Mohon tunggu...
Siti Fatimah
Siti Fatimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 menuai Kontraversi, Ada Apa?

3 Januari 2022   12:09 Diperbarui: 3 Januari 2022   12:20 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekerasan seksual adalah bentuk tindakan kejahatan yang dapat terjadi kapan saja serta diberbagai macam tempat, termasuk diruang lingkup perguruan tinggi. Dengan demikian dalam rangka menciptakan kehidupan kampus yang nyaman dan aman bagi civitas akademika untuk melaksanakan kegiatannya, perlu ada tindakan untuk menciptakan ruang yang aman tersebut. Perguruan tinggi di indonesia tidak lepas dari ancaman kekerasan seksual. Berdasarkan survey terdapat 76 pengelola perguruan tinggi di indonesia sebanyak 75% responden menyatakan dikampusnya terjadi kasus kekerasan seksual. Penyebab tingginya angka kasus kekerasan adalah tidak adanya laporan kejadian yang terutama disebabkan oleh keengganan korban untuk melapor. Keengganan korban untuk melapor disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab utama adalah korban merasa malu untuk melapor sedangkan penyebab lainnya yaitu ketiadaan aturan/mekanisme yang handal sehingga korban tidak tau apa yang harus dilakukan, kemana ia harus lapor, dan prosedur apa saja yg harus diikuti (https://ejournal.unida-aceh.ac.id/)

Melihat hal tersebut, Kementerian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi (kemendikbud ristek) menetapkan permendikbud ristek nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) dilingkungan perguruan tinggi pada tanggal 31 agustus 2021. Poin-poin yang diatur dalam permendikbud ini adalah langkah pencegahan kekerasan seksual di kampus, langkah penanganan laporan kekerasan seksual dan langkah peningkatan keamanan kampus. Permendikbud ristek ini dibuat atas dasar situasi krisis kekerasan seksual di lingkungan kampus. Nadiem menjelaskan bahwa permendikbud ini sebagai  komitmen untuk memberikan perlindungan terhadap civitas akademika. Meski disambut baik oleh mahasiswa, masyarakat, universitas, hingga politikus, permendikbud ini tetap mendapat tantangan. Permendikbud dianggap melegalkan seks bebas dan kurang mengandung nilai moral agama. Permendikbud ristek ini terdiri dari 58 pasal dimana ada beberapa pasal yang menuai kontra.

" dari segi materiil kami melakukan kajian bahwa pada pasal 1 angka 1 ada masalah tentang defenisi kekerasan seksual, lalu pada pasal 3 terlihat pada prinsip pencegahan atau penanganan ini terlihat mengabaikan norma agama padahal kita hidup di negara pancasila dengan sila pertama yaitu ketuhanan yang maha esa, pasal 5 tentu sangat kritis sekali karena terkesan menimbulkan legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan karena terlalu sering mengulangi frasa 'tanpa persetujuan korban' inilah yang nantinya  menimbulkan masalah" ujar ahmad kusyairi suhail selaku sekjen ikatan DAI indonesi (IKADI) dalam acara narasi.

Permendikbud ini menuai kritikan karena dianggap melegalkan tindakan asusila dan seks bebas. Namun nadiem membantah hal tersebut, ia menegaskan bahwa permendikbud ini tidak mendukung adanya perzinahan ataupun melegalkan seks bebas " kami di kemendikbud ristek tidak sama sekali mendukung seks bebas atupun mendukung perzinahan, itu sama sekali bukan asas dari permandikbud ini. Tolong masyarakat dengan sangat logis harus memilah isu ini" ujarnya, dikutip dari matanajwa.

Terjadinya pro dan kontra terhadap permendikbud ristek nomor 30 tahun 2021 ini dikarenanya adanya perbedaan persepsi dalam memahaminya. Adanya benturan antara nilai relegius serta liberalisme dan peraturannya dinilai masih banyak mengandung makna yang ambiguitas seperti penyebutan tidak adanya tindak kekerasan jika saling mengizinkan atau dalam tanda kutip pelegalan zina. Sedangkan pihak pro beranggapan bahwa permendikbud ini adalah harapan untuk menumpas kekerasan seksual diranah kampus. Secara filosofi pembentukan permendikbud ini dinilai masih sejalur, meski terdapat segelintir pasal yang dinilai menentang falsafah pancasila dan pembukaan uud 1945. Namun banyak terkandung poin keadilan yang berdampak positif pada tujuan bangsa. Secara sosiologis permendikbud ini dinilai lebih memiliki kebermanfaatan, terlihat dari hasil survei yang dilakukan oleh peneliti dimana mayoritas mahasiswa atau mahasiswi menginginkan permendikbud ini sah sebagai produk hukum dalam memerangi kekerasan seksual dikampus Secara yuridis permendikbud ini dinilai masih cacat secara formil dan meteril, dimana dalam proses pembentukannya tidak menggunakan azaz transparansi yang pada akhirnya rancangan peraturan tersebut dirasa terlalu menyempitkan suatu masalah serta berbenturan dengan norma agama (dikutip dari jurnal.peneliti.net pada 28 desember 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun