Ilmu Titen Warisan Karuhun Nusantara
Titen atau Niteni dalam bahasa Jawa (, ilmu titn) adalah suatu kemampuan atau kepekaan untuk membaca tanda-tanda dari alam. Ilmu titen biasanya digunakan untuk membaca gejala alam sebelum terjadinya bencana. Ilmu titen didasarkan pada pola pengamatan terhadap alam secara berulang, sehingga pola tersebut yang kelak menjadi rujukan untuk menafsirkan gejala alam. Contoh sederhana yang dapat kita amati dari ilmu titen adalah, kedatangan kupu-kupu ke dalam rumah menandakan akan ada tamu atau akan ada rezeki yang datang. Contoh lain dari ilmu titen yang merujuk pada kejadian bencana adalah, tanah yang merekah atau retak dan cadangan air yang mendadak kering menandakan akan terjadi erupsi gunung berapi dalam waktu dekat.
Pola-pola pengamatan yang dikumpulkan orang-orang terdahulu bukan sekadar ingatan kolektif yang diwariskan, melainkan ada perhitungan presisi sehingga pola tersebut dapat berlaku di masa mendatang yang menghadirkan gejala serupa. Masyarakat Jawa kuno sebagai bagian dari bangsa agraris, memiliki pengetahuan tentang pengolahan sawah dan ladangnya berdasarkan pranata mangsa. Petani Jawa telah lama hidup dalam tradisi pertanian padi basah, sehingga sistem pranata mangsa ini merupakan sistem pertanian yang telah menjadi budaya.
Pranata Mangsa, atau sistem pengaturan musim telah mengatur sistem penanggalan yang dapat digunakan petani Jawa untuk memulai kegiatan pertaniannya. Sistem ini telah ada sebelum kedatangan orang Hindu. Nenek moyang kita pun sudah akrab dengan peredaran bintang yang mendasari pengetahuan tentang perulangan musim. Ilmu tentang perbintangan dalam falsafah islam disebut sebagai ilmu nujum, dimana ilmu tersebut menjadi dasar penentuan hilal yang disandarkan pada aktivitas bulan (hijriyah). Selain sebagai kalender pertanian, pranata mangsa juga dijadikan rujukan untuk berdagang, merantau, berperang, maupun menjalankan pemerintahan oleh Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Pajang, dan Kerajaan Mataram Islam.
Penanggalan musim didasarkan pada tahun surya yang panjangnya 365 hari. Sistem penanggalan ini diwariskan secara turun-temurun dan dibakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana ke-VII di Surakarta pada 22 Juni 1856. Menurut N. Daldjoeni (dalam buku Penanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa, terbitan Proyek Javanologi, Yogyakarta, 1983), pembakuan tersebut dimaksudkan untuk menguatkan sistem penanggalan yang mengatur tata kerja kaum tani yang mengikuti peredaran musim dari tahun ke tahun.
Seluk-beluk pranata mangsa tidak kalah rumit dengan penanggalan Mesir Kuno, Cina, Maya, dan Burma. Daldjoeni (ibid, hlm. 5-6) pun mengatakan bahwa dalam pranata mangsa terdapat pertalian yang mengagumkan antara aspek kosmografi dan bioklimatologi yang mendasari kehidupan masyarakat tani. Pranata mangsa dilukiskan dalam berbagai lambang dan watak mangsa yang mencerminkan keselarasan antara manusia, kosmos, dan realitas.
Sistem penanggalan apa yang masih digunakan oleh petani di daerahmu? Sharing yuk di kolom komentar :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H