Mohon tunggu...
Siti Holilah
Siti Holilah Mohon Tunggu... -

" Lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan" -Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Motivasi dari Kenangan Buruk Masa Kecil

23 April 2014   08:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:19 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disebuah perkampungan yang masih asri penuh dengan hamparan pepohonan kelapa yang sudah mejadi bagian dari masyarakat desa sebagai salah satu pencarian rezeki, mengambil sari dari bunga kelapa dengan bantuan botol yang diikatkan dan ditinggalkan selama satu hari agar terisi penuh, menggunakan tungku berukuran besar agar dapat memuat penggorengan berukuran besar juga. Pengolahan yang cukup rumit dan lama ini sudah menjadi hal biasa baga masyarakat yang menggantungkan penghidupannya pada pembuatan gula. Butuh waktu berjajam-jam agar sari kelapa yang cair itu menjadi gumpalan gula yang siap dicetak, dikeringkan dan dikemas.

***

Di teras sebuah rumah berjarak tiga meter dari saung pembuatan gula itu terlihat sangat ramai, ada 4 anak yang sedang asik bermain boneka, 2 anak berumur sama 7 tahun Sindi  dan Ayu sedangkan kedua temannya Sarah dan Dewi kira-kira 2 tahun diatas mereka. Sindi, Ayu, Sarah, dan Dewi terus bermain tanpa menghiraukan waktu, setelah bosan dengan mainan yang satu beralih kemainan yang lain. Memang seperti itulah anak-anak, bermain dengan kepolosan dan kecerdasannya.

Diwaktu yang bersamaan ada sosok yang datang mengalihkan perhatian mereka. Setelah menjawab salam dengan spontan Ayu langsung berlari mengapiri laki-laki dengan usia mendekati 35an, Ayu langsung memeluknya dan dengan manja meminta untuk di gendong. Dia merupakan ayah dari ayu. Kesehariannya bekerja mencari nafkah di jakarta dan hanya menyempatkan pulang satu tahun sekali. Pantaslah Ayu senang dan langsung bersikap manja.

Laki-laki itu tidak datang sendiri, melainkan bersama adik laki-lakinya yang merupakan paman ayu. Tak berlangsung lama laki-laki itu sudah dapat membujuk ayu untuk ikut pulang bersamanya. Tanpa berpamitan dengan pemilik rumah laki-laki itu segera berlalu bersama tebing-tebing dan ilalang-ilalang.

Jalanan kecil dipertengan sawah yang hanya bisa dilewati satu orang menjadi ramai dibuatnya, tak luput dari sendagurau dan gelaktawa dari ayah dan anak ini, begitupun pamannya yang sedari tadi mengikuti langkah mereka dibelakang tak hentinya ikut meramaikan suasana karna tingkah lucu dari Ayu yang sedari tadi terus bercerita dan meledek ayahnya dengan permainan tebak-tebakan.

Sesampainya dijalan besar dimana laki-laki itu menitipkan sepeda motornya terdengar suara yang terus menerus memanggilnya. Dia hanya melihat sekilas seolah ingin mengabaikan suara itu, tapi sayang Ayu sudah meresponnya terlebih dahulu.

“Pak, tong uih heula itu aya mamah, ngenong didieunya enengge karek tadi isuk da kadieuna”

(Pa, jangan pulang dulu ada mamah, bermalam disini aja, eneng juga baru tadi pagi kesininya)

Ayu dengan polos mencoba membujuk ayahnya yang sedang sibuk memakai perlengkapan berkendara, tapi sayang tidak ada respon sama sekali. Setelah semua sudah siap suara itu sudah berada dibelakang mereka. Bukan basa-basi atau obrolan ringan yang ada diantara mereka melainkan pertengkaran atau bisa disebut adu mulut yang tak terelakan. Tidak ada yang bisa melerai. Didekapan pamannya Ayu hanya bisa meanangis melihat kejadian itu. Entah siapa yang menang dari pertengkaran itu, dengan gesit laki-laki itu menyalahkan mesin motornya dan mencoba untuk berlalu. Tapi tidak semudah itu wanita yang Ayu panggil mamah itu berhasil menggapai tangan Ayu. Tarik menarik pun terjadi takluput dengan suara tangisan dari Ayu dan ibunya. Dari jauh terdengar suara seorang wanita yang mencoba melerai “geus Nah anteupkeun, tong siga budak, nukarunyamah anak maneh. Isukan-isukange bisa papangih keneh. Geus anteupkeun” (udah Nah biarin, jangan kaya anak kecil, yang kasian anak kamu, besok-besok juga masih bisa ketemu lagi).

***

8 tahun sudah berlalu, saat ini Ayu sudah berada di bangku sekolah SMP kelas 2 di jakarta, tapi sayang ingatan buruk masa kecilnya tak pernah hilang, seringkali Ayu menyalahkan kedua orang tuanya atas keaadaan dia saat ini, dia beranggapan kedua orang tuanya egois yang mengambil kebahagiaan anaknya.

***

Kini ayu tumbuh semakin dewasa bersama suami yang mendampinya, Ayu sudah dikaruniai seorang putri yang cantik nan cerdas, dan itu semakin menambah semangat hidup dan menyempurnakan kebahagiaannya. Ayu sama sekali tidak melupankan kenangan buruk masa kecilnya, tapi kenangan itu dia anggap sebagai ujian agar dia semakin kuat dan tangguh hingga sampai saat ini. Kegagalan keluarga yang dibina oleh orang tuanya menjadi pelajaran yang sangat berhaarga Ayu untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang sedang dibina olehnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun