Seandainya saya bisa menjelaskan betapa buruknya nasib saya, barangkali Sukindar tak bakal semurung itu. Bukankah manusia selalu bahagia mendapati nasib buruk menimpa tetangganya. Lebih-lebih jika tetangga itu lebih cakep mukanya. Maka, meskipun kesedihan saya lebih agung daripada kebesaran Gunung Kidul, sungguh saya turut prihatin atas keapesan nasib Sukindar, pujangga muda dari Gunung Kidul.
“Katanya, saat dia membaca puisi saya di kolom Koran, dia mengkhayalkan muka saya sebelas tigabelas dengan Rangga.”
Tentu, saya terkekeh hingga terkencing-kencing mendengar ucapannya barusan. Sungguh, kentutnya saja tak ada miripnya dengan Rangga. Pantas saja gebetannya itu justru kabur dan kawin dengan pemuda lain selepas prosesi, “ketemuan”.
“Tuhan tak adil, bukan? Mengapa wajah jelek diciptakan sedang nikah begitu dianjurkan. Bukankah wajah jelek selalu menghalangi niat manusia untuk berpasangan? ”
Oh Tuhan, bahkan saya tak pernah berharap semuluk itu. Saya tak mendamba menjalin rumah tangga bersama babi betina gendut yang semlohai. Saya tak menuntut Tuhan untuk menampankan wajah saya, memontokkan bokong saya, dan sebagainya. Saya hanya mengharapkan satu hal.
Tuhan, jadikanlah hamba halal bagi mereka!
Bukannya sombong, seingat saya, seumur hidup saya tak pernah berbuat dosa. Melakukan maksiat, menentang perintah agama, atau durhaka kepada orang tua. Saya bukan babi yang homo, bukan babi pemakan tai, bukan juga babi yang gemar menghujat sesama babi. Semua saya lakukan dengan satu harapan. Dengan menjadi seperti itu, saya berharap menjadi babi yang halal, yang suci dan menyucikan keluarga saya.
Saya makan makanan yang bersih, cebok sehabis buang air, dan sikat gigi setiap pagi dan sore. Saya yakin, daging saya bebas cacing atau kuman atau apapun yang membahayakan manusia. Nyatanya, saya tetap saja makhluk yang keharamannya sudah tak bisa diganggu gugat!
Manusia ribut sesama manusia gara-gara saya. Makanan menjadi sampah jika nama saya disebut. Kerudung menjadi keset jika sebagian kecil tubuh saya terseret. Bahkan, bibir-bibir cantik akan bersorak ‘najis’, jika saya tak sengaja tertangkap mata mereka.
Duh Gusti, apa salah nenek moyang saya? Mbok ya saya mohon ampun, saya kepengen jadi yang halal… Kepengen sekali!
“Bombom, bukankah Gus Dur pernah bilang bahwa isi kutang itu lebih penting dari kutangnya! Maka, itu artinya, bukankah hati lebih utama daripada fisik, bukan?”
Subhanallah, benarkah demikian? Jika itu benar menurut Tuhan, saya yakin, saya suci di mata-Nya! Biarlah saya buruk di mata manusia. Bukankah, saya tak lebih najis dari koruptor?
Juga, tak lebih hina dari penghujat?
“Hei, apakah Kau penghuni baru di hutan ini?”
“Siapa Kau? Kupikir aku satu-satunya manusia yang menghuni belantara ini. Mohon maaf jika ini daerah kekuasaanmu. Aku dibuang oleh masyarakat di desaku. Peramal bilang, jomblo buruk rupa sepertiku akan membawa nasib buruk desa jika terus dipelihara. Aku diasingkan di tempat ini!”
Ya, Sukindar dan aku adalah dua makhluk malang yang tak diinginkan manusia. Kami berdua hidup dalam pengasingan sebab kami dipandang hina. Kini, kami tak lagi berdua. Sebab nyatanya, pemuda tampan di depan kami ini mengaku telah berada di sini cukup lama.
“Perkenalkan nama saya Sayyid. Kebetulan sekali saya juga diasingkan di tempat ini. Saya diculik dan dibuang kemari. Katanya, ketampanan saya akan membawa keresahan di desa. Saya bakal menjadi sumber malapetaka bagi biduk rumah tangga orang. Saya dianggap hina karena terlalu tampan. Dan ya, setiap hari saya selalu memohon, kiranya saya dikaruniai wajah jelek saja!”
Saya menangis tergugu. Sungguh, ternyata manusia selalu pandai menemukan kehinaan!
*Penggalan cerita ini diikutkan dalam agenda Nulis Bareng Alumni Kampus Fiksi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H