Dilansir dari dukcapil.kemendagri.ac.id, Direktur Jenderal Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh menyebutkan, pada 30 Juni 2022 atau Semester I 2022 jumlah penduduk Indonesia tercatat sebanyak 275.361.267 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk dunia, dilansir dari cnbnindonesia.com populasi dunia diproyeksikan mencapai 8 miliar jiwa. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyampaikan harapan sekaligus kecemasan mereka di tonggak sejarah ini. Menurut PBB, pertumbuhan jumlah penduduk tidak pernah secepat sekarang.
Sebagai salah satu dari sekian milyar penduduk yang ada di Bumi, pernahkah kamu merasakan betapa sesaknya Bumi ini. Bumi yang 3/4 permukaannya dipenuhi air, yang kini usianya kian menua dan bertambah padat penghuninya. Sudah berapa hektar permukaan Bumi yang dirampas oleh makhluk berakal dan peradaban. Belum lagi rumah yang disinggahi, jalanan yang terus diperbarui, dan lahan sawah yang disulap jadi pabrik atau bandara demi kepentingan manusiawi.
Bolehkah kalau kusebut produksi manusia yang sedikit bermanfaat untuk lingkungan hanyalah karbondioksida (Co2) saja? Coba renungkan, berapa banyak polusi yang telah kita produksi untuk memenuhi diri dan ketahanan populasi? Selain memproduksi polusi udara dengan karbon monoksida, manusia juga gemar sekali berdonasi kantong atau sampah plastik untuk ekosistem laut. Mengutip dari Mongabay, situs berita lingkungan, bahwa sampah plastik selalu menjadi komponen terbesar dari sampah laut. Biasanya, sampah plastik adalah sampah yang mengandung senyawa polimer. Jenis dari sampah plastik mencakup polimer sintetis, termasuk jaring ikan, tali, pelampung dan perlengkapan penangkapan ikan lain.
Selain jenis di atas, jenis sampah plastik juga bisa ditemukan pada barang-barang konsumen keseharian, butir resin plastik, partikel plastik mikro, logam, gelas, kertas dan kardus, karet, pakaian dan tekstil. Sampah laut yang menumpuk, jika dibiarkan terus tanpa ada penanganan lebih lanjut maka akan menimbulkan banyak dampak negatif pada berbagai aspek. Misalnya dapat mengganggu kegiatan ekonomi dan pariwisata yang ada di laut dan pesisir, hingga dapat mengganggu kehidupan biota laut dan kesehatan manusia. Dampak lainnya, akan terjadi proses pelapukan menjadi micro dan nano plastik yang akan merusak ekosistem pesisir dan/atau dimakan oleh plankton atau ikan.
Manusia Bumi sering membicarakan prioritas sebagai kunci kesuksesan, bahkan berani-beraninya menasehati manusia lain perihal skala prioritas. Namun nyatanya prioritas sendiri saja tak sanggup ia jaga. Tentu semua akan setuju bahwa prioritas utama seluruh manusia adalah untuk bertahan hidup dan tetap hidup. Lihatlah apa yang dikatakan oleh manusia Bumi tidaklah selaras dengan tingkah lakunya. Manusia ingin menjaga dirinya dengan begitu baik menghiasi jalanan, bukit, dan beragam permukaan di Bumi dengan bungkus-bungkus sisa makanan, kain yang dibuang begitu saja dan berakhir menjadi baju untuk bahu jalan yang sudah sedikit retak. Sedikit retak karena banyak lubang-lubang yang tak kunjung diperbaiki, yang menimbulkan banyak genangan air ketika hujan, pun membahayakan pengguna jalan ketika cuaca baik-baik saja.
Bumi yang menjadi tempat numpang seluruh manusia tak butuh dikasihani penduduknya sendiri. Kalau kita tak peduli, sebenarnya kita bukan tak peduli dengan lingkungan tapi kita yang tak peduli dengan diri sendiri. Bumi tak membutuhkan kita untuk terus asri. Sudah merusak, sombong, tidak tahu diri pula. Hidup hanya numpang tapi egois tak menjaga. Sebetulnya upaya-upaya yang digencarkan untuk menjaga bumi hanyalah permainan kata-kata untuk bertahan di bumi lebih lama. Namun, sampai saat ini masih banyak manusia yang membahayakan diri. Bermain api dengan tangan sendiri.
Sekarang, semuanya terserahlah. Semoga selamat yang berusaha menjaga dan melindungi. Semoga segera turun hidayah bagi manusia-manusia dengan sikap sok kebaikannya. Sok kebaikan menghiasi bumi dengan limbah warna-warni padahal hanya akan membahayakan diri. Satu quote yang pernah saya baca dari sebuah website, "Untuk sebagian besar sejarah, manusia harus melawan alam untuk bertahan hidup;Â di abad ini dia mulai menyadari bahwa, untuk bertahan hidup, dia harus melindunginya" -- Jacques-Yves Cousteau.
Nisa Fatin Afifah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H