Bangunan pondok itu masih berdiri kokoh meski para penghuni mulai meninggalkannya satu persatu. Sepuluh jiwa bukanlah jumlah yang banyak untuk bangunan dua lantai yang dahulu bisa memuat puluhan orang. Dua tahun terakhir setelah sang pengasuh pindah keluar negeri, masyarakat pondok mulai berguguran, mereka kehilangan sosok yang bisa mengayomi, sosok yang menjadi daya tarik pondok itu sendiri, sosok yang tidak mampu digantikan oleh pengasuh lain.
Hari ini adalah jadwal kerja bakti. Sepuluh santri yang tersisa bekerja dalam diam. Selalu ada keraguan dalam benak mereka, setiap orang merasakannya, namun enggan membicarakannya. Semua orang tahu tiap mereka ingin pergi. Tempat ini seperti hidup segan mati tak mau. Gairah belajar yang dulu menggebu-gebu sekarang tinggal sisa-sisa. Tak ada lagi guru yang menyemangati mereka saat putus asa, tak ada lagi coretan mutiara hasil kajian, atau cerita lelah yang jadi lillah. Tak ada lagi. Semua kenangan perjalanan perlahan memudar.
"Aku mau boyong hari rabu besok, bapak ibu membutuhkanku di rumah."
Boyong. Kata keramat yang akhir-akhir ini jadi momok menakutkan. Boyong berarti keluar dari pondok dan tidak akan kembali lagi. Akhirnya, ada yang berhasil mengucapkannya. Seketika perasaan bebas dari kekangan tali tak kasat mata. Berbanding terbalik bagi mereka yang mendengarkannya, kata-kata salah satu santri itu memperbesar kekhawatiran mereka yang tersisa. Dalam benak bertanya-tanya, lantas siapa yang akan jadi penghuni terakhir?
Sembilan orang lainnya memandang kawan mereka dengan mata berkaca-kaca. Teman seperjuangan mereka berkurang lagi, pondok kecil mereka akan semakin sepi. Santri yang mau boyong itu kemudian memandang teman-temannya satu persatu, meminta maaf lewat tatapan. Tak ada lagi kata yang mampu terucapkan. Begitu saja, lalu ia mulai membereskan barang-barangnya.
Seminggu berlalu. Santri-santri itu merencanakan liburan bersama. Salah satu kawan mereka menikah, dan kebetulan daerah rumahnya dekat dengan pantai. Maka, pergilah kesembilan jiwa itu. Tepi laut seakan menyediakan banyak sekali energi positif. Pemandangan ombak mampu memanjakan mata dan menenangkan jiwa. Setelah puas berswafoto, salah satu santri menghampiri teman-temannya dengan wajah panik. Matanya mulai basah, ternyata, salah satu saudaranya mengabari jika Orang tuanya telah meninggal karena kecelakaan. Lagi-lagi, tak ada yang mampu bicara.
Delapan jiwa. Mereka yang tersisa mulai kehabisan energi, semangat belajar mulai minus. Setiap wajah sudah tidak mampu lagi untuk menyembunyikan kesedihan. Tinggal menunggu, siapa yang berani mengutarakan keinginan, maka dia adalah panutan untuk langkah-langkah selanjutnya yang akan diikuti oleh teman-temannya.
"Aku adalah penghuni paling senior di sini. Awalnya aku berpikir bahwa aku bisa bertahan sampai pengasuh kita pulang. Berapapun itu meski hanya satu orang yang menemaniku, aku akan tetap di sini. Namun, tempat ini seperti kehilangan nyawanya. Energi positif hampir tak bersisa. Semangat belajar tak ada lagi. Itu yang akhir-akhir ini kurasakan. Pada akhirnya aku harus pergi. Aku butuh pengasuh lain yang bisa membimbingku. Jika kalian ingin tetap di sini, silakan. Namun, jika tak ada lagi yang mampu bertahan, maka aku akan mengembalikan kunci pondok ini pada saudara pengasuh kita, hari rabu aku pergi."
Ini bukan cerita indah yang penuh dengan kata-kata motivasi. Para santri yang tersisa memilih pergi. Buat apa bertahan dengan memikul banyak sekali keraguan, kekhawatiran, kesepian, dan keputusasaan. Di hari rabu itu, mereka mulai membereskan barang-barang. Si senior sudah lebih dulu pergi. Salah satu penghuni yang tersisa memandang setiap sudut ruangan, mematri dalam ingatan. Ia adalah santri baru di sini. Ia bahkan datang setelah pengasuh lama pergi. Pondok sederhana ini, meski tempatnya hanya sekadarnya mampu membuatnya jatuh cinta. Orang-orangnya ramah, dia seperti mendapatkan keluarga keduanya. Keluarga yang sebentar lagi meninggalkannya. Matanya tak terasa berkaca-kaca, ia pun menyingkir ke tempat penjemuran baju, tak ada yang boleh tahu perihal tangisannya.
Santri itu mulai duduk di kursi kecil yang menghadap tembok bata merah. Kepalanya tertunduk, bahunya bergetar karena isakan. Ia bahkan belum memikirkan tempat mana yang akan ia tuju setelah ini. Dia masih sibuk menangisi kepergian teman-temannya. Setelah hampir satu jam di sana, dia mulai beranjak. Matanya tak sengaja memandang sebuah tulisan di sudut tembok yang tampak pudar. "Nil 2024". Sekarang dia tahu tujuan perjalannya setelah ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI