Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis buku A Good Change: sebuah penerapan filosofi Kaizen bagi yang sedang berada di titik terendah. Menulis seputar Self-Improvement, Growth Mindset, dan Tips Penunjang Karir. Yuk berkawan di IG dan TT @sitikus.nl ✨ Salam Bertumbuh 🌻🔥

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pikiranmu Dapat Membunuhmu

26 Oktober 2022   08:24 Diperbarui: 26 Oktober 2022   08:48 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kecemasan Berlebih (cnnindonesia.com)

Kesehatan jiwa merupakan topik yang saat ini menjadi wacana umum di kalangan masyarakat. Dinamika kehidupan yang tidak hanya seputar memenuhi kebutuhan fisik, rohani, dan biologis, menuntut manusia untuk dapat mengelola pikiran mereka. Kesehatan jiwa dapat ditandai dengan pikiran yang sehat.

Pikiran yang sehat dapat mengelola emosi dan menghadapi permasalahan dengan baik dan menghasilkan keputusan yang tidak gegabah. Pikiran yang sehat penting untuk diupayakan, tidak hanya sehat secara jasmani dan rohani. 

Saya akan membagikan pengalaman dalam menghadapi kecemasan, sebagai bentuk gangguan dari pikiran yang tidak dikelola dengan baik. 

Kemarin (Selasa, 25 Oktober 2022) adalah hari dimana saya mengalami gangguan kecemasan. Rasa cemas yang ditimbulkan merupakan akumulasi dari beberapa pikiran yang belum dapat saya selesaikan di hari kemarin. 

Saya cemas karena pasangan saya harus berpergian ke luar kota untuk mengurus sesuatu yang penting. Biasanya saya selalu ikut kemanapun dia pergi, karena kita terbiasa untuk menyelesaikan sesuatu secara bersama. Ketidakhadiran saya pada saat itu membuat saya cemas sehingga timbul pikiran-pikiran yang kurang mengenakkan. 

Akibatnya, saya menjadi tidak fokus menyelesaikan pekerjaan saya sendiri karena pikiran saya terporsir untuk memikirkan pasangan saya. Hal itu akhirnya menjadi gangguan di benak saya sendiri, sehingga ketika aplikasi chatting berlogo hijau mendadak down atau error, saya menjadi semakin panik. 

Saya tidak dapat menghubungi pasangan saya melalui aplikasi tersebut, ditambah langit mulai mendung, seperti akan terjadi hujan lebat. Tentu saja pasangan saya membawa mantel atau jas hujan, tetapi kenyataan itu tidak dapat meredakan kecemasan saya akan eksistensi dia di luar sana. 

Saya yang keburu panik segera mematikan ponsel dengan harapan akan segera muncul sinyal (awalnya saya tidak tahu aplikasi tersebut yang bermasalah, bukan jaringannya). Masalah baru pun muncul, setelah ponsel saya matikan (reboot), mendadak ponsel tersebut tidak menyala lagi. 

Saya segera memencet tombol power dengan kepanikan yang luar biasa. Pertama, saya makin tidak dapat menghubungi pasangan saya. Kedua, ponsel saya tidak bisa menyala lagi. Dampak dari kecemasan yang saya alami adalah penyesalan. 

"Yah, kok tadi malah matiin HP?"

"Seharusnya saya bisa DM/inbox pasangan saya. Atau langsung menelepon nomornya seperti biasa saat saya butuh kuota."

Akhirnya timbul penyesalan dan pengandaian, seandainya tindakan saya bukan mematikan ponsel. 

***

Tidak lama pasangan saya tiba di rumah, baik-baik saja. Kemudian saya menceritakan apa yang baru saja terjadi. Produk dari kecemasan saya, justru menghasilkan tindakan yang keliru dalam mengatasi masalah. 

Pasangan saya memahami kondisi tersebut dan segera merangkul saya. 

"Aku gak apa-apa. Kamu hanya terlalu cemas."

"Seharusnya aku tidak bertindak begitu tadi.."

"Mau gimana lagi? Kamu sedang dikuasai oleh pikiranmu, sehingga tidak dapat berpikir dengan jernih."

Saya tertegun. Apa yang disampaikan pasangan saya adalah benar adanya. Pikiran saya terpacu untuk mengkhawatirkan kondisi pasangan di luar sana--yang sebetulnya baik-baik saja. Kepanikan saya yang justru menambah masalah baru, yaitu matinya ponsel saya. 

Setelah saya agak tenang dan mampu menata kembali pikiran, kami pun berdiskusi. 

"Kecemasan itu muncul karena ilusi yang dibentuk oleh pikiran." Pasangan saya memulai pembicaraan.

"Dari awal kamu sudah tahu bahwa kita tidak pergi bersama, seperti biasanya. Pikiran itu yang akhirnya terakumulasi, dan puncak dari kecemasanmu adalah tindakan yang sembrono."

Saya mengangguk. Tindakan mematikan ponsel sungguh di luar nalar, seandainya saya bisa mengulang waktu dan berpikir lebih rasional. 

Tetapi, setiap tindakan memiliki konsekuensinya masing-masing. Kita tidak dapat menunda apa yang seharusnya terjadi. Walaupun kejadian itu berasal dari manajemen pikiran yang buruk. 

Semoga rekan-rekan yang membaca tulisan ini dapat mengambil hikmahnya, bahwa mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang dapat memberikan konsekuensi yang belum tentu dapat kita tanggung. 

Tetapi, sanggupkah kita memberikan jeda bagi pikiran yang larut dalam kepanikan untuk sejenak mempertimbangkan segala konsekuensinya?? 

Tentu tidak di waktu yang bersamaan. 

Pikiran perlu dilatih dalam menghadapi kondisi panik dan perlu pembiasaan berpikir hadap-masalah untuk menciptakan solusi yang tidak menambah masalah baru. 

Mari berlatih untuk mengelola pikiran, jangan sampai kecemasan mengambil alih keputusan yang nantinya kita sesali. 

Bagikan jika dirasa bermanfaat :) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun