Mohon tunggu...
Siti Mugi Rahayu
Siti Mugi Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru yang tertarik pada pendidikan yang humanis.

Mengajar di SMA Al Muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Jembatan, Meruntuhkan Tembok: Irfan Amalee

6 April 2012   08:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:58 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia patut berbangga punya anak muda yang sudah menelurkan sebuah kurikulum untuk perdamaian. Tidak tanggung-tanggung, kurikulum tersebut dipakai juga di luar negeri, Anak muda tersebut adalah Irfan Amalee. Pemuda asal Bandung yang pada satu kesempatan saya pernah mengikuti sesi sharingnya di Pesantren Al Ittifaq, Bandung atas undangan British Council dalam acara Social Entrepreuneur di tahun 2010. Pemenang International Young Creative Entrepreuneur (IYCE) Communication Award 2009 ini adalah sosok pemuda penuh bakat. Pada saat itu Irfan adalah redaktur Mizan, penulis, movie maker, juga instruktur perdamaian yang peduli pada pola pengasuhan dan perkembangan remaja. Irfan yakin benar bahwa perdamaian adalah cara membangun peradaban yang lebih baik. Irfan juga percaya bahwa kita harus membangun jembatan perdamaian dan merobohkan tembok-tembok kekerasan, sebagaimana pidatonya dalam Penerimaan Award for Multiculturalism dari Universitas Atmajaya Yogyakarta. Awal Mula Datangnya Ide Damai Adalah seorang Amerika yang tertarik pada sosok Irfan Amalee yang memang kerap sangat kritis kalau sudah bicara tentang Amerika dan kebijakan-kebijakannya yang debatable. Orang tersebut bernama Erick Lincon, seorang native speaker di Mizan, perusahaan tempat Irfan bekerja. Erick penarasan benar, mangapa Irfan Amalee kerap garang menyikapi Amerika. Diskusipun menjadi sering dilakukan antara Erick dan Irfan, terutama tentang Amerika, pandangan negative muslim dan non muslim, Barat-Islam, dan perilaku kekerasan yang diminati remaja masa kini. Sampai akhirnya diskusi panjang berujung pada sebuah ide untuk menyatukan berbagai perbedaan-perbedaan tersebut dan mewujudkannya dalam sebuah kurikulum damai. Diawali dari Modul, Berkembang Go Internasional Pengejawantahan kurikulum tersebut diwujudkan duo Irfan dan Erick dalam sebuah modul yang diharapkan dapat menjadi panduan siswa di sekolah-sekolah yang menggunakannya. Modulnya menarik. Terdiri dari dua format, modul untuk guru dan siswa. Masing-masing sisi menekankan perbedaan prosedur yang dilakukan. Guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai pebelajar. Modul pendidikan perdamaian ini berisi 12 nilai perdamaian, yaitu :

1.Menerima diri (proud to be me)

2.Prasangka (no suspicion no prejudice)

3.Perbedaan etnis (different culture but still friends)

4.Perbedaan agama (different faiths but not enemies)

5.Perbedaan jenis kelamin (male and female both are human)

6.Perbedaan status ekonomi (rich but not pround, poor but not embarrassed)

7.Perbedaan kelompok atau geng (gentlemen don’t need to be gangsters)

8.Keanekaragaman (the beauty of diversity)

9.Konflik (conflict can help you grow)

10.Menolak kekerasan (use your brain not your brawn)

11.Mengakui kesalahan (not too proud to admit mistakes)

12.Memberi maaf (don’t be stingy when forgiving others)

Ketika Anda membaca modulnya di sana terdapat beberapa panduan penerapan keduabelas nilai perdamaian dalam keseharian siswa. Dalam penyebaran virus damai, Irfan dibantu oleh para aktivis perdamaian dari berbagai daerah, yang kemudian membentuk komunitas Peace Generation Indonesia. Jumlahnya sudah mencapai puluhan ribu orang. [caption id="attachment_173106" align="aligncenter" width="300" caption="Irfan Amalee dan Modul Perdamaian : http://indonesiaamericap2p.wordpress.com"][/caption] Kurikulum damai ini dicobaterapkan dengan mengenyampingkan perbedaan-perbedaan seperti ras, suku, agama, atau status social. Kadang-kadang orang-orang yang berbeda-beda latar belakang ini dipertemukan dalam berbagai acara, seperti Kick the Hate yaitu turnamen futsal antar Peace Generation dari beberapa kota. Begitulah bagaimana PeaceGen membangun jembatan-jembatan kecil di berbagai bidang. Contoh lain, mereka juga menyatukan sekolah-sekolah yang berbeda untuk melakukan aktivitas menanam pohon bersama di lahan-lahan tandus dalam sebuah acara Plant the Peace. Taste the Peace adalah festival makanan dari berbagai budaya. Talk the Peace menghadirkan pembicara-pembicara inspiratif yang akan membagikan pengalaman mereka dalam aktivitas perdamaian. Read the Peace sebuah ajang mengapresiasi karya karya tulis yang mengangkat tema-tema perdamaian. [caption id="attachment_173107" align="aligncenter" width="300" caption="Sebuah kegiatan yang diadakan PeaceGen"]

1333700755652434952
1333700755652434952
[/caption] [caption id="attachment_173105" align="aligncenter" width="614" caption="Saat menerima Award di Atmajaya"]
13337003601183363926
13337003601183363926
[/caption] Tekad kuat yang menemani kerja keras yang dilakukan Peace Generation ini menarik banyak pihak untuk menggunakannya. Bahkan tidak hanya dipakai di daerah-daerah konflik seperti Aceh, Kalimantan dan Sulawesi, sekarang mulai merambah ke Negara-negara lain. Modul ini sudah dicetak dalam Bahasa Inggris, dan Urdu (Pakistan). Beberapa Negara Eropa seperti Budapest, Hungaria, Filifina, dan Pakistanpun mulai tertarik mengadopsi peace curriculum ini. Menuju Social Entrepreuneur Selain menyebarluaskan virus damai, Peace Generation kemudian berupaya agar para aktivis dan komunitas ini bisa menjadikan setiap kegiatan yang diadakan berujung pada kemandirian. Kemandirian ini diupayakan berkembang dalam wujud entrepreuneurship. Irfan percaya bahwa berbagai acara Peace Generation jika dikelola secara professional akan berbuah manis dan bermanfaat banyak. Dari The Peace Generation Project yang diawalinya tahun 2007, ia kini memimpin sendiri kelompok kecil di Mizan Pelangi yang membuat modul pelatihan perdamaian. Program ini mencakup pelatihan untuk pelatih, guru, dan fasilitator komunitas dari dalam dan luar negeri. Mereka kemudian melatih ratusan orang untuk dapat mendistribusikan modul-modul yang dibuat dari rumah ke rumah dan mempromosikannya ke berbagai sekolah terutama di daerah-daerah konflik. Irfan sudah berhasil membangun jaringan berjumlah puluhan ribu pelajar agen perdamaian di seluruh Indonesia. Mereka kemudian membangun wirausaha komunitas seperti toko buku, pusat pelatihan dan klub buku yang tiap bulannya bisa beromzet puluhan juta rupiah. Impian Irfan tidak terlalu muluk, ia ingin melahirkan 100.000 anak muda di Indonesia yang menjadi komunitas penggerak perdamaian.  Itulah sebabnya Irfan Amalee menjadi Pemenangdalam International Young Creative Entrepreuneur (IYCE) Communication Award 2009. indonesiaamericap2p.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun