tahapan yang telah dirancang sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Meskipun demikian, perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu 2019, terutama dalam hal aspek teknis dan tata kelola pemilu, termasuk berkaitan dengan kematian KPPS.Â
KPU mengubah ketentuan terkait batasan usia petugas KPPS melalui PKPU Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Ad Hoc Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Jika sebelumnya tidak ada batasan usia maksimal, kini Pasal 28 PKPU Nomor 8 Tahun 2022 menetapkan rentang usia petugas KPPS mulai dari 17 (tujuh belas) hingga 55 (lima puluh lima) tahun.
Selain itu, jumlah pemilih per TPS yang sebelumnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dengan batasan maksimal 500 orang, kini diubah menjadi maksimal 300 orang per TPS berdasarkan Pasal 15 Ayat (3) PKPU Nomor 7 Tahun 2022 untuk Pemilu 2024. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengurangi beban kerja KPPS dalam menghitung surat suara.
Salah satu penyebab tingginya angka sakit dan kematian KPPS pada Pemilu 2019 adalah karena tidak ada regulasi yang mengatur akses terhadap layanan kesehatan bagi petugas, termasuk penyediaan fasilitas kesehatan atau keberadaan petugas medis di TPS. Kondisi ini semakin diperburuk dengan jenis asupan yang dikonsumsi oleh petugas KPPS selama bekerja, seperti kopi, gula, makanan ringan, dan rokok. Akibatnya, banyak petugas penyelenggara tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan memicu kambuhnya penyakit atau munculnya penyakit baru.Â