Konflik sampit merupakan sebuah peristiwa yang melibatkan dua buah etnis antara suku Dayak asli dan warga imigran Madura. Kerusuhan antar-etnis bermula sejak 18 Februari 2001 di Kabupaten Sampit, Kalimantan Tengah. Kerusuhan ini pula menjadi tragedi paling tragis yang pernah terjadi di Indonesia karena menyimpan memori yang kelam. Sebagian besar sumber ditemukan, awal mula pertikaian antara suku Dayak dan Madura yaitu argumen budaya, ekonomi, serta politik. Namun jauh sebelum ini, konflik antara keduanya pun sudah berangsur sejak lama.
Sebagaimana diketahui, Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia dengan Suku Dayak sebagai penduduk penduduk aslinya. Suku Dayak sendiri cenderung untuk hidup mengelompok dan memiliki pola pemukiman yang sebagian besar tinggal di pinggiran sungai atau pedalaman. Seiring berjalannya waktu, penduduk di Pulau Kalimantan menjadi semakin heterogen akibat berdatangannya para imigran dari pulau lain terutama Pulau Jawa dan Madura. Suku Madura sendiri bermigrasi ke Kalimantan sejak tahun 1930-an dibawah program oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun migrasi terbesar terjadi pada masa Orde Baru melalui program transmigrasi yang dimulai pada Pelita I-VI. Dikarenakan semakin tinggi populasi tersebut, masyarakat migran Madura mulai menguasai beberapa sektor perekonomian di Kalimantan tengah. Kecemburuan sosial dirasakan oleh Masyarakat Dayak pada saat itu. Akibatnya, permasalahan ini semakin meluas hingga menjadi perselisihan antar-etnis.
Dari Konflik Sampit ini sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Kericuhan bermula saat terjadi serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Pada 18 Februari 2001, tepat pukul 01.00 WIB, sekelompok warga Dayak menyerang rumah seorang warga Madura bernama Matayo, diduga serangan itu merupakan aksi balas dendam. Masyarakat Madura sempat bertahan sejak penyerangan rumah Matayo, kemudian situasi berbalik pada 20 Februari 2001 warga Dayak berdatangan ke Sampit dan gelombang serangan warga Dayak terus berdatangan. Warga Dayak pun praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kerusuhan Sampit yang menjalar hingga ke segala penjuru Kalimantan Tengah itu baru benar-benar berakhir kisaran pertengahan Maret. Akhir dari konflik ini dibuatlah perjanjian damai antara suku Dayak dan Madura dengan dibangun sebuah tugu perdamaian di Sampit.
Analisis Konflik Menurut Segitiga Konflik dan Perdamaian
Model analisa konsep yang digunakan untuk menganalisa konflik etnis Dayak dan Madura ini menggunakan konsep Johan galtung, teori yang dipakai disini yaitu dengan menggunakan Teori Interaksi menurut George Herbert Mead. Terjadinya kontak sosial berlangsung dalam tiga bentuk. Yaitu antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok.
Penyelesaian Konflik Sampit Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah lantas memfasilitasi pertemuan formal maupun informal antara tokoh kedua etnis dengan tujuan perdamaian. Akhirnya kedua etnis sepakat berdamai. Warga Madura yang mengungsi diperbolehkan kembali ke Kalimantan Tengah. Namun, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah saat itu menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2004 yang mengatur permasalahan pengungsi konflik Sampit. Seperti yang kita lihat, disini Pemerintah memberikan peranan yang sangat penting dalam konflik antar etnis Dayak dan Madura.
Daftar Pustaka :
merdeka.com (2021). Mengenang Peristiwa 18 Februari Kerusuhan Sampit, Pertikaian Suku Dayak dan Madura
Nama : Siti Azzahra Hamidah Putri
NIM : 07041382227227