Masyarakat cenderung membuat korban terkesan menjadi penyebab pelecehan seksual itu terjadi. Hal ini biasa disebut sebagai “victim blaming”. Beberapa beralasan seperti korban memakai baju yang terbuka. Sementara itu, survei yang dilakukan oleh koalisi yang terdiri dari Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia menunjukkan korban pelecehan seksual mengenakan celana atau rok panjang (18%), hijab (17%), dan baju lengan panjang (16%). Melihat hasil survei di atas, apakah dengan memakai pakaian tertutup sekalipun bisa mencegah terjadinya pelecehan seksual?
Selain pakaian terbuka, alasan selanjutnya untuk menyudutkan korban adalah karena korban pergi sendirian di malam hari. Apa yang salah dengan pergi sendirian di malam hari apabila mempunyai alasan yang jelas misalnya bekerja? Apakah hal tersebut diatur oleh negara? Walaupun pergi dengan alasan tidak jelas sekalipun, tidak berarti perempuan menjadi halal untuk dilecehkan. Tidak hanya perempuan saja yang bisa dilecehkan. Laki-laki bisa menjadi korban pelecehan. Tetapi, di sini saya fokus saat perempuan menjadi korban pelecehan. Dari hasil survei yang sama, pelecehan terjadi pada siang hari (35%) dan (25%) saat malam hari. Jadi pergi sendirian pada malam hari tidak bisa menjadi alasan untuk victim blaming.
Setelah dianggap menjadi penyebab kasus pelecehan, korban mendapat stigma negatif. Stigma negatif yang didapat korban adalah dipandang sebagai perempuan hina dan yang lainnya. Padahal korban juga tidak ingin dilecehkan. Tidak ada satu orang pun yang ingin dilecehkan.
Saat korban ingin melaporkan kasus tersebut kepada yang berwajib, susah sekali untuk ditindaklanjuti karena biasanya korban yang melapor tidak mempunyai cukup bukti. Seperti yang bisa dibayangkan, apabila seorang perempuan dilecehkan, biasanya mengalami rasa takut, panik, dan tidak bisa berpikir jernih. Korban tidak terpikirkan untuk mengumpulkan bukti. Selain itu, korban terkadang melapor setelah beberapa bulan kejadian bahkan bertahun-tahun karena pastinya korban mengalami trauma. Untuk bisa menceritakan kronologi saja, itu cukup membuat korban ketakutan karena sama saja mengulang kejadian diputar kembali di otaknya. Karena tidak mempunyai bukti yang cukup, korban berusaha “speak up” di media sosial. Setelah kasus tersebut menyebar dengan cepat, biasanya pihak berwajib akan lebih cepat untuk menindaklanjuti kasus.
Beberapa pengguna media sosial terkadang berkomentar “kenapa tidak melawan?” atau “kenapa baru lapor sekarang?” seperti yang sudah dijelaskan di atas, korban mengalami rasa takut, panik, dan tidak bisa berpikir jernih. Masyarakat yang berkomentar seperti itu tidak memikirkan kesehatan mental korban. Tidak bisa berempati terhadap korban. Sedangkan korban akan menyimpan trauma seumur hidup.
Tidak ada satu orang pun di dunia ini pantas untuk dilecehkan. Baik laki-laki ataupun perempuan tidak ada yang ingin dilecehkan. Hanya dengan pakaian terbuka, jalan sendirian di malam hari, dan alasan lainnya tidak berarti mereka boleh dilecehkan. Saat pelecehan seksual terjadi dan ada korban yang berani mengutarakan dan melapor bahwa korban telah dilecehkan, yang pertama kali dilakukan sebaiknya mendukung korban. Pelecehan seksual dengan alasan apa pun tidak bisa dibenarkan dan itu bukan salah korban. Menyalahkan korban atau victim blaming berarti tidak menerapkan Pancasila sila ke 5 yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia karena korban diperlakukan tidak adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H