Mohon tunggu...
Siti nurchoiriyah
Siti nurchoiriyah Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Uin Maulana Malik Ibrahim Malang

Perkenalkan namaku siti nur choiriyah. Seorang ibu rumah tangga, menyukai dunia menulis dari karya ilmiah, penelitian, cerpen hingga motivasi. Bergabung di dunia ini karena ingin menebar kebaikan melalui tulisan. Yuk tambah pertemanan agar bisa saling menebar kebaikan untuk sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Topi yang Hilang

5 Desember 2023   16:36 Diperbarui: 5 Desember 2023   16:38 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

          Suara pintu kelas berwarna coklat itu terbuka keras oleh anak laki laki bertubuh pendek dan rambut ikal bertenteng tas warna biru. Semua mata memelanga melihat kedatangannya.

      Pukul 07.00 pagi suara bel sekolah berbunyi sekali, menandakan jam pelajaran akan segera dimulai. Hari itu merupakan hari pertama masuk sekolah menengah pertama. Seorang perempuan berparas cantik mengenakan jilbab warna hijau membuatnya semakin anggun. Beliau adalah Bu Marni, guru pendidikan agama di sekolah itu. 

      Langkah demi langkah kaki beliau mendekat ke arah meja guru. Beliau mulai membuka daftar nama murid di data absen kelas. Nama yang pertama muncul adalah Amir Amrulloh, anak seorang peternak ayam broiler daerah wonokerso. Ia terkenal ramah dan suka bermain Volly. Selanjutnya Muhammad Irwan, anak penjahit payung. Ia terkenal suka berbicara di kelas, kata teman sebangkuku yang kebetulan satu sekolah dasar dengannya namanya Hidayat. 

   Masuk sekolah telah sembilan puluh hari terhitung lamanya, satu sama lain semakin akrab dan mengetahui sifat satu sama lain. Dan suasana kelas semakin nyaman untuk dijadikan tempat belajar. Saat itu, terdapat pengajar baru di kelas namanya Pak Tegar, mulai pertama mengajar beliau sangat ramah,baik, suka menolong dan suka tertawa dengan anak didik. Sikapnya itu yang banyak membuat anak didik semakin dekat, bahkan beliau merupakan guru yang satu satunya teramah terhadap Wali murid setahuku. 

   Rodiyah adalah teman sekelasku yang keadaanya tak seberuntung teman temanku yang lain. Dia adalah anak yang Piatu yang dibesarkan oleh seorang bapak dalam setiap kehidupannya. Sebab sejak masuk Taman Kanak-kanak ibunya meninggal karena sakit Lambung. Miris melihat keadaannya, Pak Tegar semakin dekat dengannya karena diceritakan teman belakang bangkuku yang kerap disapa Wati. 

   Suatu ketika Rodiyah tidak masuk sekolah selama tiga hari dikarenakan sakit dan teman teman menjenguk ke rumahnya. Pak Tegar juga ikut kebetulan saat itu menjadi Guru kelas dan  Waka Kesiswaan di Sekolah. Assalamualaikum..... Lontaran suara yang keluar dari mulut kami saat tiba di rumah Rodiyah. Saat itu Rodiyah sedang istirahat dan ayah Tegar yang menyahut salam kami dengan segera membuka pintu dan mempersilahkan masuk untuk kami. Rodiyah terkejut teman-temannya dan bapak gurunya menjenguk ia di rumah. 

  Keesokan harinya Rodiyah masuk sekolah. Diperjalanan sambil mengayuh sepeda warna birunya ia bertemu dengan Amir teman sekelasnya yang juga mengayuh sepeda warna hitam. Mereka berdua bercakap-cakap disepanjang jalan menuju sekolah. 

  Sesampainya di sekolah, mereka bertemu dengan Pak Tegar dan teman teman yang lain. Dan akhirnya mereka masuk menuju kelas bersama. Tak berselang lama, Pak Tegar langsung memulai pelajaran dan materi yang disuguhkan adalah tentang sebuah mimpi. Murid murid mendengarkan dengan sangat hikmat apalagi yang menjelaskan itu adalah guru terbaik di sekolah. 90 menit sudah waktu berlalu saatnya mata pelajaran Pak Tegar berganti dengan mata pelajaran Bu Marni. Amir dan Hidayat sibuk berbicara sendiri entah apa yang dibicarakan sampai tak tersadar bahwa Bu Marni sudah duduk di ruang guru, merekapun ditegur karena tidak menjawab salam dari Bu Marni. Teman teman yang lain hanya diam tanpa mengucapkan kata apapun. Mereka hanya mendengarkan materi yang disampaikan oleh Bu Marni. Tiba-tiba Bu Marni berkata "Ajining Rogo Soko Busono, Ajining diri Soko lathi". Yang artinya Seseorang terlihat sopan dari cara berpakaiannya  dan Seseorang terlihat baik dari cara ia menjaga lisannya. Begitulah kurang lebihnya makna pepatah dalam bahasa Jawa itu. 

  Waktu menginjak hampir tiga tahun lamanya, saat menjelang ujian kelulusan ternyata Pak Tegar meninggal dikarenakan Kecelakaan menuju jalan rumah tempat tinggalnya. Rodiyah,Wati Amir,Hidayat dan teman teman sekelasnya bersama bapak ibu guru yang lain datang untuk menghadiri pemakaman beliau. Rodiyah sangat terpukul karena ia harus kehilangan seorang bapak guru yang sudah menggapnya seperti ibu sendiri untuknya. Ia menangis tak kuasa menahan linangan air mata, ia telah kehilangan ibunya dan kini harus kehilangan orang yang baik di kehidupannya. Ia benar-benar tertampar hatinya dan sedang diuji oleh pencipta-Nya. Mau tak mau ia tetap harus semangat seperti apa yang telah di pesankan kepada dirinya oleh Pak Tegar sebulan sebelum Pak Tegar meninggal. 

   Ujian sekolah telah selesai, ia masih merasa kehilangan Pak Tegar. Akan tetapi ia bisa bangkit berkat setiap semangat yang diberikan Pak Tegar kala itu. Bu Marni masih memperjuangkan nasibnya beserta teman-temannya untuk melanjutkan ke bangku Menengah Atas. Siang malam Bu Marni menghabiskan waktunya untuk mencari dan mendaftarkan murid-muridnya sekolah yang terbaik. Namun yang masuk ternyata hanya Rodiyah dan Santi. Wati tidak masuk sekolah yang dipilihkan itu dan ia diterima di sekolah beda kita. Jarak sudah terpisah. Wati satu sekolah Menengah Atas bersama Amir. Persahabatan Rodiyah tidak berlanjut dengan Amir. Karena Amir sudah menjalin asmara dengan Wati. Rodiyah menangis ia telah kehilangan topi yang sangat ia sayangi. Topi baginya adalah ibunya yang telah meninggal, Pak Tegar, dan Amir sahabatnya. Topi baginya adalah seseorang yang sangat ia sayangi yang mampu menjadi pelindung dan tempat berbagi kisah. 

    Tiga tahun terkahir, dan akhirnya sudah lulus dari Sekolah menengah Atas. Amir ternyata harus putus dengan Wati. Karena Wati telah dijodohkan dengan laki laki lain oleh ayahnya. Amir dan Hidayat tiba tiba berkunjung ke rumah Rodiyah dan berpamitan dengan ayah Rodiyah kalau ia akan merantau ke Sumatera mengikuti kesuksesan tetangganya kala itu. Rodiyah dan Amir semakin dekat dan menjalin persahabatan kembali. Rodiyah saat itu mendapatkan beasiswa pendidikan melalui Institut keagamaan dan mengambil jurusan Kimia.

    Tiba waktunya mereka harus kembali pada kehidupan nyata masing-masing. Rodiyah belajar lagi dan Amir harus bekerja ke Sumatera. Terpisah oleh jarak dan waktu. Siapa kira ternyata mereka malah semakin dekat dan keduanya masih saling berkomunikasi menggunakan telepon genggam. 

   Lima tahun lamanya, mereka tidak bersua. Amir bersepakat dengan Rodiyah bahwa persahabatan ini akan tetap ada meski keduanya tidak saling bersama. Delapan tahun sudah pertemanan mereka terhitung, Rodiyah kembali sibuk dengan aktivitas barunya, sedangkan Amir masih bekerja di Sumatera. Dret...dret...dret...suara telepon genggam Rodiyah berbunyi. Dalam dinding telepon genggam Rodiyah ada nama Amir. Amir yang menghubungi Rodiyah dan diraihnya telpon genggamnya. Setelah berbicara lama, ternyata Amir mengungkapkan rasa sayangnya ke Rodiyah. Rodiyah yang saat itu masih belum ingin menikah dan ia ingin berjuang untuk keluarganys. Rodiyah hanya berkata:"Buktikan kesuksesanmu ya, nanti kalau jodoh pasti akan bertemu. Yang namanya Cinta tak harus memiliki, tapi akan selalu dekat dengan doa" 

  Mendengar jawaban Rodiyah, Amir tak paham maksudnya itu dan ia mengira bahwa Rodiyah telah menolak cintanya, Akhirnya Amir mematikan telepon dan itu telepon terakhir Amir kepada Rodiyah Mereka sudah saling jauh dan tidak pernah berhubungan kembali. Dua tahun sejak telpon itu, Rodiyah mendengar kabar bahwa Amir sudah menikah dengan wanita lain di perantauannya. Rodiyah menangis, padahal Rodiyah berharap bahwa ia datang ke rumahnya dan menjemput Rodiyah. 

  Rodiyah kehilangan topi kesayangannya lagi. Rodiyah tetap melanjutkan kehidupannya kembali. Rodiyah masih berhubungan baik dengan teman Amir, Hidayat meskipun tidak langsung hanya melalui messenger Facebook. Ia hanya bertanya bagaimana keadaan Amir sekarang, dan tahu kabar bahwa Amir sudah menikah juga dari Hidayat. Linangan airmata Rodiyah terus mengalir tiap hari. Karena sebenarnya Rodiyah masih menginginkan Amir untuk menjadi sahabatnya, menjadi topi pelindungnya seperti dulu. Hari demi hari, jam demi jam Rodiyah masih menangis menyesali apakah topi yang telah hilang itu akan kembali? Ia selalu bertanya pada hati kecilnya, sampai kapan Amir memahami maksud perkataannya. Ia hanya ingin Amir menjadi laki-laki yang baik,dan mampu meraih mimpi-mimpinya walaupun tidak bersama. Amir telah hilang, bahkan persahabatan mereka juga benar-benar hilang bersama kenangan yang ada. Topi yang selama ini menjadi pelindungnya telah hilang bersama kisah persahabatannya. Semoga cerita ini mampu menginspirasi pembaca. Aamiin...Wallahu a'lam bisshowab........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun