Mohon tunggu...
siti maryamah
siti maryamah Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu rumah tangga yang tengah menggapai mimpi jadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Gerdema: yang Visioner, Merakyat dan Membumi

25 November 2014   13:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:55 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14168716752026878484

Judul Buku : Revolusi dari Desa , Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya pada Rakyat

Penulis : Dr. Yansen, TP., M.Si

Penerbit : Elex Media Komputindo

Tahun Terbit : 2013

Tebal Buku : xxv + 180 hal

ISBN               : 978-602-02-5099-1



Visioner, merakyat dan membumi, adalah tiga kualitas yang jika terkumpul dalam diri seorang pemimpin maka akan terbentuk sebuah kepemimpinan yang ideal. Tiga kualitas itu ada dalam diri Dr Yansen TP, Msi, seorang ilmuwan, birokrat karir, dan politisi yang menjadi bupati di Malinau, Kalimantan Utara. Beliau berpikir jauh ke depan, dengan tetap berpijak di bawah, merangkul masyarakatdesa untuk membumikan GERDEMA, Gerakan Desa Membangun. Lebih lengkap lagi karena beliau membukukan pemikiran dan pengalamannya itu dalam sebuah buku.

Seorang konseptor umumnya lemah dalam detail. Seorang intelektual, biasanya kurang cakap dalam eksekusi program, dan seorang birokrat seringkali berjarak dengan rakyat. Ketiga kelemahan itu, tak nampak dalam buku ini. Dr Yansen adalah seorang konseptor yang paham detil lapangan, seorang intelektual yang piawai mengeksekusi program, sekaligus juga seorang birokrat yang dekat dengan rakyat. Terbukti dengan visinya yang tajam, Dr Yansen meluncurkan GERDEMA sebagai platform pembangunan kabupaten yang dipimpinnya. GERDEMA ini didasari oleh filosofi yang sangat mulia yaitu percaya sepenuhnya pada rakyat. Gerakan ini mencerminkan perubahan paradigma dan pola pikir yang revolutif dari pendekatan instruktif teknokratis top down, menjadi partisipatif merakyat, bottom up.Esensi gerakan ini adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dr Yansen bahkan berani merekomendasikan pada pemerintah untuk memberikan otonomi penuh pada desa (hal 52), hal mana belum diatur dalam UU Desa yang baru, UU No 6 tahun 2014.

Secara lengkap, buku ini mendokumentasikan pengalaman kepemimpinannya di Malinau, mulai dari kegelisahan tentang konsep pembangunan yang salah arah, perubahan paradigma yang beliau tawarkan, lalu teknik merancang pembangunan yang menggabungkan pendekatan teknokratis dan kerakyatan, dilanjutkan dengan paparan detail tentang GERDEMA, lengkap dengan mekanisme evaluasi dan indikator-indikator keberhasilannya serta gambaran Maliau sebelum dan sesudah GERDEMA. Dengan detail yang menakjubkan dan argumentatif, buku ini layak menjadi referensi para kepala daerah yang ingin sungguh-sungguh memajukan daerahnya.

Buku ini dibuka dengan testimoni dari berbagai kalangan terhadap keberhasilan GERDEMA. Hal ini cukup memancing keingintahuan pembaca untuk membuka bab-bab selanjutnya, karena penasaran.

Bab awal buku ini menggebrak dengan sejumlah pengakuan publik yang mengejutkan tentang kesalahan konsep dan strategi pembangunan yang dijalankan pemerintah selama ini. Kritik yang sama, akan terasa biasa jika datang dari kalangan LSM, oposisi atau akademisi murni. Tetapi menjadi berbeda jika pengakuan tentang berbagai kekeliruan dalam konsep dan implementasi pembangunan itu keluar dari kalangan internal pemerintahan, seorang birokrat karir yang selama ini menjadi eksekutor bagi program-program pemerintah.

Simaklah beberapa di antaranya :

-Yang sering terjadi (dalam pembangunan itu) justru adalah munculnya persoalan baru, akibat dari kebijakan yang kurang konsisten dan tidak berkelanjutan. (hal 3) Ini pengakuan yang jujur, dan karena datangnya dari kalangan pemerintah, pengakuan ini terasa reflektif.

-Katanya, kehadiran industri besar akan berpengaruh besar terhadap perekonomian rakyat sekitar. Faktanya, tidak selalu demikian. Kondisi yang kita saksikan justru sangat mengherankan dan memprihatinkan. Kondisi masyarakat sekitar tetap terpuruk, yang lemah kian lemah, dan yang kaya makin kaya dan kuat. (hal 3) Ini potret nyata. Begitulah adanya.

-Langkah besar yang ditempuh (untuk menanggulangi kemiskinan) seringkali menimbulkan kesan sebagai langkah politis. Pemerintah menjalankan tindakan preventif,persuasifnamun temporer dengan tujuan menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat.(hal 4) Pengungkapan ini terasa hati-hati, tapi tetap menggebrak dengan kejujuran yang reflektif. Kebijakan pemerintah terhadap kemisikinan, seperti BLSM dan subsidi, memang terasa sebagai kebijakan yang temporer, tak mendasar dan hanya sesaat meredam gejolak.

-Saya melihat, banyak sekali kebijakan yang keliru bahkan tidak masuk akal. Banyak sekali kebijakan yang tidak jelas dan tidak diperlukan, karena sangat jauh dari esensi persoalan yang dihadapi. (hal 5). Satu kata, wow! Ini refleksi luar biasa.

-Pemerintahan sejak kemerdekaan sampai saat ini hanya sukses menjalankan dan menghidupkan birokrasi pemerintahan saja. Mereka silih berganti menjalankan strategi yang sebetulnya sama saja. Ibarat barang dangan yang hanya berganti kemasan. (box, hal 7) Kritik yang terasa pedas, tetapi karena datangnya dari dalam, menjadi otokritik yang jujur dan reflektif.

-Opini baik dari BPK dalam hal pengelolaan keuangan daerah, tidak serta mertamenunjukkan pencapaian pembangunan yang baik. Banyak sekali daerah, termasuk Malinau sebelum menjalankan GERDEMA, yang mendapat opini baik, tapi hasil pembangunannya belum memadai. (hal 59) Ini adalah pengakuan bahwa seringkali, indikator administrasi belakang meja lain sekali dengan keadaan lapangan yang sebenarnya. Mungkin BPK perlu mereformasi indikator kesehatan laporan keuangan daerah, agar laporan itu juga bisa merepresentasikan keberhasilan daerah dalam pembangunan secara keseluruhan. Ini refleksi yang matang dari birokrat berpengalaman.

Beberapa kutipan di atas kiranya cukup menggambarkan kapasitas Dr Yansen TP sebagai ilmuwan, dan itikad baiknya sebagai seorang kepala daerah, untuk segera berbenah. Dengan gugatan reflektif terhadap pembangunan, buku ini meletakkan dasar logis dan empiris bagi perubahan paradigma pembangunan yang dipilih untuk Malinau. Cerdas dan membumi!

Bab-bab selanjutnya secara terinci menjabarkan aspek teknis dari GERDEMA. Pemaparan itu menunjukkan gabungan dari pendekatan logis, empiris, teknokratis dan evaluatif dalam merumuskan konsep dan mengimplementasikan program. Detailnya pemaparan, mencerminkan pemahaman yang komprehensif terhadap berbagai aspek dalam pembangunan masyarakat.

Pilihan untuk memprioritaskan pembangunan pada infrastruktur untuk membuka isolasi wilayah adalah pilihan yang tepat, karena infrastuktur yang baik akan memiliki daya dongkrak pada aspek-aspek lainnya. Lantas pembangunan SDM dengan fokus ke aspek kesehatan dengan membangun rumah sakit yang memadai juga pilihan yang bijaksana karena apapun pencapaian hidup, tanpa kesehatan, menjadi tak berarti. Kebijaksanaan yang serupa juga nampak pada keputusan untuk memulai GERDEMA dengan membangun sikap mental aparat pemerintahnya. Membangun pola pikir (mind-set), attitude, dan kultur kerja aparat sebagai pelayan masyarakat adalah keharusan bagi daerah yang ingin giat membangun.

Konsep kembali ke desa sendiri, bukan hal yang sama sekali baru. Jawa Tengah era Bibit Waluyo (2008-2013) telah melakukan hal yang sama dengan jargon Bali Besa mBangun Desa (BDBD). Kabupaten Cilacap, era Probo Yulastoro dan Tatto Suwarto (2008-2013) juga menggunakan konsep serupa dengan slogan Bangga mBangun Desa (BBD). Tetapi kedua wilayah itu -Prov Jateng dan Kab Cilacap- tidak merekam konsep dan implementasi program menjadi dokumen publik yang mudah diakses siapa saja, sebuah buku. Publik tidak tahu, apa landasan konseptual, teknis operasional, pengalaman implementasi dan indikator capaian pada kedua program itu. Sayang sekali.

Perbedaan itu secara nyata menunjukkan kapasitas Dr Yansen TP, sebagai intelektual yang politisi, akademisi yang birokrat, yang bersedia terus belajar dan membagikan pengalaman berharganya kepada publik. Mengingat pengalaman lapangan yang dirintisnya dari bawah, sebagai staf, lalu camat di beberapa tempat, Sekda dan akhirnya bupati Malinau, maka tak diragukan lagi, buku yang merupakan hasil kajian doktoral ini layak jadi referensi siapapun yang ingin membangun daerah dengan sungguh-sungguh. Beliau memimpin Malinau (2011-2016), sebuah kabupaten di provinsi pemekaran, Kalimantan Utara, yang berhasil menjadi satu-satunya kabupaten di Kalimantan yang meraih penghargaan Kemenkeu RI dalam bidang keuangan dan ekonomi. Luar biasa!

Kelemahan buku ini adalah bahasanya yang sangat formal dan gaya tutur yang terkesan birokratis. Gaya tutur semacam ini menjadikan buku ini bacaan yang kurang populer bagi masyarakat kebanyakan, sehingga bisa ditebak, pembaca buku ini hanya kalangan dan segmen tertentu. Kemudian, dalam menggambarkan keadaan Malinau sebelum dan sesudah GERDEMA, gaya pelaporannya terkesan sudah olahan belakang meja. Tak ada sentuhan on the spot, yang membuat potret Malinau tergambar nyata di benak pembaca.

Meski begitu, karena detilnya yang kaya dan lengkap, buku ini sangat layak jadi referensi kepala daerah manapun yang ingin mereplikasi keberhasilan Malinau di bawah kepemimpinan Dr Yansen, dalam membangun daerahnya. Jika semua yang ditulis dalam buku ini benar adanya, sungguh berbahagialah Malinau! Salut! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun