Pengap. Ruangan ini mengungkungku semakin dalam. Dinding-dinding berlumut menertawakanku. Hanya aku, sendirian terkurung dalam nestapa ketidakberdayaan. Teman-temanku sudah lama pergi. Mereka dijual beramai-ramai setahun yang lalu oleh anak majikanku untuk menebus utang yang ditinggalkan oleh mendiang bapaknya. Dulu aku berpikir, mungkin saja aku disisakan karena aku kesayangan bapaknya. Sepertinya pikiranku keliru, aku tak lebih dari sebuah alat yang dulu tertinggal dari kawanan dan sekarang terlupakan.
 Ah, majikanku. Aku merindukannya sekarang. Aku rindu membersamainya saat bekerja. Rindu saat dia menggendongku di pundaknya yang mulai bungkuk. Dia pekerja keras sampai akhir hayatnya. Aku tahu karena aku yang menemaninya di waktu-waktu itu. Kami bekerja di sawah saat hujan telah berhenti. Dia mencangkul tanah menggunakanku. Semua berjalan baik-baik saja sampai kemudian dia melihat sekawanan burung terbang melingkar di tengah sawah mengelilinginya."Ono Bedo Kelik, ono  seng ape mati" gumamnya. Tak lama kemudian ada petir yang menyambar. Sepertinya akan ada korban. Dari kejauhan, ada yang berteriak, lalu disahuti yang lain. Benar saja, seseorang telah tersambar petir.
Peristiwa itu menggemparkan masyarakat desa. Untuk pertama kalinya, seseorang tersambar petir di area sawah. Tempat di mana biasanya masyarakat menghabiskan hari-harinya untuk bekerja. Semua orang merasa was-was selama beberapa hari. Cuaca sedang tidak menentu, musim pancaroba. Selama beberapa hari itu pula, orang-orang memilih bertahan di rumah. Menunda panen tomat, cabai, padi, dan komoditi lain. Namun, majikanku bukan golongan dari orang-orang itu. Dia tidak takut apapun dan dia tetap pergi bekerja.
Lagi, di pagi yang sepertinya normal, burung-burung yang kata orang-orang desa sebagai penanda kematian terbang berkeliling di area sawah. Tidak ada orang lain selain majikanku di sini. Tidak ada hujan ataupun mendung. Aku jadi berpikir dengan cara apa kematian akan datang menghampiri kali ini. Majikanku hanya diam, menebas kawanan rumput liar yang mulai tumbuh dengan sabit. Sampai pada saat matahari mulai beranjak pergi, masih tidak ada apa-apa. Warna jingga di ufuk barat menandai waktu majikanku untuk pulang. Tidak ada yang aneh. Mungkin saja kawanan burung tadi salah tempat berkeliling, atau bisa juga dia iseng menakuti orang-orang supaya tidak pergi ke sawah sehingga teman-temannya yang lain bisa bebas makan hasil panen petani.
Sudah hampir sebulan sejak kejadian itu. Masyarakat desa sudah banyak yang pergi ke sawah. Pun dengan majikanku yang tak pernah absen bahkan sejak hari pertama setelah sambaran petir. Benar-benar tak ada yang aneh sampai kemudian aku merasa ada hewan melata yang melewatiku. Ular besar, aku melihatnya untuk pertama kali. Besar sekali, batinku. Orang-orang mungkin akan berlari menjauhinya. Meski tidak berbisa, lilitannya bisa membuat seseorang sesak napas. Saat mangsa sudah tak bernyawa, ular itu akan menjadikannya santapan lezat untuk makan siang. Mengerikan. Namun ular besar itu hanya sekedar numpang lewat. Ia menghilang secepat kedipan mata. Seakan sengaja tampak hanya untuk membelai tubuhku. Atau  mungkin kehadirannya adalah sebuah pertanda.
Malam tiba. Kehidupan di desa terasa sunyi. Tak ada suara petikan gitar anak-anak muda yang biasanya terdengar. Majikanku tertidur pulas di atas balai. Wajahnya terlihat damai dengan air liur yang sedikit mengenai bantal membentuk sebuah pola unik. Semua baik-baik saja hingga terdengar suara sirine mobil polisi yang memekakan telinga. Bersahut-sahutan diiringi langkah kaki orang-orang yang terbangun dalam tidurnya. Mereka berbondong-bondong keluar rumah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tawuran, ada yang mati, banyak darah berceceran di jalan raya menuju desa, begitulah sayup-sayup yang kudengar. Desa yang biasanya tenteram kini mencekam. Di tengah kekacauan itu, majikanku masih terlelap.
Keesokan harinya, huru hara masih belum reda. Pasukan berseragam berkeliaran meminta keterangan pada masyarakat desa. Mengejar mereka yang diduga terlibat perkelahian. Para pemuda menyembunyikan diri, entah takut menjadi korban salah tangkap atau memang takut terciduk karena terlibat. Terdengar suara ketukan pintu. Majikanku masih meringkuk dalam balainya. Ketukan itu semakin keras berubah menjadi gedoran. Masih belum ada respon. Terlihat seseorang mengintip dari balik jendela, matanya menyernyit memindai seluruh ruangan. "Kita dobrak saja," katanya. Dalam hitungan satu dua tiga pintu kayu itu terbuka. Majikanku masih belum membuka mata, entah apa yang terjadi padanya.
Keramaian di jalan-jalan desa berpindah ke rumah majikanku. Pagi tadi, para polisi menemukan majikanku di atas balai dalam kondisi yang sudah tidak bernyawa. Warga desa heboh membicarakannya. Topik tentang tawuran yang menelan banyak korban jiwa sedikit reda. Aku dan kawan-kawan paculku dipindahkan ke gudang belakang rumah. Setelah hari itu, aku tak lagi mendengar kabar tentang apapun. Ruangan persegi yang temboknya mulai berlumut ini seperti kedap suara. Satu persatu kawanku diangkut oleh anak majikan. Hingga kini, hanya tinggal aku sendiri, sendirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H