"Kamu mau jadi apa?" Pertanyaan sederhana yang terasa begitu berat di usia 21 tahun. Seperti ribuan jarum yang menghujam dada, menuntut jawaban yang bahkan aku sendiri masih mencari-cari. Di usia yang kata orang adalah puncak produktivitas ini, aku justru merasa tersesat di labirin kehidupan yang kusebut "pencarian jati diri."
Bayangkan berada di sebuah persimpangan besar. Di hadapanmu terbentang puluhan jalan dengan papan petunjuk yang semuanya tampak menggiurkan. "Sukses", "Karier Cemerlang", "Masa Depan Cerah" - begitu bunyi papan-papan itu. Tapi which one? Yang mana yang benar-benar untukku? Yang mana yang akan membawaku pada kebahagiaan sejati?Â
Di satu sisi, media sosial membombardir kita dengan "kesuksesan dini" teman sebaya. Si A sudah jadi entrepreneur sukses, Si B sudah traveling keliling dunia, Si C sudah punya startup yang valuasinya miliaran. Sementara aku? Masih berkutat dengan tumpukan buku kuliah dan deadline tugas yang tak berkesudahan.
Orang tua dengan segala harapan mereka, teman-teman dengan standar kesuksesan mereka, dan masyarakat dengan ekspektasi normalnya - semuanya seolah berteriak "Ayo, tentukan hidupmu sekarang!" Padahal, bukankah wajar jika di usia 21 kita masih mencari-cari? Bukankah normal jika kita belum menemukan passion sejati kita?
Aku sering termenung di kamar, scrolling timeline tanpa henti, berharap menemukan secercah inspirasi. Kadang, aku mencoba berbagai hal baru - dari les bahasa asing, mengikuti workshop photography, hingga belajar coding. Semua kulakukan dengan harapan menemukan "klik" itu - momen dimana aku akhirnya bisa berkata "Ini dia yang kumau!"
Tapi realitanya tidak semudah itu. Setiap kali merasa sudah menemukan sesuatu yang menarik, keraguan kembali menyerang. "Apakah ini benar-benar yang kuinginkan? Atau aku hanya mengikuti tren? Apakah ini akan memberiku kehidupan yang layak di masa depan?"
Setelah bergulat dengan berbagai pemikiran, perlahan aku mulai memahami sesuatu. Mungkin usia 21 memang bukan tentang menemukan jawaban pasti. Mungkin ini adalah fase dimana kita justru perlu embrace ketidakpastian itu sendiri.
Jati diri bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan dalam semalam. Ia adalah proses panjang yang terbentuk dari setiap pengalaman, kegagalan, dan pembelajaran yang kita lalui. Setiap kebingungan, keraguan, dan kegalauan yang kita rasakan adalah bagian dari proses itu sendiri.
Di usia 21, mungkin yang perlu kita lakukan adalah belajar untuk berdamai. Berdamai dengan fakta bahwa tidak apa-apa belum tahu akan menjadi apa. Tidak apa-apa masih mencari-cari. Tidak apa-apa berbeda dari ekspektasi orang lain.
Yang terpenting adalah terus melangkah, terus mencoba, dan terus belajar. Karena pada akhirnya, pencarian jati diri bukanlah tentang destinasi, melainkan tentang perjalanan itu sendiri.