“Pada dasarnya kalau dibilang efektif atau tidak itu relatif. Karena guru sebagai tenaga pengajar itu sifatnya beradaptasi dengan apa pun kurikulum yang diterapkan. Jika dibandingkan, tentu lebih efektif Kurikulum 13. Di satu sisi, Kurikulum Merdeka memberikan keringanan pada guru untuk membebaskan anak dalam mencari dan mengolah pengetahuannya sendiri. Tetapi, di balik keefektifan ini kita juga jadi ada beban, salah satunya modul pembelajaran dan aspek penilaian yang bertambah menyesuaikan dengan P5,” paparnya.
Tentu ada tantangan tersendiri dalam menggunakan Kurikulum Merdeka. Menurut Nia, salah satunya adalah kemerosotan akhlak peserta didik.
“Karena para siswa dibebaskan, jadi ada adab yang terlepas, seperti bagaimana menghormati guru sebagai pengajar mereka. Selain itu, yang terjadi adalah kejenuhan dan minimnya pemahaman siswa akan konsep. Bisa jadi karena guru tidak menanamkan konsep yang matang dari awal, atau mereka yang pemahamannya masih minim,” ujarnya.
Siswi kelas 10 SMA PGII 1 Bandung, Nibras Syakira berpendapat bahwa Kurikulum Merdeka dapat memudahkannya dalam memahami pembelajaran.
“Cukup memudahkan karena Kurikulum Merdeka bikin proses berpikir kita lebih baik. Guru tidak langsung memberi penjelasan, sehingga kita yang harus mencari sendiri. Karena guru tetap memberi arahan, jadi enggak ada kesulitan dalam memahami pembelajaran,” ucap Nibras saat diwawancara melalui Google Meet pada Jumat (22/12/2023).
Nibras juga berpendapat bahwa seharusnya jumlah mata pelajaran dapat dikurangi. Untuk kurikulum yang akan datang, dia berharap agar lebih banyak soal tertulis dibandingkan dengan soal pilihan ganda.
“Semoga makin banyak soal yang berbentuk esai agar pemahaman kita mengenai apa yang telah dipelajari dapat lebih diuji. Terus jangan terlalu banyak mata pelajaran, karena terkadang ada mata pelajaran yang kurang diperlukan. Seakan-akan murid dituntut untuk menguasai semua pelajaran, padahal tidak seluruh anak bisa menguasai semuanya,” ungkapnya.
Senada dengan hal tersebut, Nia setuju bahwa kini terlalu banyak mata pelajaran yang dibebankan pada peserta didik. Di sisi lain, Nia berharap kurikulum dapat meringankan tugas guru sebagai fasilitator pendidikan.
“Sekarang banyak mata pelajaran yang sekiranya dapat terangkum dalam satu pelajaran justru dipisahkan, sementara mata pelajaran penting banyak yang materinya dihilangkan. Selain itu, kurikulum seharusnya bertumpu pada guru. Jangan membebankan guru dengan tugas yang banyak, misalnya seperti tuntutan administrasi yang rumit,” pungkasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI