Mohon tunggu...
Siti Shafiyah Nur Ubai
Siti Shafiyah Nur Ubai Mohon Tunggu... Lainnya - Political Science Student

Senang mengikuti isu sosial dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kritik 4.0: Diadang UU ITE, Dicegat KUHP

27 Mei 2023   07:00 Diperbarui: 27 Mei 2023   07:06 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hati-hati ada tukang bakso". Demikianlah kalimat yang kerap dilontarkan sebagai bentuk guyonan, tetapi perlahan mulai bergeser maknanya. Satire yang menggambarkan semakin normalnya untuk takut berpendapat di negeri ini. Seakan ternormalisasi, mengkritik kini rasanya harus memenuhi syarat dan ketentuan yang tidak jelas peruntukannya. Normalnya, mereka yang melanggar undang-undang akan disebut sebagai pelaku. Namun, unik bila kita melihat pada apa yang terjadi di negeri tercinta ini, misalnya dalam kasus pemidanaan menggunakan UU ITE. 

Banyak dari mereka lebih pantas kita sebut sebagai korban. Robertus Robet, Baiq Nuril, Stella Monica, Dandhy Laksono merupakan beberapa bukti nyata betapa mengerikannya berpendapat dan berekspresi di negeri ini. Nahasnya, mereka hanyalah segelintir orang dari banyaknya korban pasal karet UU ITE, mereka adalah yang masuk di berita. Komnas HAM RI melaporkan sejak tahun 2016-2022, setidaknya terdapat 108 pengaduan yang masuk terkait UU ITE. 

Sepanjang 2020 hingga 2021, mayoritas lokasi peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi terjadi di ruang digital (52%), seperti di media sosial dan aplikasi percakapan. Terbaru dari SAFEnet menemukan sepanjang Juli-September 2022, terdapat 165 insiden keamanan digital di Indonesia. Angka ini merupakan tiga kali lipatnya jumlah insiden keamanan digital pada triwulan kedua, yaitu sebanyak 50 laporan.

Pemerintah kembali menorehkan prestasi. RKUHP dengan segudang polemiknya berhasil disahkan menjelang akhir tahun 2022. Bak dikejar banteng, pemerintah bersama DPR RI mengesahkan RKUHP secara terburu-buru walaupun sudah banyak penolakan dari berbagai pihak. Apakah benar "R" dalam RKUHP adalah "racing", saya juga sempat curiga. Kitab ini berisikan poin-poin multitafsir yang mencemaskan kita semua. Salah satu pasal karet dalam KUHP adalah terkait penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. 

Pasal ini berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara. Pemerintah menjawab berbagai penolakan yang ada dengan mengatakan bahwa hadirnya pasal-pasal ini sebagai penegas batas yang harus dijaga demi masyarakat Indonesia yang beradab. Padahal yang dipermasalahkan adalah mengapa hal sedemikian rupa masuk dalam butir-butir pembahasan para pembuat legislasi hingga perlu diatur dalam sebuah undang-undang.

UU ITE kerap digunakan oleh pejabat, pemodal, oknum penegak hukum sebagai alat atau sarana untuk melakukan pembungkaman terhadap orang-orang yang berupaya mengkritik dan berpendapat. Situasi semakin diperburuk dengan hadirnya KUHP. Tidak hanya produk-produk karet yang menghantui kebebasan berekspresi masyarakat, peretasan dan kriminalisasi pun masih sering bergentayangan. Sebut saja salah satu insiden, yaitu peretasan terhadap para jurnalis media Narasi. Esensi demokrasi semakin memudar dengan hadirnya pasal-pasal ini.

Ramai-ramai menggaungkan semangat Revolusi Industri 4.0, pemerintah justru lalai dalam menjaga hak masyarakat dalam berekspresi dan berpendapat. Revolusi Industri 4.0 memudahkan kita mengakses hal-hal, termasuk dipenjara. Tiga tahun terakhir ruang kebebasan sipil terus mengalami penyempitan dengan adanya pasal-pasal ini. Represi kian sering kita jumpai terhadap mereka yang kritis, baik dalam ranah publik maupun digital.

Presiden semacam merestui situasi yang terus memburuk ini. Kritik kini menjadi hal yang pelik, kebebasan semakin mudah menjadi delik. Sudah jatuh bersama UU ITE, tertimpa KUHP pula. Persoalan terkait undang-undang bukan hanya menjadi persoalan pemerintah atau DPR saja, tetapi juga persoalan kita bersama.  Mari terus gaungkan hal ini agar ketidakadilan tidak semakin marak terjadi.

*Tulisan ini pernah menang dalam lomba opini yang diselenggarakan oleh LPM Institut.

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun