"Kapan nikah?" Pertanyaan sederhana yang menjelma menjadi momok bagi banyak anak muda Indonesia. Dari arisan keluarga hingga reuni SMA, ataupun lainya. pertanyaan ini seolah menjadi mantra wajib yang harus didengar oleh mereka yang masih melajang.
Scroll Instagram sebentar, dan Anda akan disambut dengan parade foto pre-wedding aesthetic yang ada di alun alun kota maupun lainya, undangan digital bernuansa minimalis, hingga video proposal romantis yang membuat hati berdesir. Seolah ada kompetisi tak tertulis: siapa yang paling cepat melepas status lajang. Tapi tunggu dulu. Pernahkah kita berpikir bahwa pernikahan bukanlah lomba lari sprint, melainkan maraton kehidupan yang membutuhkan persiapan matang?
Saya memiliki seorang teman, sebut saja dia Shinta. Di usia 28, dia masih single sementara grup WhatsApp SMA-nya dipenuhi foto anak-anak lucu teman seangkatan. Tekanan sosial membuatnya sempat depresi. Namun justru di masa "penantian" ini, Shinta memutuskan untuk mengambil S2, membangun startup yang kini terkenal, dan menemukan passion-nya dalam mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Dan tahukah Anda apa yang terjadi? Di usia 30, dia bertemu seseorang yang justru mengapresiasi semua pencapaian dan pengalaman hidupnya. Mereka menikah dengan bekal kedewasaan dan kesiapan yang jauh lebih matang.
Setiap orang punya cerita berbeda. Sama seperti sidik jari, perjalanan hidup setiap orang adalah unik. Ada yang menikah muda dan bahagia, ada yang menikah di usia matang dan sama bahagianya. Menikah bukan obat mujarab untuk kesepian, masalah finansial, atau tekanan sosial. Justru membawa masalah-masalah ini ke dalam pernikahan bisa menjadi bom waktu. Masa lajang adalah kesempatan emas untuk mengenal diri, membangun karir, dan mematangkan emosi. Jangan sia-siakan dengan hanya fokus pada status.
Apa yang bisa kita lakukan sekarang? Pertama, investasi pada diri sendiri, seperti meningkatkan skill dan pendidikan, membangun karir yang mapan, menjaga kesehatan mental dan fisik, serta memperkaya pengalaman hidup. Kedua, bangun hubungan yang sehat dengan keluarga, teman-teman, dan yang terpenting, dengan diri sendiri. Ketiga, tentukan standar dan prinsip. Jangan biarkan tekanan sosial membuat Anda menurunkan standar dan prinsip dalam memilih pasangan hidup.
Mungkin, alasan mengapa kita belum menikah bukan karena kita "tertinggal", melainkan karena Tuhan punya rencana yang lebih indah. Mungkin saat ini Dia sedang menyiapkan kita, atau justru sedang menyiapkan pasangan kita. Yang pasti, pernikahan bukanlah garis finish. Ia adalah awal dari perjalanan panjang yang membutuhkan kesiapan mental, finansial, dan spiritual. Jadi, kepada kamu yang masih menunggu: teruslah berproses. Teruslah berkembang. Dan percayalah, semua akan indah pada waktunya.
Karena timing Tuhan tidak pernah salah. _Semoga Alloh paring Aman, Selamat, Lancar dan Barokah_dan Yakinlah, doa yang diulang-ulang itu ibarat mengayuh sepeda, akan tiba waktunya sampai ke tujuan yang diinginkan Aamiiiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H