Monumen Pers Indonesia merupakan salah satu bangunan bersejarah yang terletak di kota Surakarta, Jawa Tengah. Monumen ini menjadi ikon bersejarah bagi dunia pers Indonesia. Pada tahun 1978 Presiden Indonesia, Soeharto meresmikan Monumen Pers Indonesia dengan tujuan untuk mengenang dan menghargai peran pers dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada awalnya bangunan ini bernama ‘Societeit Sasana Soeka’ yang dibangun pada tahun 1918 oleh KGPAA Sri Mangkunegoro VII, Pangeran Adipati Aryo Prangwedana.Â
Pada masa itu gedung ini digunakan sebagai balai pertemuan dan pernah menjadi tempat berlangsungnya kongres wartawan Indonesia di tahun 1946 yang menjadi tonggak penting dalam sejarah pers nasional. Pada kongres tersebut, para wartawan Indonesia menyatukan semangat kebebasan pers yang merdeka dan berdaulat. Monumen ini menjadi salah satu situs cagar budaya yang ada di Surakarta dan dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Dilihat dari sisi bangunan, monumen ini memadupadankan gaya kolonial dengan kekhasan Hindu-Buddha. Keunikan bangunan ini merupakan karya dari Aboekasan Atmodirono. Pilar besar yang menyambut di monumen ini serta gaya pintu dan jendela yang lebar menjadi ciri khas gaya bangunan kolonial. Bangunan yang bertingkat menyerupai candi dan ornamen stupa di bagian atap, serta dinding gedung yang terbuat dari batu andesit menjadi ciri bangunan Hindu-Buddha.
Monumen ini menyimpan banyak sejarah dalam dunia pers Indonesia. Beberapa koleksi artefak bersejarah tersimpan di monumen ini, seperti mesin cetak kuno, alat komunikasi zaman dahulu, radio pemancar, naskah tempo dulu, dan dokumentasi penting terkait perkembangan jurnalistik di Indonesia. Selain koleksi artefak monumen ini juga menyediakan layanan e-papper, pengunjung dapat membaca berbagai koleksi koran dan media cetak lama secara luring, dan dapat membuat permintaan artikel sesuai preferensi pengunjung. Monumen pers juga memiliki perpustakaan yang nyaman, dan tersedia lebih dari 1.000 eksemplar koleksi yang dapat dibaca dan dipinjam secara gratis. Salah satu koleksi utama yang masih tersimpan di Monumen Pers Indonesia yaitu Radio Kambing. Begitu mendengar nama 'Radio Kambing' terkesan unik, namun dibalik penamaannya radio tersebut menyimpan lika-liku sejarah perjuangan pers Indonesia. Mari kita simak sejarah radio kambing!
Pada saat Agresi Militer Belanda pada tahun 1948, tentara Belanda menghancurkan semua stasiun radio di Indonesia. Tujuan mereka adalah Belanda tidak ingin Indonesia menyiarkan informasi penting mengenai kenegaraan dan kondisi pada saat itu. Semua stasiun radio menjadi incaran tentara Belanda. Setelah berhasil menghancurkan stasiun radio yang ada, Belanda mengincar pemancar radio yang ada di RRI (Radio Republik Indonesia). Namun tentara Indonesia sudah mengetahui rencana busuk mereka.Â
Sebelum dihancurkan oleh Belanda, para pejuang segera mengamankan pemancar radio itu dari stasiun RRI. Pemancar radio tersebut dibawa ke sebuah desa yang berada di Karanganyar, yang beralamat di Desa Balong. Untuk mengelabuhi tentara Belanda, alat pemancar itu disembunyikan didalam kandang kambing. Alat pemancar tersebut ditutupi dengan pakan kambing, dan dedaunan agar tidak diketahui oleh pihak Belanda.Â
Dari usaha penyembunyian ini alat pemancar tersebut dinamai 'Radio Kambing'. Usaha ini memberikan hasil yang baik, mereka dapat kembali melakukan siaran. Tak jarang saat siaran berlangsung terdengar suara embikan kambing, namun hal tersebut bukan menjadi masalah.
Dengan keberadaan Monumen Pers Indonesia, diharapkan dapat menjadi sarana edukasi bagi masyarakat untuk menilas balik perjuangan pers Indonesia. Kita perlu memahami pentingnya peran pers dalam demokrasi dan mendukung kebebasan informasi. Monumen ini menunjukkan perjuangan pers Indonesia, semangat pers yang bebas dan berintegritas harus diperjuangkan seperti yang dilakukan pendahulu bangsa kita. Dengan mengetahui sejarah dan arti dari Monumen Pers, diharapkan dapat lebih menghargai peran penting pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan pers adalah hak dan tanggung jawab bersama untuk menciptakan masyarakat yang kritis dan cerdas.
Di era modern seperti saat ini, pers menghadapi tantangan baru seperti penyebaran berita palsu dan pengaruh media sosial. Namun, keberadaan Monumen Pers mengingatkan kepada kita bahwa semangat untuk menyebarkan kebenaran tidak boleh padam meskipun hambatan terus muncul. Para jurnalis diharapkan dapat mengikuti kemajuan teknologi dengan tetap mempertahankan moral dan tanggung jawab dalam mengemban tugas sebagai seorang jurnalis.