Kerja digital dan co-working space seolah dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Gelombang pekerjaan yang bisa diselesaikan di mana saja mulai merebak sejak pandemi Covid-19 melanda.Â
Pembatasan mobilitas guna mencegah kerumunan membuat pekerjaan tertentu semakin fleksibel dilakukan di mana pun dan kapan pun.Â
Tiga tahun berselang, masyarakat mulai beraktivitas seperti biasa. Memenuhi gedung perkantoran. Hilir-mudik di jalanan. Keluar-masuk coffee shop sambil menenteng setumpuk tugas tambahan.Â
Ada yang berbeda dengan cara kerja masyarakat digital produk pandemi. Kini, mobilitas tetap ramai seperti semula. Namun, keramaian yang tercipta di tempat ngopi, yang mulanya dipenuhi candaan sepulang kerja--beralih fungsi sebagai rapat di luar kantor.Â
Dua hingga lima laptop berbaris di atas satu meja panjang dengan tumpukan kertas, alat tulis, dan ponsel yang diletakkan secara acak.Â
Sebagian besar pengunjung coffee shop larut dalam layar monitor dengan gerakan tangan aktif mengetik atau menggeser pointer mouse.Â
Pemandangan yang lazim pada suatu sore di Ibukota. Anak muda yang biasanya bercengkrama soal lelahnya hidup di seperempat baya, kini khusyuk dengan gawai di tangan.Â
Segelas kopi yang diminum bergantian seolah tidak menjadi penghalang bagi mereka mendapat akses WiFi gratis dengan fasilitas yang nyaman. Kehidupan pasca pandemi menuntut upaya perubahan yang besar--yang dapat diamati dari revolusi cara kerja digital.Â
Sebagai penikmat mode "kerja di mana saja", saya pernah bertanya pada rekan yang saya temui di suatu cafe. Kira-kira begini isi percakapannya.Â