Dalam menjalankan gerakan sosial ini, Kak Tata menghadapi kesulitan dalam mengenalkan pendidikan seksual terhadap masyarakat, karena banyak dari masyarakat kita masih menganggap pembicaraan seputar seks adalah hal tabu. Sedangkan, memasuki usia pubertas, para remaja--khususnya perempuan mengalami kebimbangan dalam menyikapi perubahan secara fisik. Saat para remaja yang sedang mengalami masa pubertas membutuhkan informasi seputar pendidikan seksual, pandangan subjektif dari masyarakat menyebabkan minimnya pengetahuan seks bagi remaja.
Dampak dari hal ini akan tampak seperti puncak gunung es, dimana masyarakat menyebarkan sejumlah mitos seputar reproduksi agar anak-anak remaja terlindung dari perilaku asusila. Faktanya, yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Akibat dari minimnya pembahasan terkait pendidikan seksual yang tepat, para remaja perempuan rentan mengalami gangguan kesehatan mental dan psikologis sebagai dampak dari stigma yang sudah terbangun selama ini.
Sebagai contoh, terdapat kasus pelecehan seksual yang dialami remaja perempuan. Keterbatasan akses untuk mendapat penanganan psikolog secara intensif dan minimnya pola pemahaman orang tua terkait kasus seksualitas, sehingga menganggap remaja perempuan itu mengalami gangguan kejiwaan. Pada tahap ini, isu kesehatan reproduksi dan kesehatan mental saling berhubungan, karena berdampak pada kesehatan fisik dan psikis sang anak.
Program Bacarita Kespro adalah upaya inisiatif yang dilakukan Tenggara Youth Community guna mengenalkan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif pada anak-anak dan remaja. Sasaran dari program ini adalah para remaja dari kelompok miskin, marjinal, dan terasing secara sosial. Pembelajaran kesehatan reproduksi disampaikan dengan pendekatan yang inovatif seperti mendongeng, permainan edukasi, dan penggunaan alat peraga.
Pada praktiknya, Kak Tata mengarahkan program Bacarita Kespro sebagai media komunikasi dua arah--dimana melibatkan peran orang tua, guru, dan anak-anak remaja. Berkaca dari kasus banyaknya anak yang putus sekolah karena kehamilan di luar pernikahan, sehingga dikeluarkan dari sekolah. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya pemahaman orang tua mengenai hak dan kebutuhan anak-anak yang mulai mengalami masa pubertas.
Kak Tata juga menambahkan, bahwa para remaja penyintas kasus kekerasan dan pelecehan seksual seringkali tidak memiliki wadah untuk bercerita. Mereka memendam trauma dan luka itu sendirian karena tidak sanggup menerima stereotip yang buruk dari masyarakat. Ketika kasus kehamilan di luar nikah terjadi pada remaja perempuan, sekolah yang seharusnya dapat berperan sebagai wadah yang mengedukasi dan melindungi, justru mengeluarkan pelajar tersebut dari sekolah.
Kasus lain yang rentan dialami para remaja perempuan di Nusa Tenggara Timur adalah kasus aborsi. Kak Tata menjelaskan, praktik aborsi dilakukan semata agar terbebas dari stigma buruk yang diberikan orang-orang sekitar. Sehingga, Kak Tata melihat tingginya urgensi terkait edukasi kesehatan reproduksi bagi anak-anak remaja, sekaligus menyediakan ruang bagi mereka untuk membahas topik yang selama ini dianggap tabu oleh orang-orang terdekatnya.
Dampak dari kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang tidak ditangani dengan serius, dapat meningkatkan gangguan psikis pada anak-anak remaja. Dalam pergaulan sosial, mereka rentan mengalami perundungan (bullying), body shaming, dan juga ancaman. Akibatnya, para penyintas yang masih berusia belasan tahun ini harus mengalami depresi yang ditandai dengan kecemasan berlebih dan gangguan makan (anorexia ataupun bulimia).
Tantangan yang selama ini dihadapi Kak Tata dan Tenggara Youth Community dalam upaya menghadirkan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif adalah kekeliruan pola pikir masyarakat terkait kesehatan seksual dan mental yang sudah mengakar menjadi budaya. Masyarakat masih menggunakan larangan sebagai bentuk upaya perlindungan anak-anak remaja supaya terhindar dari risiko pergaulan. Padahal di usia pubertas, para remaja memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Sehingga pola pendidikan yang efektif adalah memberikan pemahaman yang sesuai dan tidak berbentuk paksaan (koersif).
Menyikapi akan hal ini, pendekatan yang dilakukan Tenggara Youth Community dalam mewujudkan "safe space" bagi para remaja, dijalankan melalui konteks lokal (gereja). Dalam hal ini, dibutuhkan keterlibatan dan peranan dari orang tua, tokoh agama, dan kepala daerah setempat guna menyampaikan pembahasan seputar kesehatan reproduksi dan kesehatan mental pada anak-anak dan remaja.