Mohon tunggu...
Siti Nurul Mutiah
Siti Nurul Mutiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

Mahasiswa Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Representasi Kelas Sosial dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer

29 Juni 2024   16:51 Diperbarui: 29 Juni 2024   17:34 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kelas sosial adalah golongan orang di kalangan masyarakat. Kelas sosial dapat menunjukkan tinggi atau rendahnya status seseorang dalam masyarakat. Umumnya, penggolongan kelas sosial dibagi menjadi dua, yaitu golongan atas dan golongan bawah. Golongan atas merupakan sebutan bagi orang yang memiliki kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan yang tinggi, sedangkan golongan bawah merupakan sebutan bagi orang yang kurang atau bahkan tidak memiliki kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahun. Perbedaan kelas sosial dapat mengakibatkan kesenjangan sosial. 

Banyak penulis yang mencerminkan kehidupan masyarakat lewat karyanya. Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer menjadi salah satu diantaranya. Novel ini sarat akan makna, termasuk representasi kelas sosial. Novel ini menggambarkan kehidupan masyarakat pesisir pantai Jawa pada masa penjajahan Belanda. 

Dalam Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ditemukan lima bentuk kelas sosial, yaitu (1) kelas sosial berdasarkan kekayaan, (2) kelas sosial berdasarkan kekuasaan, (3) kelas sosial berdasarkan kehormatan, (4) kelas sosial berdasarkan keturunan, dan (5) kelas sosial berdasarkan pendidikan. 

...Kami orang-orang miskin saja, setahun sekali saja makan nasi. Biasanya kami makan jagung... (Toer, 1987:185).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa perekonomian masyarakat di kota dan di pesisir pantai berbeda. Hal tersebut ditunjukkan oleh makanan pokok yang dimakan. Jika orang kota makanan pokoknya adalah nasi, maka makanan pokok orang pesisir pantai adalah jagung (mereka makan nasi, tetapi itu hanya setahun sekali). 

...dia bisa jadi priyayi, tidak seperti kita (Toer, 1987:221).

Dia akan jadi priyayi. Dia anakku. Dia akan tinggal di gedung. Dia akan memerintah. Ah, tidak. Aku tak Suka pada priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan. Tak ada orang mau dengarkan tangisnya. Kalau anak itu besar kelak, dia pun takkan dengarkan keluh-kesah ibunya. Dia akan perintah dan perlakukan aku seperti orang dusun, seperti abdi. Dia pelakukan aku seperti bapaknya memperlakukan aku kini dan selama ini (Toer, 1987:229).

Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki kekuasaan berbeda dengan orang biasa (tidak memiliki kekuasaan). Orang yang memiliki kekuasaan tinggal di gedung, bukan gubuk sederhana. Orang berkuasa dapat memerintah kepada kaum di bawahnya, mereka memperlakukan seenaknya dan  tidak memedulikan keluhan orang di bawahnya.

Juga Gadis Pantai sekarang tahu siapa Den-ajeng Tini. Kartini yang beberapa tahun yang lalu dalam bendi agung memasuki perbatasan kota, dan semua penduduk disuruh lurah menyambutnya sepanjang jalan, dengan bendera tiga warna kertas berkibaran di tangan coklat hitam mereka. Sekarang ia mengerti cerita bapak yang pulang dari kota beberapa tahun yang lalu, mengapa dia dan beberapa orang kawannya mesti pergi ke kota, ke alun-alun, ke kabupaten, buat menyatakan honnat pada pengantin dari Jepara itu. Itulah Den-ajeng Tini? Betapa singkat usia, tapi betapa dihormati... (Toer, 1987:54).

Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki pengaruh kuat di tengah masyarakat akan dihormati. Tidak hanya dihormati saja, namun akan dikenang oleh masyarakat.

...Ia merasa bahagia dapat memberikan seorang cucu pada bapak. Kebahagiaan itu pun akan meningkat bila emak pun tahu akan kelahiran ini. Dan juga seluruh kampung. Mereka akan bangga: seorang di antara mereka telah dilahirkan dalam gedung besar di kota, jadi keturunan Bendoro (Toer, 1987:217).

Berdasarkan kutipan di atas dapat dikatakan bahwa anak yang lahir dari orang yang memiliki keturunan bangsawan akan dipandang baik dan akan dibanggakan oleh masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan orang yang lahir dari orang yang bermasalah, seperti pejudi, pezina, pemabuk, dan pencuri yang akan dipandang rendah oleh masyarakat.

Betapa halus tangan itu: tangan seorang ahli-buku! Hanya buku yang dipegangnya, dan bila bambu tipis panjang penunjuk baris. Tidak seperti tangan bapak dan emak, yang selalu nelayan ke udara dan mendarat di salah satu bagian tubuhnya pada setiap kekeliruan yang dilakukannya. Dan tangan yang kasar itu segera meninggalkan kesakitan pada tempat-tempat tertentu pada tubuhnya, tapi hatinya tak pernah terjamah, apa lagi terusik  (Toer, 1987:33).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tangan orang kota dengan tangan orang pesisir pantai berbeda, sebab pekerjaan mereka juga berbeda. Kebanyakan orang kota memiliki tangan halus karena hanya buku yang dipegangnya, sedangkan orang pesisir pantai memiliki tangan kasar, karena pekerjaan berat yang dilakukan setiap harinya.

Selain masalah kelas sosial, dalam novel Gadis Pantai terdapat pula ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Ketidakadilan itu diwakilkan oleh tokoh Gadis Pantai yang diceritakan bahwa perempuan hanya sebagai alat, yaitu pemuas nafsu dan reproduksi (memberikan keturunan). Ketika perempuan itu tidak melahirkan anak laki-laki, maka akan dibuang dan diasingkan. Tak hanya itu, novel ini dibuat oleh Pram sebagai bentuk kritik sosial terhadap sistem kolonialisme dan feodalisme yang menindas masyarakat.

Referensi

Toer, Pramoedya Ananta. (1987). Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun