Membuat masyarakat berada dalam beragam kotak berbeda dan saling mengecam karena perbedaan pendapat. Nyata bahwa praktik kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita sudah menjadi bangunan dari kumpulan keinginan dan kepentingan personal.Â
Muara logisnya? Sedikit demi sedikit kepentingan publik direduksi dan kemudian, kita merasakan adanya kekhawatiran masal tentang masa depan kita bersama. Dan, mungkin kesadaran kolektif itu akan hadir ketika suasana kehidupan sudah semakin ramai oleh lontaran dan pemaksaan ide serta ego personal.
Sebagai rakyat yang tak begitu paham dengan gimmick plus beragam silang sengketa pikir dan kepentingan, lantas berpikir dan bertanya-tanya sendiri "Mungkinkah ada sesuatu yang salah dalam sistem kemasyarakatan yang dibangun selama ini?Â
Atau, memang sudah saatnya kita menyampaikan bahwa memang ada sesuatu yang salah dalam sistem ini. Sehingga semarak kehidupan publik sebagai praktik komunalitas bersama yang dilakukan dicemari kuatnya ambisi dan pikiran personal, digerayangi oleh kehendak dan cara kerja personal.Â
Apakah memang sebegitu tidak berdayanya publik dan republik sehingga proses personalisasi yang hinggap pada hampir semua segmen kehidupan disikapi dengan keberterimaan, dijadikan tren dan bahkan cenderung dianggap lazim dalam kehidupan kita?
Kita bisa melihat, betapa tidak terlihatnya "tampang bersalah" pada mereka yang mencetuskan ide dan ego personalnya dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Bagaimana sistem memperlakukan orang per orang sebagai individu, subsistem/bagian dari sistem atau suprasistem.Â
Meski nyata telah mencoba memaksakan ide dan egonya kepada publik, bahkan sampai menimbulkan kondisi disequilibrium tetap saja minus punishment dengan berbagai dalih. Sudah sulit dibedakan, apakah sistem berkuasa atas subsistem atau malah cengkraman "beberapa" subsistem yang kuat dan tajam membuat sistem tak berdaya.
Lantas, apakah sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk melupakan mimpi bersama tentang masyarakat madani yang meletakan pluralisme, multi-kulturalisme, moderasi dan keseimbangan hidup? Atau, mungkin selama ini kita terlalu lelap tertidur dan lupa berdo'a sehingga tak lagi mampu bermimpi indah.Â
Ah, atau mungkin kita sudah terlalu asyik dengan mimpi kita sendiri dan mulai mengganggap bahwa mimpi bersama itu tak penting. Bukankah itu berarti bahwa individualisme telah begitu kuat merasuki kehidupan publik kita?Â
Lalu, dimanakah "the publlic sphere", yang menyediakan ruang kreatifitas dan inovasi, yang kemudian memperkaya kehidupan bersama masyarakat kita? Bukankah selama ini, 2 kata INOVASI dan KREATIFITAS tidak pernah dilupakan dalam pemaparan visi dan misi setiap agen dan aktor yang ingin berkuasa. Atau, memang hal itu cukup hanya sebagai pilihan diksi untuk memperindah mimpi.
Sudah saatnya publik dan republik kita dihadapkan ke ahlinya, mereka yang mampu berpikir panjang tentang kehidupan publik dan republik ini. Tidak sibuk dengan memaksakan ide dan ego personalnya yang kosong agar diterima publik, sehingga melupakan kewajibannya untuk berupaya mensejahterakan rakyat dan negara. Mereka yang tidak sibuk menyampaikan KATA terlebih DUSTA, tetapi sibuk membenahi FAKTA dengan KARYA.