LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. LGBT sudah ada sejak zaman Nabi Luth a.s., sehingga ini bukanlah suatu hal yang baru bagi kita. Belakangan ini para kaum LGBT seolah membutuhkan pengakuan dan mencoba untuk menormalisasikan keberadaan para kaum pecinta sesama jenis. Seperti yang sedang ramai diberitakan di berbagai akun media sosial bahwa, terdapat agenda pertemuan para aktivis LGBT se-Asean. Acara pertemuan LGBT ini rencananya akan digelar di Jakarta, tepatnya pada tanggal 17-21 Juli 2023. Sontak saja berita ini langsung mendapat respons dari berbagai kalangan, tak terkecuali Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga turut angkat bicara. MUI mengingatkan pemerintah untuk melarang pertemuan komunitas LGBT ini karena jika tetap diberikan akses, maka pemerintah dianggap melanggar konstitusi. Tak hanya itu, pemerintah tidak boleh memberikan izin terhadap kegiatan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dari ajaran agama. Apalagi di Indonesia ini, terdapat 6 agama yang telah diakui oleh negara Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Seperti yang kita tahu bahwa, tidak ada satu agama pun yang mendukung atau mentoleransi kaum LBGT. Terlebih lagi mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam. LGBT sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam karena LGBT merupakan suatu perbuatan hina yang dapat merusak harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia. Maka dari itu, Islam dengan tegas mengharamkan hubungan seksual sesama jenis, seperti laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan.
Sampai saat ini, berita seputar kaum LGBT terus-menerus muncul ke permukaan. Berita yang juga tak kalah trending dari berita pertemuan LGBT se-Asean. Berita ini datang dari seorang selebgram yang bernama Meylisa Zaara yang memergoki suaminya sedang chattingan mesra dengan seorang pria. Kabarnya, sosok yang menjadi selingkuhan suaminya adalah seorang laki-laki yang menjadi saksi dalam pernikahannya. Selain itu, berita LGBT juga datang dari seorang pemimpin Ponpes di Polewali Mandar yang mencabuli santri laki-laki di pondok pesantren yang ia pimpin.
Dari beberapa contoh kasus LGBT yang saat ini ramai diperbincangkan, maka dapat disimpulkan bahwa, penampilan seseorang tidak menjamin bahwa orang tersebut normal. Banyak kaum LGBT yang berpenampilan sesuai dengan gendernya namun, siapa sangka mereka sebenarnya golongan dari kaum LGBT. Ada pula yang secara terang-terangan berpenampilan menentang dari gendernya, seperti wanita yang berpenampilan layaknya seorang laki-laki (tomboi) dan laki-laki yang berpenampilan layaknya seorang perempuan (bencong/waria) dan mereka juga bagian dari kaum LBGT karena kebanyakan dari mereka menyukai sesama jenis.
Lantas benarkah hal seperti ini disebabkan karena adanya penyakit pada diri mereka? Mungkin saja itu benar karena orang yang tergolong LGBT ini biasanya memiliki penyakit seperti kelainan otak dan genetik serta faktor psikologis. Selain itu ada banyak faktor yang membuat seseorang menjadi bagian dari kaum pelangi ini, diantaranya sebagai berikut:
- Pertama, faktor lingkungan yang menganggap homoseksualitas sebagai hal yang wajar atau biasa. Faktor ini disebabkan karena tidak adanya nilai-nilai moral atau agama yang menjadi bekal ilmu pada diri seseorang, sehingga ia memiliki pandangan yang salah terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan.
- Kedua, karena adanya pengalaman buruk terhadap pola asuh keluarga. Faktor ini dapat digambarkan dengan peran seorang Ibu yang mungkin kurang tepat dalam mengasuh anaknya, misalnya anaknya adalah seorang anak laki-laki namun ia mengasuhnya dengan pola asuh anak perempuan, ataupun sebaliknya. Sedangkan seorang Ayah, ada kemungkinan kurang bisa mengasuh anak perempuan, dan lebih bisa mengasuh anak laki-laki karena kesamaan jenis kelamin, jadi sang ayah bisa lebih mudah berinteraksi dengan anak laki-laki ketimbang dengan anak perempuan.
- Ketiga, faktor lain yang dapat membuat seseorang keluar dari kodratnya adalah pengalaman seks dini, yang disebabkan karena melihat gambar-gambar porno dari televisi, DVD, Internet, komik atau media lain di sekitarnya.
- Keempat, faktor sakit hati/trauma terhadap lawan jenis. Bisa jadi, kaum LGBT ini dulunya adalah korban dari sang kekasih hati pada saat ia masih dalam keadaan normal. Trauma kepada mantan kekasihnya itu, bisa saja membuat ia menjadi takut untuk menjalin kembali hubungan dengan lawan jenis. Ia merasa lebih nyaman jika berinteraksi atau bahkan menjalin hubungan spesial dengan sesama jenisnya.
- Kelima, faktor keluarga. Faktor ini biasanya identik dengan masalah keluarga seperti broken home. Seorang anak broken home biasanya kurang dalam hal mendapat perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Jadi, dari hal itu bisa saja anak tersebut haus akan perhatian dan kasih sayang sehingga berusaha untuk mencari seseorang yang mampu mengerti dirinya dan mampu memberikan apa yang ia inginkan. Ketika ia mendapatkannya namun berasal dari orang yang sesama jenisnya, tidak menutup kemungkian bahwa seiring berjalannya waktu ia akan menjadi nyaman dan mulai muncul rasa yang tak wajar kepada sesama jenisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H