"Lagi-lagi dia posting foto liburan ke luar negeri..."
"Temen-temen udah pada nikah, aku masih sendiri aja..."
"Temen seangkatan udah lulus dan punya pekerjaan yang enak, aku masih stuck di sini..."
Kalimat-kalimat di atas mungkin terasa familiar bagi kita yang aktif di media sosial. Sebagai seorang milenial yang juga berkecimpung di dunia digital, saya melihat fenomena toxic comparison ini semakin mengkhawatirkan. Bagaimana tidak? Setiap membuka Instagram, Facebook, atau TikTok, kita seolah dipaksa melihat parade kesuksesan orang lain yang tak ada habisnya.
Bayangkan media sosial sebagai sebuah galeri foto. Setiap orang hanya memajang foto terbaiknya, momen paling membanggakan, dan pencapaian yang paling mengesankan. Tidak ada yang salah dengan hal ini, tetapi masalah muncul ketika kita mulai menjadikan galeri foto orang lain sebagai standar kehidupan kita. Saya ingat bagaimana beberapa bulan lalu, scroll feed Instagram selama 15 menit bisa membuat mood saya hancur seharian. Melihat teman-teman yang sudah menikah, lulus lebih cepat, atau mendapat pekerjaan impian, sementara saya masih berjuang dengan tugas kuliah yang belum selesai dan pekerjaan sampingan yang tidak seberapa.
Toxic comparison di media sosial ibarat racun yang bekerja perlahan namun pasti. Dari pengamatan dan pengalaman pribadi, beberapa dampaknya antara lain mental block yang membuat kita takut memulai sesuatu karena merasa tidak akan bisa sesempurna orang lain, impostor syndrome yang membuat pencapaian kita sendiri terasa tidak berarti dibandingkan dengan apa yang kita lihat di media sosial, anxiety dan depresi akibat perasaan tidak cukup baik yang terus menghantui, bahkan untuk hal-hal sederhana, hingga self-sabotage, di mana kita mulai meremehkan kemampuan diri sendiri dan kehilangan motivasi untuk berkembang.
Sebagai content creator yang juga aktif di media sosial, saya ingin berbagi sedikit realita di balik konten-konten "sempurna" yang kita lihat: satu foto Instagram bisa diambil puluhan kali sampai dapat angle terbaik; video "Day in My Life" yang terlihat sempurna sebenarnya hasil editing berjam-jam; caption inspirasional sering ditulis saat si penulis sendiri sedang berjuang dengan masalahnya; dan postingan liburan yang memukau biasanya hasil kurasi dari puluhan, bahkan ratusan foto.
Dari pengalaman pribadi melawan toxic comparison, beberapa hal yang saya temukan efektif adalah melakukan audit media sosial dengan pembersihan timeline secara berkala, unfollow atau mute akun-akun yang membuat kita merasa tidak nyaman atau inferior. Selain itu, melakukan reality check dengan menanyakan pada diri sendiri apakah kita benar-benar menginginkan hal itu atau hanya terpengaruh standar sosial, bagaimana kondisi dan situasi kita berbeda dengan orang yang dibandingkan, serta apa yang tidak terlihat dari kesuksesan yang ditampilkan. Bersyukur atas apa yang dimiliki juga menjadi cara efektif untuk fokus pada apa yang penting dalam hidup kita, bukan pada apa yang orang lain miliki. Tidak kalah penting, tetapkan tujuan berdasarkan nilai dan kemampuan pribadi, bukan berdasarkan apa yang orang lain capai.
Media sosial seharusnya menjadi tools yang membantu kita terhubung dan terinspirasi, bukan menjadi sumber kecemasan dan ketidakpuasan. Saya pun mulai membatasi waktu menggunakan media sosial dengan fitur screen time limit, mengikuti akun-akun yang memberikan dampak positif, menciptakan konten yang bermakna bagi diri sendiri, dan membangun koneksi yang autentik, bukan kompetisi. Hidup bukan lomba siapa yang terlihat paling bahagia di media sosial. Setiap orang punya perjalanan dan timeline berbeda. Ketika kita mulai memahami bahwa apa yang kita lihat di media sosial hanyalah highlight reel, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi konten yang kita konsumsi.
Mari mulai menghargai perjalanan kita sendiri, dengan segala naik turunnya. Karena kesuksesan yang sejati tidak diukur dari seberapa sempurna feed Instagram kita, tapi dari seberapa damai kita dengan diri sendiri.