Mohon tunggu...
Puisi Pilihan

Puisi | Mungkin Belum Saatnya

1 Agustus 2018   19:55 Diperbarui: 2 Agustus 2018   05:22 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seringkali kuharus melintasi hutan jati yang tumbuh di kakimu,
Dari pagi menyapa, hingga senja menutup  mata,
Riuh anak ilalang berebut napas sabana, bersanding liukan anak sungai bercadas

Matahari tengah tegak memanggang isi alam, namun pada keangkuhannya, masih ia sudi berkaca pada mata laut juga telaga bumi,
Jalan tanah nan becek menjadi laluan para pencinta ladang, dengan telanjang dada, penuh gairah mereka gauli tanah hitam berhumus demi lahirnya sekuncup  tunas dan batang yang menghijau dari bibit unggul yang mereka semaikan dalam percintaan sejati

Lalu pada lorong-lorong yang riuh dengan pekikan para pedangang di perut pasar,
Tak ayal sering terlihat penjual berlomba sodorkan barang dagangan,
Tanpa dihiraukan nyamuk yang tingkahi wajah mereka dan lalat yang datang tanpa diundang
Aku tak sedang menghujat sudut kehidupan rakyat kecil yang kian sekarat, sedang di tubuhku tengah terjadi persaingan hidup dan mati anak-anak ilalang

Hingga pada rungu di ujung senja, masih kupilih jalan terjal bertabur duri, demi kuraih satu mimpi yang meminta petik oleh pemilik mata biru yang menantiku di persinggahan terakhir

Johor Bahru: 1 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun