Kenaikan harga Elpiji jadi dilema buat ISIS?
Iyyaaa….
Koq bisa?
Ya bisa laaah…. ISIS ini ‘kan singkatan dari Istri Sholehah Idaman Suami seperti saya ini… wkwkwk… Narsiissss….
Ketika Pertamina mengumumkan rencana kenaikan harga Elpiji non subsidi, jujur saya langsung panas dingin, lebay dikit hehehe…
Kepala saya langsung dipenuhi rencana pengencangan ikat pinggang, walau terus terang saya juga bingung pinggang mana lagi yang dikencangkan mengingat pinggang saya mah menghilang tertimbun lemak, wkwkwk…
Serius lagi….
Sebagai seorang ibu rumah tangga yang juga berprofesi lain sebagai tukang kue dan catering, sedikit saja harga Elpiji naik tentu sangat berpengaruh pada pengeluaran keluarga dan juga modal usaha kecil saya. Apalagi harga Elpiji di Malingping ini terhitung lebih mahal daripada daerah Banten yang lain. Bayangkan untuk Elpiji 3 kilogram saja dari agen besar sudah dijual dengan harga Rp.19.000,- dan di tingkat pengecer dijual hingga Rp.22.000,- . Bahkan jauh berbeda dengan harga jual di Buleleng, Bali, tempat mertua saya tinggal, disana hanya seharga Rp.15.000,- di tingkat pengecer.
Harga Elpiji non subsidi yang di tempat lain dijual Rp.98.000,- sampai Rp.100.000,- maka di Malingping ini harga jual di agen besarnya sudah Rp.115.000,- sebelum kenaikan. Kini setelah Pertamina menaikan harganya, tadi siang saya dapatkan Elpiji tabung biru dengan harga Rp.130.000,- dari agen besar. Koq bisa? Tanya kenapa?
Sebagai seorang yang lahir disini, saya cukup mafhum dengan harga-harga berbagai komoditi yang cenderung lebih tinggi di Malingping ini. Walaupun Malingping masih berada di Pulau Jawa, tapi akses jalan provinsi dari Serang ke Malingping tidaklah bisa disebut bagus, atau lebih pendeknya, buruk. Infastruktur yang buruk ini membuat ongkos kirim barang menjadi naik, karena lamanya perjalanan dan biaya perawatan kendaraan pengangkut yang tak murah. Jadi ketika Elpiji tabung biru diumumkan naik harganya, saya langsung panas-dingin karena sudah menduga bila disini harganya akan melebihi harga yang disarankan Pertamina. Lalu saya pun harus memutar otak kembali agar semua kas yang ada tetap cukup untuk membeli susu, jajan anak-anak, tabungan harian mereka, gaji si Teteh yang bantuin di rumah, juga tetap bisa membuat usaha saya berjalan tanpa harus menaikan harga jualnya karena langganan saya suka protes kalau harga kuenya naik, dan saya yang nggak tegaan ini pun selalu tak bisa membuat mereka bersedih karena harga kue naik, wkwkwk…
Suami saya-lah yang selalu paling tenang menghadapi situasi apapun.
Mama tahu nggak kalau Pertamina rugi terus menjual Elpiji biru? Katanya.
Iya, tahu. Jawab saya.
Ntu tahu, Mama juga jualan nggak mau rugi terus ‘kan? Tanyanya lagi.
Ya nggak mau, laaah, ngapain capek-capek bikin kue kalau rugi mulu. Jawab saya, keluar deh sifat judesnya, hihihi…
Yaa udaah, Mama aja nggak mau rugi terus, Pertamina juga sama. Apalagi kerugian Pertamina ‘kan bisa berimbas pada ribuan karyawannya. Gitu aja koq repot… terang suami saya panjang lebar.
Tapi ‘kan cost-nya jadi meningkat karena Elpijinya naik. Saya masih ngeyel…
Ya udah, naikan aja harga jual kuenya atau kecilin aja ukuran kuenya kalau nggak mau naikin harganya, gitu aja koq repot….
Kali ini saya manggut-manggut. Ya, saya mengerti bukan hal mudah bagi Pertamina pun untuk menaikkan harga Elpiji, semua harus melewati pertimbangan dan perhitungan yang lama. Apalagi sebagai perusahaan Negara tentu harus member keuntungan berupa rupiah juga untuk pembangunan negeri ini.
Semoga saja diantara keuntungan Pertamina kelak ada yang dipakai untuk perbaikan jalan ke Malingping ini, sehingga Malingping ini tidak lagi terisolir dan dapat berkembang baik seperti daerah lainnya. Aamiin…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H