Di zaman sekarang yang serba digital ini, kita seringkali mendengar kata “hoax” terutama ketika masa-masa Pemilihan Umum terjadi. Fenomena penyebaran berita palsu atau hoax saat pemilu bukanlah hal yang baru. Fenomena ini telah menjadi bagian dari strategi politik yang sering digunakan untuk mempengaruhi opini publik terhadap suatu paslon. Misalnya, pada saat Pemilihan Presiden 2024 kemarin, banyak sekali berita negatif yang muncul di media sosial yang membuat Masyarakat resah. Namun setelah di cek ternyata berita yang beredar itu tidak terbukti benar alias hoax. Jika kita mengingat-ingat, bukan hanya saat pemilihan presiden 2024 kemarin saja penyebaran berita palsu terjadi, namun dari zaman dahulu selalu ada saja penyebaran berita palsu ketika sedang diadakannya pemilu.
Penyebaran berita palsu atau hoax saat pemilu ini dapat membuat keadaan menjadi kacau karena banyak masyarakat yang mudah percaya dengan informasi-informasi yang beredar di media sosial tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu. Disinilah buzzer melakukan aksinya untuk memperluas penyebaran berita palsu tersebut. Para buzzer ini punya peran yang sangat penting dalam menyebarkan informasi demi mewujudkan kepentingan politik yang mereka dukung. Buzzer ini adalah orang-orang yang sengaja dibayar untuk menyebarkan informasi yang kadang tidak valid atau belum dipastikan kebenarannya, demi keuntungan politik atau paslon tertentu. Para buzzer ini bisa mengubah persepsi masyarakat tentang suatu paslon hanya dengan menyebarkan berita palsu yang diulang-ulang.
Sebelum kita membahas dampaknya lebih lanjut, pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dulu apa itu hoax. Hoax adalah berita atau informasi palsu yang sengaja dibuat untuk menipu atau memanipulasi pandangan seseorang terhadap suatu hal. Tujuannya bisa bermacam-macam, mulai dari sekedar mencari sensasi, menipu, dan bahkan digunakan untuk menyesatkan orang. Hoax ini sering kali dibuat seperti fakta yang meyakinkan, sehingga banyak orang yang mudah percaya dan menyebarkannya lagi. Hoax ini terbagi menjadi berbagai macam jenis gangguan informasi. Terdapat tiga jenis gangguan informasi, yaitu Misinformasi, Disinformasi, dan Malinformasi. Mengutip dari website resmi Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Misinformasi adalah informasi atau berita tidak benar yang tidak sengaja disebar atau tersebar, Disinformasi adalah informasi atau berita yang tidak benar dan sengaja dibuat untuk memanipulasi orang, sedangkan Malinformasi adalah informasi yang benar adanya namun dijadikan bahan untuk tujuan merusak atau sebagai ujaran kebencian.
Berikutnya kita akan membahas tentang buzzer. Buzzer adalah orang yang bertugas untuk menyebarkan informasi palsu. Buzzer bisa terdiri dari suatu individu maupun kelompok. Buzzer ini dibayar untuk menyebarkan informasi tertentu di sosial media. Kembali lagi, tujuan mereka adalah untuk mempengaruhi opini publik atau memanipulasi opini publik terhadap paslon tertentu dengan cara menyebarkan berita palsu atau konten-konten yang provokatif.
Fenomena ini seringkali terjadi pada paslon tertentu, termasuk yang dialami oleh paslon nomor urut satu kala itu, yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar di ajang Pemilihan Presiden 2024 kemarin. Saat masa kampanye, mereka menjadi sasaran serangan berita palsu yang menyebar luas di berbagai platform digital. Penyebaran hoax ini bukan hanya merusak reputasi, tetapi juga mempengaruhi persepsi masyarakat sehingga dapat merusak elektabilitas mereka. Elektabilitas adalah pertimbangan seberapa besar dukungan masyarakat terhadap suatu paslon. Jika elektabilitasnya tinggi, peluang mereka untuk memenangkan pemilu juga semakin besar. Elektabilitas tersebut bisa naik atau turun dan semuanya itu tergantung pada opini publik yang sayangnya seringkali dipengaruhi oleh buzzer yang sering menyebarkan informasi palsu.
Banyak sekali berita-berita palsu yang tersebar di media sosial tentang paslon Anies Baswedan dan Muhaimin iskandar. Salah satunya adalah berita palsu tentang Anies Baswedan yang mengajak Masyarakat untuk memilih paslon nomor urut dua. Pada saat itu beredar video yang mengklaim bahwa Anies Baswedan mengajak masyarakat untuk memilih paslon nomor urut dua yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. Padahal, video tersebut sebenarnya adalah rekaman lama ketika Pemilu 2014, dimana Anies Baswedan mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang juga mendapatkan nomor urut dua pada saat Pemilihan Presiden 2014. Penyebaran video tersebut merupakan contoh manipulasi informasi yang dapat menyesatkan publik. Video tersebut sengaja dibuat dengan kesan seolah-olah Anies Baswedan mendukung lawan politiknya yaitu Prabowo-Gibran. Hal tersebut dapat merusak citra dan elektabilitas Anies Baswedan di mata pemilih. Karena, jika masyarakat percaya bahwa Anies Baswedan mendukung paslon lain, hal tersebut bisa mengurangi dukungan terhadap dirinya di pemilu Presiden 2024 kemarin.
Permasalahan berikutnya adalah media. Media sebenarnya punya peran yang cukup penting untuk memverifikasi informasi yang beredar selama masa-masa pemilu. Tapi sayangnya, tidak semua media menjalankan tugasnya dengan baik. Ada saja media yang tidak mengecek kebenaran dari suatu informasi sebelum mereka menyebarkan berita tersebut. Atau bahkan ada saja media yang sengaja memihak salah satu paslon. Nah akibatnya adalah, berita palsu tersebut dapat menyebar sangat cepat terutama di sosial media. Sosial media juga kadang kurang baik dalam memfilter hoax, sehingga para buzzer punya kesempatan yang lebih besar untuk menyebarkan informasi palsu. Padahal seharusnya, tugas media adalah menjaga agar informasi yang sampai ke masyarakat itu benar dan akurat, dan bukan malah menyebarkan informasi atau berita palsu yang membuat suasana ketika pemilu menjadi berantakan.
Untuk mengatasi masalah penyebaran hoax dan disinformasi yang disebabkan oleh buzzer tersebut, ada beberapa solusi yang bisa kita lakukan. Pertama, yang paling penting adalah dengan meningkatkan literasi media di kalangan Masyarakat. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana cara mengenali informasi palsu dan pentingnya memeriksa ulang kebenaran suatu informasi sebelum mempercayai atau menyebarkannya. Karena, semakin banyaknya masyarakat yang melek dan paham tentang literasi media ini, maka akan semakin kecil juga kemungkinan terdapatnya masyarakat yang akan tertipu atau menyebarkan informasi palsu. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa sangat penting untuk memasukkan Penidikan Literasi Media sejak dini kedalam kurikulum sekolah, atau bisa juga melalui kampanye kesadaran akan pentingnya literasi media. Sehingga masyarakat bisa lebih peka terhadap informasi yang mereka terima, terutama di saat masa-masa pemilu.
Berikutnya solusi yang kedua adalah dengan meneggakkan hukum terhadap pelaku penyebaran hoax atau informasi palsu. Maka dapat dikatakan bahwa, pemerintah perlu mengeluarkan aturan yang lebih jelas untuk menghukum orang-orang yang berani menyebarkan informasi atau berita palsu, salah satunya adalah para buzzer yang dibayar untuk menyebarkan hal tersebut. Pemerintah perlu memberi sanksi yang tegas terhedap mereka yang terbukti menyebarkan informasi palsu agar mereka jera, sehingga hal-hal seperti ini tidak akan terulang lagi di saat masa-masa pemilu.
Sebagai warga negara, kita juga punya peran yang sangat penting untuk menjaga kedamaian saat pemilu. Kita sebagai warga negara yang baik harus bisa bersikap kritis dan hati-hati saat mendapatkan informasi, terutama di media sosial. Janganlah sesekali kita mempercayai informasi yang belum valid kebenarannya, apalagi sampai menyebarkan berita tanpa kita cek dulu kebenarannya. Dengan bersikap kritis dan lebih berhati-hati terhadap informasi yang kita terima, kita dapat membantu menciptakan pemilu yang lebih adil dan sehat di negara kita. Semoga di masa-masa pemilu yang akan datang, masyarakat indonesua bisa mewujudkan pemilu yang lebih bersih dan sehat, tanpa ada lagi berita-berita atau informasi palsu yang menyebar. Pemilu seharusnya menjadi ajang untuk para paslon mengadu gagasan, program, dan visi-misi yang mereka miliki, bukan malah menjadikan pemilu sebagai ajang untuk saling menjatuhkan dengan berita palsu. Dengan mewujudkan pemilu yang lebih bersih dan sehat, masyarakat bisa memilih paslon berdasarkan penilaian objektif yang jelas dan bukan berdasarkan persepsi yang dibentuk oleh informasi yang tidak benar. Pemilu yang bersih dan adil akan melahirkan pemimpin yang benar-benar didukung oleh suara rakyat dari penilaian yang objektif. Iinilah yang kita butuhkan untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H