Bahasa merupakan peranan yang sangat penting dan fundamental dalam kehidupan kita, berfungsi sebagai alat komunikasi yang memungkinkan interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu terhubung dengan interaksi yang diwujudkan melalui komunikasi. Komunikasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan, tulisan, atau bahkan bahasa isyarat. Melalui bahasa kita dapat memperoleh informasi, menyampaikan ide-ide, dan mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Lingkungan adalah tempat di mana masyarakat melakukan interaksi dan komunikasi. Lingkungan ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, seperti lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, dan lain-lain (Ridwan & Khamidah, 2021: 225).Â
Kemampuan berbahasa manusia melibatkan proses yang dikelola oleh otak, yang berkaitan erat dengan teori evolusi otak (Manshur & Zaidatul Istiqomah, 2021: 28). Bahasa berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan pikiran antara penutur dan pendengar, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Bahasa lisan adalah bahasa yang diucapkan secara langsung, sedangkan bahasa tulisan disampaikan melalui media tertulis. Penting untuk memperhatikan asal-usul bahasa; jika pesan disampaikan dalam bentuk tulisan sejak awal, itu dianggap sebagai bahasa tulis. Namun, jika teks berasal dari rekaman ucapan yang ditranskripsikan, maka itu disebut bahasa lisan meskipun dalam bentuk teks. Semua aspek ini dipelajari dalam linguistik, ilmu yang fokus pada studi tentang bahasa sebagai objek utamanya.
Pemahaman tentang bahasa tidak hanya terbatas pada penguasaan kata atau kalimat, tetapi juga mencakup konteks dan struktur yang lebih luas dalam komunikasi. Wacana menjadi penting di sini, karena merupakan kumpulan kalimat yang saling berhubungan dan membentuk satu kesatuan makna. Sebuah wacana akan dilihat sebagai suatu teks yang merupakan objek dan data yang selalu terbuka bagi pembacaan dan penafsiran yang beragam. Teks diterima dan dipahami oleh pembacanya dan lingkungan budaya dimana teks tersebut diproduksi dan dikonsumsi. Jadi, teks bersifat intertekstual dan sekaligus subjektif atau dengan kata lain, teks bersifat intersubjektif. Artinya teks tergantung pada bagaimana penafsiran-penafsiran yang diajukan orang lain dalam kode-kode dan konvensi-konvensi suatu komunitas, dan dengan demikian disahkan atau ditolak (Cavallaro, 2004, hlm. 109-111). Wacana dipahami sebagai unit-unit dan bentuk-bentuk tuturan dari interaksi yang menjadi bagian dari perilaku linguistis sehari-hari, tetapi dapat muncul secara sama dalam lingkungan institusional. Wacana merupakan teks yang berada dalam situasi tuturan.
Menurut van Dijk, wacana adalah teks "dalam konteks". Dalam wacana terkandung makna konteks yang lebih luas. Dalam konteks teori perilaku linguistis, adalah penting untuk menentukan "teks", yang materinya dibuat dalam teks, dipisahkan dari situasi tuturan umum yang hanya sebagai perilaku reseptif pembaca, dasar umumnya dipahami dalam makna sistematis, bukan makna historis. Dalam teks, perilaku ujaran memiliki kualitas pengetahuan dalam melayani transmisi, serta disimpan untuk penggunaan sesudahnya dalam bentuk tertulis yang konstitutif dan untuk penggunaan istilah sehari-hari. Jadi, teks lebih dipandang sebagai fenomena linguistis yang berdiri sendiri dan terpisah dari situasi tuturan.
Secara etimologis istilah "wacana" berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak yang artinya berkata, berucap. Dalam kajian linguistik, istilah "wacana" merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris "discourse" Jika ditelusuri lebih lanjut, kata "discourse" berasal dari bahasa Latin "discursus" yang berarti bergerak ke sana kemari atau berlari bolak-balik. Kata ini merupakan gabungan dari "dis" (dari/dalam arah yang berbeda) dan "currere" (lari). Seiring dengan perkembangannya, istilah "discourse" lebih sering digunakan oleh para ahli bahasa dalam studi linguistik, sementara istilah "discursus" beserta bentuk adjektifnya, "diskursif" lebih banyak digunakan oleh para ilmuwan sosial (Mulyono, 2005: 4).
Berdasarkan pengertiannya, Syamsuddin (2011, hlm. 8) mengidentifikasi ciri dan sifat sebuah wacana, sebagai berikut.
- Wacana dapat berupa rangkaian kalimat ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur
- Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek)
- Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan semua situasi pendukungnya
- Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu
- Dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental.
Wacana dan komunikasi serta fungsinya saling terkait, di mana wacana sebagai unit percakapan memerlukan elemen komunikasi yang terdiri dari sumber (pembicara atau penulis) dan penerima (pendengar atau pembaca). Selain itu, dijelaskan bahwa semua elemen komunikasi berhubungan dengan fungsi bahasa, yang mencakup: (1) fungsi ekspresif, yang menghasilkan jenis wacana berdasarkan pemaparan secara ekspositoris; (2) fungsi fatik, yang berfungsi sebagai pembuka percakapan dan menghasilkan dialog awal; (3) fungsi estetik, yang berkaitan dengan pesan sebagai elemen dalam komunikasi; dan (4) fungsi direktif, yang berhubungan dengan pembaca atau pendengar sebagai penerima informasi wacana secara langsung dari sumber (Djajasudarma 1994, hlm. 15)
Dalam studi analisis wacana (discourse analysis), pemahaman dasar dari CDA adalah bahwa wacana tidak dipahami semata-mata hanya sebagai obyek studi bahasa. Dalam hal ini, bahasa digunakan untuk menganalisis teks dan tidak dipandang dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam analisis wacana kritis, selain pada teks, juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi. Habermas mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana kritis (AWK), bahwa analisis wacana kritis bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah-masalah sosial dalam hubungannya antara ideologi dan kekuasaan. Tujuan analisis wacana kritis adalah untuk mengembangkan asumsi-asumsi yang bersifat ideologis yang terkandung dibalik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam berbagai bentuk kekuasaan (Darma, 2009, hlm. 53).
Analisis wacana kritis dipakai untuk mengungkapkan tentang hubungan ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Selain itu juga, dapat digunakan untuk mengeritik. Analisis wacana kritis dalam konteks sehari-hari digunakan untuk membangun kekuasaan, ilmu pengetahuan baru, regulasi, dan normalisasi, serta hegemoni (Pengaruh satu bangsa terhadap bangsa lain). Analisis wacana kritis juga digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan, menganalisis dan mengeritik kehidupan sosial yang tercermin dalam teks atau ucapan, yaitu suatu teks yang diproduksi dengan ideologi tertentu yang disampaikan pada khalayak pembacanya. Fokus analisis wacana kritis terletak pada bagaimana struktur wacana menerapkan, mengonfirmasi, dan mereproduksi hubungan-hubungan yang berkaitan dengan kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat. Lebih khusus lagi, diidentifikasi oleh Fairclough & Wodak (dalam Tannen, 2001, hlm. 353) sebagai berikut:
Summarize the main tenets of CDA as follows: 1. CDA addresses social problems; 2. Power relations are discursive; 3. Discourse constitutes society and culture; 4. Discourse does ideological work; 5. Discourse is historical; 6. The link between text and society is mediated; 7. Discourse analysis is interpretative and explanatory; 8. Discourse is a form of social action.
Van Dijk memberi definisi analisis wacana kritis (CDA) sebagai berikut: Critical discourse analysis (CDA) is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance, and inequality are enacted, reproduced, and resisted by text and talk in the social and political context. With such dissident research, critical discourse analysts take explicit position, and thus want to understand, expose, and ultimately resist social inequality.