Dulu bumi pernah sukacita. Saat hujan seakan berjuta lembing menikami tubuhnya. Menyirnakan  rasa gatal pada kulit yang kerontang oleh kemarau panjang. Saat petani mulai menanam padi di hamparan sawah yang subur basah. Dan warga kota naik ke atap dikejar banjir. Resah.
Tanah teriak merdeka. Mikroba mengeja jeratan salsa, rerumputan mengingat gerakan tango, dan dedaunan mengalun bak tarian samba. Saat petani mencabut benih. Orang kota mencubit kantong kemih.
Sawah telah dibajak calo tanah. Â Di penghujung masa panen, petani menabur gelisah. Menatap padi terakhir yang tumbuh di sela-sela beton dan rumah mewah. Tenggelam dimakan mulut-mulut serakah.
Petani menjerit sunyi menyayat hati. Hasil panen tertatih meniti. Harga pupuk membumbung tinggi. Harga gabah menukik tajam. Seperti era pandemi yang hadirkan muram.
Hujan dan kemarau, adalah cara semesta merawat keseimbangan hidup di bumi. Bila hujan dan kemarau menjadi bencana, manusia beradu telunjuk mencari jawabannya.
Pergantian musim menandai paceklik. Manusia-manusia menanti tercekik. Jawaban atas harapan berganti penantian bencana. Dan, bergantian berbela sungkawa
Kini sawah telah menjadi pelataran, ladang menjadi parkiran. Tanah merah jadi aspal, mengukir sisa tanah sejengkal. Kini petani mengais sampah kota. Tak lagi mencari bulir padi di sawah. Musnah.
Jadi, bagaimanakah membaca arti merdeka, bila desa hijau menjadi kota kelabu dan mulut-mulut orang desa hanya bisa menganga melihat kota.
Kemerdekaan kini bahkan enggan hadir di tanah petani, tanah pandemi bersemi. Kibaran merah putih itu, Â seakan gimik yang menggoda semata.
Kidung ilalang tak lagi menyapa, bak nyanyian gembala. Telah hilang tertelan oleh rupa-rupa rencana penguasa.
Mimpi-mimpi kini telah merajut takut menjadi sebuah cerita luka.