Subhanallah, benarkah demikian? Jika itu benar menurut Tuhan, saya yakin, saya suci di mata-Nya! Biarlah saya buruk di mata manusia. Bukankah, saya tak lebih najis dari koruptor?
Juga, tak lebih hina dari penghujat?
“Hei, apakah Kau penghuni baru di hutan ini?”
“Siapa Kau? Kupikir aku satu-satunya manusia yang menghuni belantara ini. Mohon maaf jika ini daerah kekuasaanmu. Aku dibuang oleh masyarakat di desaku. Peramal bilang, jomblo buruk rupa sepertiku akan membawa nasib buruk desa jika terus dipelihara. Aku diasingkan di tempat ini!”
Ya, Sukindar dan aku adalah dua makhluk malang yang tak diinginkan manusia. Kami berdua hidup dalam pengasingan sebab kami dipandang hina. Kini, kami tak lagi berdua. Sebab nyatanya, pemuda tampan di depan kami ini mengaku telah berada di sini cukup lama.
“Perkenalkan nama saya Sayyid. Kebetulan sekali saya juga diasingkan di tempat ini. Saya diculik dan dibuang kemari. Katanya, ketampanan saya akan membawa keresahan di desa. Saya bakal menjadi sumber malapetaka bagi biduk rumah tangga orang. Saya dianggap hina karena terlalu tampan. Dan ya, setiap hari saya selalu memohon, kiranya saya dikaruniai wajah jelek saja!”
Saya menangis tergugu. Sungguh, ternyata manusia selalu pandai menemukan kehinaan!
*Penggalan cerita ini diikutkan dalam agenda Nulis Bareng Alumni Kampus Fiksi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H