Di bawah langit yang retak, aku berdiri, Â
Menatap dunia yang perlahan mati. Â
Jerit jiwa terperangkap dalam sunyi, Â
Saat angin membawa kabar duka tak terperi. Â
Dahulu langit biru menyapa lembut, Â
Kini hanya debu dan kelam menggantung lurus. Â
Di mana doa-doa terhenti di bibir yang beku, Â
Di mana cinta tertinggal di jalan penuh batu.
Langit menangis, tapi hujannya racun, Â
Mengubur harapan dalam bisu yang tak tersusun. Â
Tangan-tangan kecil meraih cahaya, Â
Namun gelap memeluk mereka tanpa sapa.
Ke mana perginya keadilan yang dijanjikan? Â
Mengapa bumi menangis dalam keterasingan? Â
Di bawah langit yang retak, kami hanya bayangan, Â
Tanpa suara, tanpa tuan, hanya penantian. Â
Apakah langit akan sembuh, atau terus terluka? Â
Apakah kami akan bangkit, atau hilang dalam lupa? Â
Ratapan ini memecah malam yang sunyi, Â
Di bawah langit yang retak, kami menunggu abadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI