Seperti inilah aku melihatmu. Menatap mesra gambarmu dengan kedua bola mataku. Sayup-sayup mataku enggan terpejam mengingat "kau" tumpuk rindu, yang kian beradu.Â
Aku masih ingat dengan betul. Ketika jingga menghias langit sore itu. Dengan jelas kau tawarkan dunia untuk kita bangun surga didalamnya dan kita akan tinggal bersama untuk menjadi baik bersama.Â
Sesekali dingin dan kabut datang menyelelimuti. kau selalu siap seduhkan kopi untuk ku nikmati.Â
Katamu pahitnya hidup laksana kopi, yang akan tetap ter nikmati. Seperti hidup yang tak selamanya manis, tapi akan kuat terlewati jika kita hadapi bersama.
Pagi itu dan pagi-pagi yang telah berlalu. Kau ajak aku menembus cakrawala, menghias langit, lalu mengajakku menari-nari menikmati hujan dan terik yang silih berganti.Â
Kau ajak aku berlarian, bernyanyi dan menyaksikan deburan ombak yang saling berkerjaran.Â
Lalu kau menghilang. Bersama gulungan ombak itu.Â
Katamu aku harus menunggumu disini, dan kau akan datang dengan segala kecintaanmu padaku.
Hari-hari berlalu dan aku tidak menemuimu. Bahkan hingga ku saksikan ribuan daun berjatuhan, dan para petani berbondong-bondong menanam, memanen dan mengganti tanaman padinya dengan jagung hingga puluhan kali.
Tapi tetap saja, hingga hari ini tak kutemuimu kau datang padaku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H