Peperangan yang terjadi di Semenanjung Korea berawal pasca terjadinya Perang Dunia kedua. Dimana Korea dibagi menjadi dua zona kependudukan sepanjang garis paralel ke-38. Korea Selatan sendiri didukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya, sedangkan Korea Utara didukung oleh Uni Soviet dan China. Hingga akhirnya peperangan terjadi  pada 25 Juni 1950 yang berakhir dengan gencatan senjata pada 27 Juli 1953. Peperangan antar kedua negara berakhir tanpa adanya surat perjanjian damai yang ditandatangani oleh kedua negara. Sehingga dapat dikatakan kedua negara masih dalam kondisi Perang.
- Isu Nuklir Korea Utara
Pengembangan nuklir menjadi perhatian serius bagi masyarakat internasional karena akan mengancam perdamaian dan keamanan terhadap suatu wilayah. Begitupun juga dengan kepemilikan atau keberadaan nuklir tentu akan berdampak pada negara hingga menimbulkan security dilemma. Karena efek yang dihasilkan oleh senjata nuklir sangatlah besar dan akan berdampak pada kehancuran dan perdamaian dunia. Salah satunya ancaman nuklir yang datang dari Korea Utara.
Munculnya nuklir di Semenanjung Korea berawal dari adanya bantuan Uni Soviet kepada Korea Utara pada tahun 1965 langkah pertama ini signifikan dalam pengembangannya. Hingga pada tahun 1970-an Korea Utara mulai fokus dalam memproduksi nuklir sebagai bahan pembangkit listrik, namun 10 tahun berikutnya, yakni pada tahun 1980, produksi nuklir beralih kepada pengembangan senjata nuklir. Hal ini dilakukan sebagai bentuk respon untuk mempertahankan rezim Kim Il-Sung dari ancaman eksternal, terkhusus Amerika Serikat. Tidak hanya itu, pada tahun 1993, Korea Utara menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), sebagai bentuk komitmennya dalam melakukan pengembangan senjata nuklir.
Hingga pada tahun 1994 Korea Utara menandatangani Agreed Framework dengan Amerika serikat yang bertujuan membekukan program nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara. Sebagai imbalannya Amerika Serikat akan memberikan bantuan energi. Namun perjanjian ini sirna pada awal tahun 2000-an dengan tindakan Korea utara dalam melanjutkan program nuklirnya. Hingga pada tahun 2006, Korea utara melakukan uji coba nuklir dan uji coba bom hidrogen pada tahun 2017. Uji coba yang dilakukan olehnya tentu menimbulkan ketegangan  di kawasan bahkan menarik perhatian dunia internasional
- Respon Korea Selatan
Dengan melihat tindakan dan ancaman yang dilakukan oleh Korea Utara, salah satunya pada peningkatan kemampuan nuklir dan rudal rezim Korea Selatan meresponnya dengan beberapa langkah penting. Diantaranya dengan meminta bantuan kerjasama kepada Amerika Serikat. Tepat di bulan Juli tahun 2024 Korea Selatan dan Amerika Serikat sepakat untuk menandatangani pedoman bersama dalam pencegahan nuklir untuk menghadapi ancaman nuklir Korea Utara yang terus berkembang. Sebagaimana yang dilansir oleh Associated Press, kedua pemimpin mengesahkan "Pedoman Pencegahan Nuklir dan Operasi Nuklir AS-ROK di Semenanjung Korea". Tidak hanya itu kedua negara juga membentuk badan konsultatif, Nuclear Consultatice Group -- NCG Â yang bertujuan untuk memperkuat komunikasi dengan membahas pengintegrasian senjata nuklir AS dan senjata konvensional Korea Selatan dalam situasi darurat nantinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kim Yeol Soo, ahli di Institut Urusan Militer Korea Selatan "Kuncinya adalah bagaimana mengintegrasikan senjata konvensional Korea Selatan dan senjata nuklir Amerika Serikat untuk meluncurkan pembalasan besar-besaran terhadap Korea Utara kerika mereka melakukan serangan nuklir terhadap Korea Selatan".
Seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya keberadaan nuklir Korea Utara tidak akan pernah diterima oleh masyarakat internasional. Karena itu Korea Selatan sebagai pemangku kepentingan utama dalam isu ini akan memimpin kerjasama internasional dalam menyusun strategi yang nantinya akan membuat Korea Utara tidak memiliki pilihan lain selain kembali ke jalur denuklirisasinya. Dalam rangka mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan Korea Selatan akan memberikan sanksi dan tekanan serta dialog dan diplomasi dalam mencapai tujuan tersebut.
Shin Won-sik yang merupakan penasihat keamanan nasional Korea Selatan melakukan pengadvokasian perluasan kerjasama keamanan dengan Jepang dan Amerika Serikat dengan suatu inisiatif yang mencakup informasi intelijen dan juga latihan militer seperti freedom edge, yang mencakup operasi udara, siber dan maritim. Kemitraan yang dijalin oleh Korea Selaran menjadi salah satu strategi dalam melawan ancaman dari Korea Utara, Republik Tiongkok dan juga Rusia. Langkah yang diambil oleh Shin Won-sik tidak hanya sampai disitu, ia juga menyerukan kerjasama keamanan global dengan mengikutsertakan NATO didalamnya, terlebih dengan masuknya Jerman menimbulkan perspektif dengan menyoroti semakin besarnya dukungan internasional terhadap upaya pertahanan Korea Selatan. Shin Won-sik sangat berharap dengan adanya keterlibatan NATO didalamnya dapat memperkuat legitimasi dan inisiatif Korea dalam mencapai perdamaian dan keamanan di Semenanjung Korea.
Kesimpulan
Masyarakat internasional sangat menginginkan reunifikasi antara Korea Utara dan Korea Selatan. Berbagai upaya telah dilakukan dengan adanya beberapa deklarasi. Namun, realitanya baru-baru ini ketegangan kedua negara kembali meningkat dengan dihancurkannya monument yang menjadi satu simbol harapan terhadap reunifikasi. Penghancuran monument tersebut dilakukan oleh Korea Utara. Meskipun begitu dengan berbagai respon dari dunia internasional dan kerjasama yang dijalin oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat bersama beberapa negara lainnya dapat menjadi salah satu jalan untuk menempuh dan mencapai reunifikasi dari kedua negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H