Hari ibu diperingati setiap setahun sekali, bukan berarti kita menyayangi ibu di satu hari saja. Namun, peringatan hari ibu dimaksudkan agar kita senantiasa mengingat perjuangan seorang perempuan menjadi ibu.Â
Begitu pula dengan Ibu Karwati, seorang ibu yang berprofesi sebagai guru di sekolah dasar negeri. Hari ini, seharusnya ia mendapat perlakuan khusus dari anak-anak dan suaminya untuk bersantai sepanjang hari.Â
Namun, besarnya tuntutan hidup membuat Bu Karwati harus berangkat di pagi buta dan menyambut anak-anak didiknya di sekolah dengan wajah sumringah. Bu Karwati tidak mengeluh. Baginya, mengajar bukan sekadar profesi walaupun honornya belum sepadan.
Mengajar adalah tentang membentuk karakter, dan mengarahkan kecerdasan anak-anaknya di sekolah. Sudah 5 tahun Bu Karwati menjadi pengajar dengan gaji honorer. Uang bukan masalah baginya, meskipun si bungsu terpaksa diboyong ke dalam kelas, karena kakak-kakaknya juga harus bersekolah.Â
Sekalipun hidup dengan amat sederhana, Bu Karwati tidak pernah membebankan siswanya untuk memberikan tip tambahan, ketika ia harus menambah jam mengajar. Beberapa guru lain di sekolah dengan terbuka mengajak anak didiknya untuk mendaftar di kelas tambahan, tentunya disertai tambahan biaya pula.
Tetapi, bagi Bu Karwati, pendidikan tidak dapat ditukar dengan nominal. Keberhasilan anak didiknya dalam memahami materi pelajaran adalah anugerah baginya, sehingga seringkali ia menolak pemberian dari orangtua siswa yang berupa uang.Â
Karena kegigihannya dalam mencerdaskan anak bangsa, tak jarang beliau harus pulang ketika hari sudah petang. Biasanya, si bungsu sudah tertidur dalam ayunannya sehingga ia harus menyisakan sedikit tenaga untuk membawa si bungsu selamat sampai di rumah.Â
Lelah dan letih mungkin sudah tak lagi dirasakan oleh Bu Karwati. Menjelang usianya yang ke-40, ia sudah lupa caranya merawat diri. Terkadang, beliau iri melihat anak gadisnya sudah pandai menata riasan di wajahnya. Teringat saat masih gadis dulu, ia abai untuk mempercantik diri karena berasal dari keluarga yang serba kekurangan.Â
Meskipun keriput tampak jelas di wajahnya, suami Bu Karwati selalu memuji penampilan dirinya. Pernah sekali, suaminya yang bekerja serabutan di pasar--pulang dengan membawa hadiah untuk Bu Karwati. Hadiah itu berisi bedak dan lipstik untuk mendukung performanya saat mengajar.Â
Bu Karwati senang dengan pemberian itu, walaupun bedak itu sudah habis setahun yang lalu. Ia tidak meminta suaminya untuk membelikan bedak baru, karena sadar akan kebutuhan si bungsu yang harus diprioritaskan. Beliau mengalah, demi pertumbuhan dan perkembangan si bungsu yang optimal.Â