Pada bulan Oktober 2023, terjadi penangkapan Zarof Rizar, yang diduga terlibat dalam praktik mafia peradilan di lingkungan Mahkamah Agung (MA). Menurut dosen hukum Busyro Muqoddas dan Transparency International Indonesia (TII),mkasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal serta kurangnya transparansi di MA. Penyidik Kejagung menemukan uang tunai senilai hampir Rp1 triliun dan emas batangan seberat 51 kilogram di rumah Zarof yang diklaim didapatkan dari bermain perkara di MA selama 10 tahun.Â
Perkara ini menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Sepanjang 2011-2023 tercatat ada 26 hakim yang terbukti terlibat kasus rasuah, menurut Indonesian Corruption Watch (ICW). Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan penetapan Zarof sebagai tersangka merupakan hasil pengembangan dari penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan pengacara Ronald, Lisa Rachmat, pada beberapa hari sebelumnya.Â
Konsekuensi hukum bagi pihak yang terlibat dalam praktik korupsi di Mahkamah Agung (MA) melibatkan berbagai sanksi berdasarkan hukum pidana dan peraturan etik. Berikut ini adalah pembahasan terkait jenis-jenis konsekuensi hukum yang mungkin berlaku:
1. Sanksi Pidana Berdasarkan Undang-Undang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi
Pasal 5, 11, dan 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 melarang tindakan penyuapan dan penyalahgunaan wewenang yang terkait dengan jabatan publik. Jika terbukti menerima suap atau memfasilitasi penyuapan, pelaku dapat dihukum pidana penjara minimal 4 tahun hingga seumur hidup, serta denda yang besarannya tergantung pada dampak dan peran pelaku dalam kejahatan tersebut. Pasal 12C juga mengatur hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, misalnya hak untuk memegang jabatan tertentu.
2. Sanksi Etik dan Administratif
Dalam lingkungan Mahkamah Agung, tindakan korupsi termasuk pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang menekankan prinsip-prinsip integritas, transparansi, dan profesionalisme. Pelanggaran kode etik dapat mengakibatkan sanksi administratif mulai dari peringatan keras, skorsing, hingga pemberhentian secara tidak hormat dari jabatan sebagai hakim atau aparat peradilan. Sanksi ini diberikan melalui mekanisme internal, seperti Badan Pengawas MA atau melalui rekomendasi dari Komisi Yudisial.
3. Tindakan Pembekuan Aset dan Pengembalian Kerugian Negara
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pelaku korupsi diwajibkan mengembalikan kerugian negara. Hal ini sering kali mencakup penyitaan aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Kejaksaan dan KPK dapat meminta pembekuan aset, termasuk properti atau dana, untuk memastikan pengembalian hasil dari perbuatan yang merugikan negara.
4. Implikasi Profesional dan Publik
Korupsi di lembaga tinggi seperti Mahkamah Agung berdampak luas pada integritas peradilan dan dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Terlibat dalam kasus korupsi bisa berarti larangan untuk kembali menduduki jabatan publik, dan dalam jangka panjang dapat berdampak pada reputasi profesional serta akses terhadap jabatan tertentu di pemerintahan. Pemberantasan praktik mafia peradilan ini sangat krusial untuk menjaga integritas lembaga hukum di Indonesia. Diharapkan hukuman yang tegas dapat mengurangi praktik serupa di masa depan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Implementasi reformasi struktural di Mahkamah Agung (MA) untuk meningkatkan transparansi dan mengurangi praktik mafia peradilan dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
1. Pengakuan Sistem Pengawasan Internal
Meningkatkan efektivitas Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial dengan memberikan wewenang yang lebih luas untuk mengawasi, memeriksa, dan menindak pelanggaran etik serta korupsi dalam peradilan.
2. Peningkatan Akses Publik terhadap Proses Peradilan
Menyediakan transparansi lebih besar dengan mengimplementasikan sistem online untuk pemantauan proses peradilan dan publikasi putusan secara terbuka.
3. Reformasi Rekrutmen dan Promosi Hakim
Membuka rekrutmen dan promosi hakim berdasarkan meritokrasi yang jelas dan transparan, menghindari adanya intervensi atau transaksi yang merugikan integritas.
4. Pendidikan dan Pelatihan Etik
Menyusun program pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan untuk hakim dan aparatur peradilan tentang etika profesi dan bahaya korupsi.
5. Penegakan Hukum yang Tegas
Memberikan sanksi yang tegas terhadap setiap individu yang terlibat dalam praktik mafia peradilan, baik dari kalangan hakim maupun aparat peradilan lainnya, untuk memberi efek jera.
Pada pembahasan ini penulis memberikan Kesimpulan bahwa dugaan praktik korupsi dan mafia peradilan di Mahkamah Agung (MA) menunjukkan perlunya reformasi struktural yang mendesak untuk menjaga integritas lembaga. Upaya ini melibatkan penguatan sistem pengawasan, peningkatan transparansi melalui akses publik terhadap informasi peradilan, dan rekrutmen berbasis meritokrasi. Pendidikan etika serta penegakan hukum yang tegas juga penting untuk mencegah pelanggaran di masa depan. Implementasi langkah-langkah ini diharapkan dapat menciptakan peradilan yang bersih, transparan, dan bebas dari praktik mafia, sekaligus memulihkan kepercayaan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H