"Cantik Itu Luka"Â adalah sebuah novel karya Eka Kurniawan yang memadukan mitos, sejarah, dan realisme magis untuk menghadirkan kisah tentang penderitaan, kekerasan, cinta, dan perempuan. Novel ini berlatar di Halimunda, sebuah kota fiktif di Indonesia, dan berpusat pada perjalanan hidup Dewi Ayu, seorang perempuan cantik yang mewarisi kecantikan luar biasa tetapi juga mengalami hidup yang penuh tragedi. Dalam konteks teori feminisme, kisah Dewi Ayu dan perempuan-perempuan di sekitarnya menggambarkan perjuangan melawan sistem patriarki, eksploitasi tubuh perempuan, dan pengabadian stereotip gender.
Karya sastra dikatakan sebagai alat yang diperuntukkan pengarang dalam menuangkan  gagasannya.  Karya sastra, dalam hal ini novel, merupakan salah satu karya sastra yang ditulis oleh pengarang berdasarkan kisah nyata maupun imajinasi yang mempunyai banyak manfaat. (Anggraini, 2018). Novel juga dijadikan sebagai penyampai ideologi pengarang kepada pembaca. Gagasan yang dituangkan oleh pengarang diresepsi oleh pembaca.
Teori feminisme lebih tepat untuk mengungkapkan pandangan perempuan dalam kajian sastra. Karena, feminisme ialah teori tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, selain itu feminisme dijadikan aktivitas organisasi untuk memperjuangkan hak-hak dan pembebasan perempuan dari tekanan laki-laki. Feminisme berusaha menyamakan kedudukan antara perempuan dan laki-laki (Anggraini, 2017: 67).
Dalam sudut pandang feminisme terdapat dua istilah yang menggambarkan ruang kegiatan perempuan yaitu ruang domestik dan publik. Ruang domestik merupakan kegiatan perempuan yang berkenaan dengan rumah tangga, sedangkan ruang publik berkenaan dengan kegiatan perempuan yang dilakukan di luar rumah, baik interaksi dengan masyrakat sekitar maupun dalam lingkup kerja (Sugihastuti dan Saptiawan, 2010:84). Ruang domestik dikenal dengan peran dan fungsi perempuan sebagai seorang pekerja rumah tangga, hal tersebut terjadi dalam bagian inferioritas perempuan. Perempuan bertugas dalam menjaga dan mendidik anak, membersihkan rumah, memasak dan sebagainya. Dalam ruang publik kaum laki-laki lebih dominasi terhadap kaum perempuan, karena pada dasarnya laki-laki bekerja keras untuk mencari nafkah. Begitu dengan peran Dewi Ayu dalam novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Diceritakan bahwa tokoh utama Dewi Ayu sebagai ibu dari ketiga anak yang membesarkan anak-anaknya tanpa didampingi seorang suami. Anak-anak Dewi Ayu merupakan hasil dari profesinya sebagai pelacur. Meskipun ia tidak mengetahui ayah dari anak-anaknya, namun Dewi Ayu tetap memberikan cinta dan kasihnya pada anak-anaknya.
Feminisme sosialis menegaskan bahwa perbedaan gender di samping penindasan kelas ialah asal mula dari penindasan perempuan yang memancarkan isu terhadap ketidakseimbangan ekonomi, hak harta benda untuk kelangsungan hidup keluarga dan domestik serta pemberian gaji para pekerja terdapat dalam aturan kapitalisme. Feminisme sosialis menegaskan bahwa perbedaan gender di samping penindasan kelas ialah asal mula dari penindasan perempuan yang memancarkan isu terhadap ketidakseimbangan ekonomi, hak harta benda untuk kelangsungan hidup keluarga dan domestik serta pemberian gaji para pekerja terdapat dalam aturan kapitalisme. Sehingga novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan menunjukan bahwa adanya perlawanan perempuan, seperti halnya keteguhan tokoh utama Dewi Ayu ketika menghadapi Jepang di masa kolonial, Kekuatan perempuan dalam menghadapi ujian hidup, dan pemanfaatan lelaki oleh perempuan untuk mendapatkan keinginannya.
Dewi Ayu adalah keturunan Belanda-Indonesia yang lahir dari keluarga kolonial. Ia dipaksa menjadi pelacur oleh tentara Jepang selama masa pendudukan. Meskipun profesinya menjadikannya simbol keinginan laki-laki, Dewi Ayu tidak pernah kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Ia menerima nasib sebagai pelacur dengan cara yang hampir sinis dan berusaha menegosiasikan tempatnya dalam struktur kekuasaan patriarki yang mengeksploitasi tubuhnya. Dalam kerangka feminisme, kisah Dewi Ayu menggambarkan bagaimana perempuan sering kali tidak memiliki kuasa atas tubuh mereka sendiri, yang menjadi alat pemuas kebutuhan laki-laki dalam masyarakat yang patriarkal.
Dewi Ayu lahir tiga anak perempuan yang cantik: Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Setiap anak perempuan ini memiliki kisahnya masing-masing, yang semuanya terkait dengan bentuk kekerasan dan penindasan berbasis gender. Alamanda, misalnya, adalah seorang perempuan yang cerdas dan pemberontak, tetapi ia dipaksa menikah dengan Shodanco, seorang komandan militer yang menginginkannya sebagai trofi. Alamanda mencoba melawan, tetapi kekerasan fisik dan pemaksaan seksual menjadi bagian dari pernikahannya. Kehidupan Alamanda mencerminkan kritik terhadap institusi pernikahan yang sering kali digunakan untuk mengontrol perempuan dan menghapus otonomi mereka.
Adinda, anak kedua Dewi Ayu, adalah simbol kecantikan yang pasif. Ia menjadi objek keinginan banyak laki-laki, tetapi jarang diberikan kesempatan untuk mengungkapkan keinginannya sendiri. Sementara itu, Maya Dewi menghadapi kekerasan yang serupa, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem. Melalui karakter-karakter ini, Eka Kurniawan menunjukkan bagaimana kecantikan perempuan sering kali dianggap sebagai kutukan, karena kecantikan tersebut menjadikan mereka sasaran kekerasan dan eksploitasi.
Dewi Ayu melahirkan anak keempat yang ia beri nama si Cantik, seorang bayi yang secara fisik sangat buruk rupa. Nama ini adalah bentuk pemberontakan Dewi Ayu terhadap norma-norma kecantikan yang telah menghancurkan hidupnya dan hidup anak-anak perempuannya. Dalam konteks feminisme, keputusan Dewi Ayu untuk menamai bayi ini "Cantik" adalah tindakan simbolis yang menantang konsep kecantikan patriarkal yang sering kali membatasi perempuan. Kecantikan, dalam pandangan Dewi Ayu, tidak lagi menjadi anugerah, tetapi kutukan yang membuat perempuan rentan terhadap kekerasan dan penindasan.
Dewi Ayu tidak pernah melalaikan tugasnya yang utama sebagai ibu untuk anak-anaknya di rumah. Walaupun malam ia harus menitipkan anak-anaknya pada pembantu bernama Mirah. Dewi Ayu tidak ingin anak-anaknya menjadi pelacur seperti dirinya. Meskipun sebagai pelacur Dewi Ayu tetaplah seorang perempuan yang memiliki jiwa keibuan, rasa kasih sayang dan cinta kepada seorang anak. Walaupun anak tersebut hasil dari perbuatan hina. Selama berada dalam tahanan di Istana Mama Kalong, Dewi Ayu menyadari bahwa dirinya hamil. Namun tidak tega untuk menggugurkan janinnya. Dewi Ayu beranggapan bahwa bayi yang ada didalam perutnya adalah salah satu keluarga yang dimilikinya. Seperti yang ada pada kutipan berikut. "Tak lama setelah itu baru menyadari bakat luar biasa istrinya sebagai ibu rumah tangga. Ia tak hanya menyediakan pakaian-pakaian yang rapi tersetrika dan bahkan wangi untuk ia kenakan, ia bahkan memasak semua masakan yang mereka makan dan ia rasakan begitu nikmat di lidah. Dewi Ayu telah mengajarinya sejak ia masih kecil, begitu Maya Dewi menjelaskan." (Cantik Itu Luka, 2018: 265).
Bahkan ketika Dewi Ayu ingin memutuskan mengakhiri hidupnya, Dewi Ayu tidak pernah egois. Dewi Ayu memikirkan keempat anaknya beserta pembantunya yang masih menjadi tanggung jawabnya. Sehingga Dewi Ayu Meninggalkan warisan untuk mereka bertahan hidup setelah nanti ia mati. Seperti yang ada pada kutipan berikut. "Si cantik memperoleh warisan yang sangat memadai dari ibunya. Ia hanya mengurus bagaiamana itu bisa tetap mencukupi bagi kehidupan mereka berdua." (Cantik Itu Luka, 2018:. 463)
Narasi novel ini dipenuhi oleh kekerasan, baik fisik maupun seksual, yang sering kali dialami oleh perempuan. Namun, kekerasan ini tidak digambarkan sebagai sesuatu yang hanya dialami oleh perempuan semata. Dalam masyarakat patriarkal Halimunda, laki-laki juga terjebak dalam struktur yang mengharuskan mereka untuk mendominasi dan mengontrol perempuan. Karakter seperti Shodanco atau Maman Gendeng menunjukkan bagaimana laki-laki menjadi pelaku kekerasan karena mereka telah diinternalisasi dengan norma-norma maskulinitas yang toksik. Ini menunjukkan bagaimana patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga menciptakan pola perilaku destruktif pada laki-laki.